Hari ini minggu, tepatnya pukul delapan pagi. Tetapi, Jingga yang berumur 19 tahun, sibuk berkutat dengan sketchbooknya. Tidak peduli Angkasa, kakaknya dan Ibunya memanggilnya berkali-kali untuk sarapan, tetapi ia tidak memedulikannya. Jingga harus menyalurkan ide barunya ke sketchbook agar ia tidak lupa. Tadi malam, Jingga bermimpi, ia berada di sebuah pasar tradisional, zaman 1900-an, dimana semuanya berjualan tidak beralas dengan menggunakan uang zaman dahulu. Jingga menjadi terinspirasi dan segera menggambarnya.
Begitu terdengar suara ketukan, ia segera melempar sketchbooknya hingga masuk ke bawah meja belajarnya dan membuka buku SBMPTN 2014 yang super-duper tebal. Tidak lupa Jingga memegang pena lalu berpura-pura berpikir seperti tengah mengerjakan soal sungguhan. Ternyata, yang masuk adalah Ibu.
"Belajar, ya? Kalau kayak gini, kamu bisa, tuh masuk kedokteran!" seru Ibu antusias.
Jingga melepas pena-nya dari sela-sela jari. "Mudah-mudahan."
Ibu menepuk bahu Jingga. "Tahan sebentar lagi, ya? Ibu yakin, tahun ini kamu bakal masuk. Percaya, deh sama Ibu."
Jingga hanya berdehem, lalu kembali berkutat dengan buku.
"Nanti sarapannya ibu buatin lagi, ya. Kalau lapar, berhenti dulu,"
Setelah Ibu keluar, Jingga melempar pena-nya ke sembarang arah sembari memijir-mijit dahinya. Kata kedokteran membuat Jingga ingin berteriak sekeras mungkin, bahwa ia tidak menyukai—bahkan membenci jurusan itu. Tiga tahun di SMA, pelajaran yang sangat dibenci Jingga adalah Biologi. Nilai-nilai rapor Jingga tinggi karena ia belajar, terus lupa setelah ujian karena Jingga tidak ingin mengingatnya dalam waktu yang lama. Harapan orang tua-nya sangat besar terhadapnya, menjadi seorang dokter seperti Kakek Jingga. Lebih tepatnya, Ayah Jingga yang berusaha agar Jingga masuk ke kedokteran seperti Angkasa yang saat ini koas. Jingga telah mencoba SBMPTN jurusan kedokteran, tetapi nihil. Jingga pun mengikuti berbagai ujian masuk lainnya, tetap saja gagal. Ayah Jingga tidak putus asa dan menyuruh Jingga mencoba-nya lagi. Seperti itulah alasan mengapa Jingga telah menganggur selama hampir dua tahun.
Jujur saja, Jingga sangat frustasi. Bahkan, mendengar kata dokter saja, Jingga rasanya ingin membanting semua barang yang ada di dekatnya. Ia ingin bilang isi hatinya kepada kedua orang tua-nya, tetapi ia tidak memiliki keberanian sebesar itu. Jingga takut kepada Ayahnya. Jingga juga takut mengecewakan kedua-nya.
Jingga suka menggambar dan melukis sejak sekolah dasar. Jingga juga sering memenangkan lomba menggambar ketika sekolah dasar. Tetapi, Ibunya bilang, menjadi pelukis itu tidak menjamin masa depan. Jika Jingga melanjutkannya, hanya akan menjadi sia-sia belaka. Ya, orang tua Jingga tidak pernah mengizinkannya menggambar sejak SMA karena ingin Jingga hanya fokus ke sekolah. Jingga tidak pernah lagi ikut lomba karena takut Ayahnya marah. Dulu, Jingga pernah ketahuan Ayahnya melukis di kamar dan semua peralatan lukisnya dibakar, tepat di depan mata Jingga. Tentu saja hal itu membuat Jingga sangat stress. Hal itupun menyebabkan Jingga menjadi sosok yang keras, pemberontak, dan mudah marah. Jingga akan menjadi anak yang baik-baik di depan orang tua-nya, tetapi akan berubah 180 derajat bila bersama orang lain. Oleh karena itu, Jingga tidak memiliki teman selama SMA.
Setahun lebih menganggur, tentu saja sangat membosankan. Jingga memutuskan untuk melukis lagi, diam-diam. Jingga mengunci kamarnya untuk jaga-jaga. Hanya Angkasa yang tahu karena tidak sengaja ketahuan dan Jingga tidak perlu mengkhawatirkannya. Justru Angkasa yang menyuruhnya tetap melukis dan meninggalkan buku tebal yang menyebalkan itu. Jika Angkasa tidak ada, entahlah apa yang terjadi pada Jingga. Mungkin, dia bisa menyerah terhadap hidupnya. Walau Jingga kerap berbicara ketus kepada Kakaknya, Jingga sungguh menyayangi Angkasa.
Terdengar pintu terbuka, membuat Jingga menoleh ke sumber suara, lalu mendapati Angkasa masuk dan menutup pintu kembali. Baru saja dibicarakan.
"Makan dulu, Ji. Nggak capek?" tanya Angkasa.
Jingga menutup buku SBMPTN-nya, kemudian mengambil sketchbook-nya tanpa membalas ucapan Angkasa. Sebabnya, karena mood Jingga tiba-tiba memburuk, seperti angin topan yang menghampiri sebuah desa yang damai.
Angkasa menghela napas. "Aku pikir, aku harus mengatakannya kepada Ibu."
"Keinginanmu untuk menjadi pelukis."
Sontak Jingga terdiam, kemudian menatap Angkasa. Angkasa mengangguk begitu tatapan mereka bertemu. "Sampai kapan kamu harus sandiwara begini, Ji? Jangankan kamu, aku saja lelah melihatmu yang harus bersembunyi untuk melukis."
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Jingga heran. Jingga tahu betul kalau dulu, sewaktu Angkasa berada di posisinya, laki-laki itu merelakan banyak hal, termasuk cita-citanya, yaitu menjadi seorang pemain sepak bola. Angkasa lebih memilih untuk menuruti kehendak orang tua-nya untuk menjadi dokter. Angkasa pun tidak bisa menolak karena ia takut melawan kedua orang tua-nya.
Dan tiba-tiba, ia ingin memberitahu Ibunya tentang cita-cita Jingga?
"Entahlah. Sejujurnya, aku juga takut. Takut kalau nantinya kamu yang paling banyak dirugikan."
"Kalau begitu, jangan," ujar Jingga ketus. "Biarkan saja semua ini mengalir. Bisa melukis pun sudah membuatku senang."
Angkasa menatap prihatin ke Jingga yang tengah menggambar sesuatu dengan gesit, seperti dikejar-kejar sesuatu. Ada satu hal yang membuat Angkasa iri kepada adiknya itu. Jingga bisa mempertahankan hobinya, tidak seperti dirinya yang langsung menyerah pada sepak bola ketika Ayahnya bilang, kalau ia harus masuk ke kedokteran. Angkasa hanya takut, semakin lama ia mencintai sepak bola, maka semakin susah ia meninggalkannya.
Tetapi, perumpamaan itu adalah sebuah kesalahan ketika ia melihat Jingga dengan lukisan-lukisannya. Oleh karena itu, Angkasa hanya bisa menyemangati adiknya itu karena ia tidak bisa kembali ke masa lalu.
Merasa suasana tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, Angkasa mengacak-acak rambut Jingga yang tidak terikat. "Iya deh, adikku zeyenk~"
Jingga memberontak. "Apaan, sih? Sana keluar!"
"Galak amat, Bu Bos."
"Bodo amat."
"Beleknya, tuh, Neng!"
Melihat Jingga yang hendak mengambil bantal, Angkasa segera keluar karena takut terjadi perang saudara. Sedangkan Jingga, mendengus kesal. Angkasa itu, kalau sedang mode malaikat, bukan main baiknya. Tapi, kalau sudah sebaliknya, ya gitu, deh. Jingga saja pernah menendang Angkasa hingga pria itu keseleo karena Angkasa mencubit pipinya. Jujur saja, Jingga sangat tidak menyukai skinship kecuali dengan Bintang, kekasihnya.
Jingga mengerang. Sepertinya, ia tidak bisa melanjutkan sketsanya di sini karena atmosfernya tidak nyaman lagi. Jadi Jingga memilih mengambil tas dan memasukkan sketchbook, pensil, penghapus, dan dompetnya, lalu meraih handphonenya dan keluar dari kamar. Ia ingin menggambar di tempat lain.
"Mau kemana, Ji?" tanya Ibu.
"Mau belajar bareng, Ma. Sama Yeri."
"Hati-hati, ya."
Jujur saja, semua itu hanyalah kebohongan. Yeri, yang diketahui Ibu Jingga adalah teman Jingga yang juga berjuang untuk SBMPTN tahun ini, hanyalah karangan Jingga belaka agar ia bisa leluasa keluar dari rumah dan menggambar di coffeeshop kesukaannya.
Lagipula Jingga sudah banyak berbohong selama ini. Apalagi kepada dirinya sendiri.
****
![](https://img.wattpad.com/cover/193338770-288-k278544.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Fiksi RemajaJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...