Chapter 15

14 1 0
                                        

Jingga masih setia di atas meja dengan tangan yang gesit mencatat sesuatu. Ia tengah menyelesaikan soal-soal matematika di buku besar SBMPTN-nya. Soal-soal tersebut lumayan rumit, tentu saja. Jadi, Jingga mencari beberapa referensi dari google, lalu mencari jawabannya. Tidak jarang, Jingga mengernyitkan dahinya begitu menemukan soal yang membingungkan. Kalau tidak sulit, bukan ujian negara namanya.

                Beberapa hari ini, Jingga fokus mengerjakan soal-soal SBMPTN untuk tryout yang akan diadakan beberapa hari lagi. Sejak hari itu, dimana Ibu mematahkan semangatnya, lagi dan lagi, ia bertekad untuk fokus dengan SBMPTN, sesuai harapan kedua orang tuanya. Ia merasa tidak berguna bila mempertahankan kegemarannya itu. Untuk apa kita mempertahankan sesuatu yang tidak akan pernah mendapat dukungan dari siapapun?

                Jingga ingin melenyapkan kata-kata melukis itu dari kepalanya.

                Jingga tidak peduli, bahkan dengan dirinya sendiri. Walaupun ia gila nantinya, Jingga pasrah saja. Toh, ia tidak bisa berharap lagi pada dirinya sendiri.

                Jingga menyerahkan diri sepenuhnya kepada orang tuanya. Terserah mereka ingin ia berbuat apa.

                Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Itu artinya, sudah lima jam non-stop Jingga mengerjakan soal-soal. Tidak terasa memang. Tetapi, begitu Jingga menggerakkan leher dan pinggangnya, pegalnya begitu terasa. Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju jendela. Ia renggangkan tubuhnya agar penat-penat itu menghilang dari tubuhnya sembari menatap langit siang menjelang sore. Jalanan lengang, tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Hanya ada pepohonan yang bergerak akibat semilir angin. Melihat hal itu, ada rasa tenang yang merasuk jiwa Jingga. Setidaknya, ada sesuatu yang damai yang dapat Jingga lihat. Walau ia tidak merasakan hal itu.

                Jingga hanya ingin tahu, bahwa tidak semua di dunia ini yang merasakan kondisinya saat ini.

                Terkadang, Jingga berpikir. Kenapa ia bisa berada di posisi seperti ini? Posisi yang tidak jelas arah dan tujuannya. Posisi yang tidak bisa memastikan apakah Jingga akan baik-baik saja atau tidak. Posisi yang rumit dan serba salah.

                Jingga pun membenci dirinya sendiri. Kenapa ia tidak bisa menjadi apa yang ia kehendaki? Kenapa ia membiarkan kedua orang tuanya mengatur jalan hidupnya? Hidup Jingga adalah milik Jingga. Kenapa Jingga sebegitu pengecutnya untuk hidupnya sendiri?

                Jingga benar-benar benci akan hal itu.

                Setelah beberapa saat termenung menatap kosongnya jalanan, Jingga berbalik, lalu kembali ke kursinya. Ia menarik napasnya, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya. Berulang-ulang kali ia melakukannya dengan tujuan untuk melepaskan sedikit beban agar ia bisa lebih fokus lagi belajar. Setelah pikiran-pikiran itu sedikit menguap, Jingga meraih penanya, lalu menorehkannya di kertas coretan.

                Drrt.. drrt..

                Suara handphone Jingga membuat fokus gadis itu buyar seketika. Ia melirik layar, melihat siapa yang meneleponnya. Begitu melihat namanya, Jingga berpaling, kembali mengerjakan soal. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sebanyak itulah Jingga mengabaikan panggilan itu.

                Drrt.. drrt..

                Jingga berdecak kesal. Ia meraih handphonenya, lalu menempelkannya di telinga.

                "Ji?"

                "Apa?!"

                Pria itu terdiam sejenak di seberang sana, mungkin sedikit terkejut karena nada suara Jingga yang terkesan membentak.

                "Lagi apa?"

                Jingga memutar matanya. "Kalau nggak ada kerjaan, kututup."

                "Eh, tunggu!"

                Jingga mengurungkan niatnya untuk memutus sambungan. Ia memilih diam, menunggu pria itu berbicara.

                Pria itu, Sekala. Mereka sempat bertukar nomor karena saat itu, hati Jingga dalam suasana yang bagus.

                "Lagi melukis, ya?"

                Topik yang membuat Jingga naik darah seketika.

                "Udah, lah." seru Jingga, menahan untuk tidak marah.

                "Kenapa? Kamu masih malu dengan lukisanmu sendiri?" ucap Sekala. "Lukisanmu bagus. Sangat bagus. Bukankah aku sudah mengatakannya berkali-kali?"

                Sudahlah, Ka. Cukup.

                "Aku adalah penggemarmu yang pertama. Selalu."

                "Ka."

                Terdengar tawa dari seberang sana. "Beneran."

                Jingga mengepalkan tangannya. Napasnya mulai tidak teratur. Dadanya pun naik-turun lebih cepat dari biasanya.

                Jingga tidak bisa menahannya lagi.

                "Ji—"

                "Aku tidak akan melukis lagi."

                "...Ji?"

                Mata Jingga berkaca-kaca. "Jangan pernah menghubungiku lagi!"

                Jingga memutuskan sambungan, lalu dengan sigap memblokir nomor Jingga. Ia mengusap matanya dengan telapak tangan, lalu berusaha fokus mengerjakan soal-soal dengan sesegukan yang tidak terlalu jelas karena Jingga sangat pandai untuk menahannya.

                Jingga berusaha membuat Sekala meninggalkannya. Jingga hanya takut, Sekala mampu membuatnya kembali kepada dunia lukisan yang mati-matian ingin ia tinggalkan. Sekala adalah sosok yang baik, sangat. Tetapi, jika Jingga ingin melupakan dunia itu, ia harus membuat Sekala hilang dari hidupnya.

                Jingga berharap, ia tidak menyesal.

                Semoga saja.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang