Hari ini langit tampak cerah. Ia menggenggam erat buket Aster yang ia beli tadi. Aroma kuat dari obat-obatan menusuk hidungnya, aroma yang sangat ia tidak sukai. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menuju sebuah ruangan yang sudah beberapa tahun ini ia kunjungi. Begitu sampai, ia mendorong pelan pintu yang menghalanginya dan mendapati seseorang yang terbaring lemah di ranjang dengan selang yang menempel di beberapa bagian tubuhnya. Ia menutup kembali pintu dengan berusaha untuk tidak menciptakan bunyi sekencang mungkin. Lalu, ia menghampiri gadis itu dan duduk di sebelahnya. Tidak lupa, sebuket bunga yang ia bawa, ia letakkan di atas laci di samping ranjang agar gadis itu bisa menghirup aromanya.
"Hai Els. Aku datang." ucap Sekala pelan. Ia meraih tangan kiri gadis itu yang terkulai tidak berdaya dan menggenggamnya dengan erat.
"Hari ini aku membawa Aster lagi karena harapanku tetap sama."
Sekala tersenyum dan berharap gadis yang ada dihadapannya ini bisa melihat wajahnya yang tengah tersenyum ini dengan sorot matanya yang hangat. Setiap Sekala mengunjunginya, pria itu tidak lupa membawa sebuket bunga Aster yang selalu sama, tidak pernah berubah. Bagi Sekala, setiap bunga mengandung filosofinya tersendiri dan menyimpan harapan di dalamnya. Bunga yang tepat untuk gadis itu adalah Aster.
Jagalah dirimu demi aku.
Begitulah filosofi dari Aster.
Karena Sekala berharap gadis itu sembuh demi dirinya.
"Genta curang, Els. Dia nggak ngasih tau aku kalau mau ke sini, jadinya aku nyusul," ujar Sekala dengan nada yang kesal walau hanya gurau belaka. "Tapi, dari dulu Genta selalu kayak gitu. Iya, kan, Sa?"
Sekala kembali mengenang masa lalu, dimana mereka bertiga, Sekala, Genta, dan gadis itu, menghabiskan waktu bersama. Genta selalu berada di sisi gadis itu dan bersikap seperti seseorang yang siap membuatmu tertawa, sementara Sekala seperti kakak yang akan melindungi adiknya. Sementara gadis itu, seperti seorang putri yang memancarkan kebahagiaan dengan orang terdekatnya. Mereka tidak pernah bertengkar hebat, hanya sering terlibat dalam perdebatan yang merupakan hal yang lumrah di lingkup persahabatan. Hingga suatu hari, ketika mereka berada di sekolah menengah pertama, untuk pertama kalinya Genta mengutarakan perasaannya mengenai gadis itu pada Sekala. Sekala bukan main mendukung, tetapi Genta tidak ingin gadis itu tahu. Pria itu tidak ingin menciptakan suasana yang canggung di antara mereka, yang membuat Sekala mengerti akan hal itu. Namun, ternyata semuanya tidak berjalan lancar. Ketika mereka di akhir di sekolah menengah pertama, dengan terang-terangan Elsa mengutarakan perasaannya pada Sekala.
Kala itu, yang pertama ada di kepala Sekala adalah Genta yang saat itu pun menyaksikan ungkapan yang tidak terduga itu. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya, berusaha meyakinkan Sekala bahwa ia baik-baik saja. Hal itu membuat Sekala merasa tidak enak hati hingga ia berusaha menciptakan jarak antara dirinya dan gadis itu. Genta tidak pernah menyuruh Sekala untuk bersikap seperti itu dan malah menyuruh pria itu untuk bersikap seperti biasa. Namun, tetap saja, Sekala merasa bersalah. Akan tetapi, hal itu berujung pada penyesalan Sekala setelah melihat gadis itu yang terbaring lemah seperti ini di beberapa tahun terakhir. Seharusnya, ia mengikuti ucapan Genta dan membahagiakan gadis itu. Jika tahu semua ini akan terjadi, Sekala tidak akan bersikap egois seperti itu. Walau Genta berkali-kali mengatakan padanya bahwa semua ini bukanlah kesalahan siapapun, tetap saja ada rasa penyesalan besar yang masih tertinggal di hati Sekala.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang perlahan terbuka. Sekala menatap ke arah sumber suara dan mendapati seorang wanita paruh baya masuk ke ruangan, lalu tersenyum ke arahnya. Sekala sangat familiar dengan sosok itu.
"Tante."
"Kapan kamu datang, La? Tumben nggak ngabarin." tanya wanita itu dengan ramah.
Sekala menyalimi punggung tangan beliau lalu menjawab, "Baru aja, Te."
Sekala berbincang dengan beliau hingga tidak terasa hari telah sore, membuat pria itu pamit pada beliau untuk pulang ke rumah. Lalu ia mendekat ke gadis itu dan berbisik tepat di telinga.
"Cepat sembuh, ya, Elsa."
Lalu pria itu pulang dengan harapan yang kosong, lagi-lagi karena perkataan Ibu Elsa beberapa saat lalu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kapan Elsa bisa sembuh karena semuanya butuh keajaiban. Akan tetapi, seluruh keluarga Elsa tetap meneruskan pengobatan karena menaruh harapan yang besar untuk kesembuhan gadis itu.
Tidak, tidak. Sekala tidak boleh putus asa di saat Elsa masih bertahan di saat-saat seperti ini.
Elsa pasti bisa sembuh, lalu kembali bersama dengannya dan Genta. Pasti bisa.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Teen FictionJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...