Chapter 18

9 0 0
                                    

                Hari ini adalah hari tryout SBMPTN.

Jingga menyelesaikan semua soalnya dalam waktu empat jam. Sebenarnya, soal-soal tersebut harus selesai kurang dari waktu itu karena SBMPTN sekarang menggunakan sistem blocking time. Artinya, semua jawaban otomatis akan tersimpan tepat empat jam setelah kalian menekan opsi start.

Jingga keluar dari ruang ujian dan berjalan menyusuri koridor. Tryout kali ini diselenggarakan di salah satu sekolah menengah atas bergengsi di Bandung. Walau kini tersedia tryout berbasis online dan dapat dikerjakan di rumah, Jingga tetap menyukai tryout yang pesertanya dikumpulkan di satu tempat. Rasanya seperti mengerjakan soal SBMPTN sungguhan.

Dulu, setelah gagal untuk pertama kalinya dalam SBMPTN, Jingga sempat mengalami fase trauma, di mana perutnya terus bergejolak setiap melihat soal-soal ketika tryout. Ia tidak begitu ketika belajar sendiri di rumah, benar-benar hanya ketika tryout. Ia akan bertahan selama sepuluh menit, lalu keluar dari ruangan dan mengeluarkan isi perutnya di toilet. Alhasil, ia tidak bisa menyelesaikan semua soal itu. Orang tua Jingga tidak tahu-menahu, Angkasa juga. Jingga tidak pernah sedikitpun mengungkitnya karena ia tidak ingin membebani orang-orang. Namun, kini Jingga sudah terbiasa. Walau kepalanya kerap kali berputar begitu melihat soal-soal, ia berusaha untuk terbiasa. Toh, kalau tidak dibiasakan, yang rugi dia juga.

Jingga berusaha walau tidak yakin sepenuhnya.

Gadis itu mengeluarkan ponselnya di saku, lalu mengetik sesuatu di sana, memesan ojek online karena hari ini Angkasa sudah kembali ke Jatinangor. Jangan tanya Ayah atau Ibu. Mereka tau-nya hari ini gadis itu tryout tanpa peduli bagaimanapun caranya. Mereka hanya menginginkan hasil dan sampai detik ini, mereka tidak mendapatkannya. Hal itulah yang membuat Jingga menjadi sosok seperti ini, yang ketika ia dan keluarganya berkumpul, ia akan diam seribu bahasa dan berbicara jika ada yang bertanya. Jingga terus-menerus merasa bersalah jika terlalu banyak bicara.

"Jingga?"

Jingga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang dan mendapati seseorang yang dikenalnya tengah tersenyum ke arahnya.

"Eh, Genta?" ucap Jingga tidak menyangka. "Ngapain di sini?"

Genta, pria itu berjalan mendekatinya. "Jemput adikku, tryout juga di sini."

"Oh, ya?"

Pria itu mengangguk. "Tapi, kayaknya masih lama, deh. Katanya mau makan dulu sama temannya."

Jingga tertawa mendengarnya. "Biasa, anak SMA, kayak nggak tau aja."

"Aku yang kecepatan jemput kayaknya."

Tiba-tiba ponsel Jingga berdering, membuat gadis itu segera mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Genta memerhatikan Jingga yang ekspresinya selalu berubah ketika mengucapkan kalimat-kalimat yang berbeda. Tidak lama kemudian, gadis itu menyimpan ponsel di sakunya dan menoleh ke arah Genta.

"Kayaknya aku juga nunggu. Ban motor abang ojol-nya bocor, mau tambal dulu katanya," ujar Jingga, lalu menunjuk ke salah satu kursi panjang tidak jauh dari mereka berdiri. "Duduk di sana, yuk?"

Genta mengekori Jingga dan duduk di sana, tepat di samping gadis itu dan menyisakan beberapa jarak agar tidak membuat gadis itu risih. Genta menyenderkan punggungnya dan menyipit matanya karena cahaya matahari yang mengenainya. Ia melirik ke Jingga yang asyik melihat orang-orang yang berlalu-lalang tanpa terganggu sedikitpun.

"Soal-soal SBMPTN sekarang susah-susah, ya?" tanya Genta yang benar-benar penasaran.

"Kenapa nggak tanya adikmu aja?" goda Jingga.

Genta mengangkat bahunya. "Dia, mah bilangnya mudah terus, soalnya dia nggak pernah belajar. Kalau ngerjain soal, asal silang aja. Ikutan tryout hari ini juga paksaan dari Ibuku karena dia terlalu santai."

Jingga terkekeh mendengarnya. "Adikmu cowok?"

"Cewek. Aneh, kan?"

"Nggak aneh, tau. Langka."

Mereka tertawa bersama. Tidak lama kemudian, Genta melirik Jingga yang tiba-tiba terdiam, seperti ada sesuatu yang menjanggal di tenggorokannya. Beberapa waktu lalu, ketika Genta melihat kedekatan Sekala dan Jingga, pria itu merasa bahwa ada sesuatu yang membuat mereka bisa sedekat itu. Bukan hanya berkat insiden mantan pacar Jingga di coffeshop. Walau Sekala tidak pernah menceritakannya secara rinci, Genta bisa menebak kalau Jingga memiliki masalah dan menjadikan sahabatnya sebagai tempat untuk meringankannya. Sangat jelas terlihat di mata Jingga bahwa ada sesuatu yang membebaninya.

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan." ucap Genta tiba-tiba, membuat Jingga sedikit tersentak.

"Memang, sekarang kamu berpikir hidupmu ditekan di berbagai sisi dan membuatmu nggak nyaman. Lalu setelahnya, kamu berpikir lagi, apa yang terjadi jika hidupmu nggak sesuai ekspektasi orang-orang? Kemudian, kamu takut merasa terbuang dan diacuhkan," ujar Genta pelan. "Tapi, soal-soal di lembaran-lembaran kertas nggak menjamin hidupmu. Benar, bahwa berkat kebenaran jawabanmu membawamu ke perguruan tinggi dan bekerja untuk hidupmu kelak. Namun, hidupmu adalah pilihanmu."

"Ada yang nggak sekolah tinggi, bisa jadi CEO ternama di dunia. Lalu ada yang nakal semasa sekolah hingga guru-guru meragukan hidupnya, sekarang jadi inspirasi banyak orang di Bumi. Persamaan dari mereka semua adalah mereka bahagia. Mereka bukannya beruntung, tetapi mereka hidup dengan pilihan mereka sendiri."

"Hidup dengan pilihanmu sendiri, akan membuatmu menemukan alasanmu ada di dunia ini."

Genta berdehem karena merasa omongannya terlalu berat. "Maksudku, jika kamu memiliki mimpi, gapai saja walau merelakan banyak hal."

Tiba-tiba saja Jingga tersenyum. "Aku ingin hidup seperti itu. Hanya saja, sepertinya aku nggak ditakdirkan untuk itu."

Jingga bangkit ketika melihat ponselnya yang menampilkan pemberitahuan bahwa abang ojol-nya sudah sampai di titik penjemputan. "Udah di jemput, nih. Duluan, ya?"

Sebelum bergegas menemui jemputannya, Jingga menatap Genta dengan senyuman. "Btw, makasih wejangannya! Sangat-sangat membantu."

Genta menatap kepergian Jingga hingga punggung gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya. Gadis itu, mau seceria apapun sifatnya dan secerah apapun wajahnya, tidak bisa ditipu bahwa manik matanya mengatakan hal sebaliknya.

Jingga yang pandai menyembunyikan.

*****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang