Chapter 25

4 1 0
                                    

              Jingga duduk menatap jalanan lewat kaca yang membatasi coffeeshop dengan ramainya orang-orang yang berlalu-lalang di luar. Namun, tatapan itu kosong karena pikirannya ada di suatu tempat. Hari ini, ia berusaha keras agar menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru private-nya dengan cepat dan benar agar jam lesnya cepat selesai. Entah mengapa, semuanya sesuai rencana dan kegiatan les-nya selesai dua jam lebih cepat dari biasanya. Setelah guru les-nya pergi, Jingga mengambil dompet dan ponselnya, lalu mengenakan hoodie secepat mungkin dan berpamitan dengan Ibu, bilang kalau ia ingin belajar bersama temannya. Jingga baru menyadari bahwa kebohongannya kali ini terlihat sangat jelas karena ia tidak membawa tas, apalagi buku untuk belajar, membuatnya berdecak. Ah, sudahlah. Ibu pun tadi tidak terdengar mencurigainya.

              Semua rencana itu dilaksanakan Jingga agar ia bisa pergi ke tempat ini, apalagi kalau bukan Retro's Coffee. Ada seseorang yang sangat ingin Jingga temui setelah tiga hari yang lalu ketika ia berbincang dengan Genta. Tetapi, ketika Jingga datang, hanya ada Genta dan pria itu bilang, yang dicari Jingga sedang berbelanja kebutuhan coffeeshop dan akan kembali sebentar lagi. Maka dari itu, Jingga melamun ditemani secangkir Caramel Macchiato buatan Genta.

              Pikiran Jingga tidak bisa terlepas dari ucapan Genta beberapa hari yang lalu, mengenai pria itu dan sahabat pria itu. Ternyata, bukan pria itu yang memiliki cinta sepihak pada sahabatnya, malah sebaliknya. Dulu, sahabat pria itu, Elsa, sangat menyukai pria itu. Gadis itu sangat terang-terangan menyukai pria itu, tetapi sayangnya pria itu tidak sedikitpun melirik gadis itu sebagai wanita, melainkan hanya sebatas sahabat. Genta, pria itu, dan Elsa merupakan sahabat sejak SD dan menghabiskan banyak waktu bersama. Menurut Genta, memang wajar jika ada di antara mereka yang jatuh cinta dengan yang lainnya. Tetapi, walau begitu, pria itu, Sekala, sangat perhatian dengan Elsa. Jika dianalogikan sebagai keluarga, Sekala itu seperti kakak laki-laki yang sangat melindungi adiknya, sementara Genta adalah adik yang sangat usil dengan kakaknya. Jika Elsa terluka karena jatuh dari sepeda, Sekala akan menggendong gadis itu di punggungnya. Dulu, mereka bertiga tinggal di Lembang, satu kawasan. Jadi, memang mereka bertiga sudah dekat sejak kecil. Namun, karena pekerjaan dan sesuatu yang tidak dijelaskan Genta lebih lanjut, akhirnya Sekala dan adiknya pindah ke Bandung Kota, diikuti dengan Genta yang selalu ingin bersama Sekala. Sementara Elsa, yang saat ini terbaring lemah, masih berada di Lembang, di salah satu rumah sakit di sana. Baik Sekala dan Genta akan menyempatkan waktu untuk mengunjungi sahabat mereka itu.

              Setelah mendengar cerita Genta, Jingga menunjukkan senyumnya dan pamit pulang karena kebetulan, hari semakin gelap. Namun, di perjalanan pulang, senyum Jingga luntur, tergantikan dengan sirat wajah khawatir. Ia baru tahu kalau Sekala memiliki seseorang yang sangat istimewa, Elsa. Cerita Genta terdengar seperti Sekala yang sangat menyayangi Elsa walau dengan dalih sahabat. Jingga tidak bisa merasa tenang. Ia tahu, bahwa pikirannya yang seperti itu membuatnya menjadi terlihat sangat jahat. Hei. Gadis itu sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, sudah sepantasnya pria itu menaruh perhatian yang lebih lagi pada gadis itu. Mengapa Jingga seperti ingin menggila begitu mendengar Sekala dan orang istimewanya?

              Jingga tidak pernah merasa seperti ini. Apakah mungkin karena Jingga pernah dikhianati oleh seseorang?

              Entahlah.

              "Hai, Ji."

              Suara itu masuk ke telinga Jingga, membuat gadis itu menoleh ke sampingnya dan mendapati Sekala yang tersenyum lebar sembari menatapnya. Astaga. Bisakah pria itu tidak tersenyum seperti itu padanya? Pria itu hanya membuatnya ingin menjadi lebih egois untuk memiliki pria itu sepenuhnya. Tidak, tidak. Jingga menggelengkan kepalanya. Ini tidak benar. Ini. Tidak. Benar.

              Jingga ingin mengusir perasaan yang salah itu dengan melarikan diri dari coffeeshop. Setelah lumayan jauh berlari tanpa menoleh ke belakang, Jingga berhenti dan menetralkan pernapasannya. Sepertinya, ia sudah berlari cukup jauh dari coffeeshop. Jingga merasa ia akan gila sebentar lagi karena perasaan yang menggebu-gebu ini. Hei, Jingga. Waraslah!

              "Ji, kenapa lari-larian, sih?"

              Sial. Pria itu tidak melepaskan Jingga begitu saja.

              Jingga bisa melihat dengan jelas pria itu yang juga ngos-ngosan sepertinya. Jingga ingin marah, menyuruh pria itu menjauh saja darinya yang akan menjadi gila ini. Namun, melihat wajah itu yang masih saja tersenyum kepadanya, membuatnya terdiam, membeku di tempat.

              "Ngejar apa, sih Ji? Tiba-tiba." ucapnya dengan kekehannya.

              Sial, sial, sial. Mengapa hari ini Sekala terlihat berbeda dari biasanya?

              Hari ini Sekala terlihat lebih manis dari biasanya.

              Rasa egois yang menginginkan Sekala sepenuhnya dengan Sekala yang hari ini lebih menawan dibanding hari-hari sebelumnya, membuat Jingga tidak bisa menahan diri. Ia menelan ludah, lalu berjinjit dan memegang kedua bahu pria itu erat. Ditatapnya kedua mata pria itu, yang menatapnya bingung.

              "Kenapa, Ji?" tanyanya heran.

              Sekali lagi, Jingga menelan ludahnya.

              "Dengerin ya. Aku nggak bakal ngulangin lagi." ucap Jingga pelan.

              Pria itu mengangguk, paham.

              Jingga tahu, mungkin ia akan menyesali semuanya setelah ini. Sebenarnya, ia jarang mendengar bahwa di saat-saat seperti ini, pihak perempuan yang mengutarakannya terlebih dahulu. Bukan jarang, lebih tepatnya tabu. Di saat perempuan yang mengutarakannya lebih dahulu, ada banyak komentar yang tidak berdasar, seperti perempuan yang melakukannya tidak memiliki harga diri lagi.

              Tetapi, saat ini, Jingga akan mengusir pikiran-pikiran itu dan akan memikirkannya setelah ini.

              "Ayo pacaran."

              Jingga bisa melihat kedua pupil mata Sekala membesar dan satu kata keluar dari mulutnya yang sedikit gemetar. "Kenapa?"

              Jingga ingin berbohong, mengatakan alasan klasik seperti karena ia menyukai Sekala. Namun, entah kenapa, hari ini ia ingin jujur saja dengan perasaannya.

              "Karena aku nggak mau kehilangan Sekala."

              Ya, Jingga meminta Sekala menjadi pacarnya agar ia tidak merasa terancam akan kehilangan Sekala. Ia tidak perlu lagi untuk khawatir dengan Elsa karena dengan Sekala menjadi pacarnya, ia tidak akan takut jika kehilangan Sekala dengan mudah. Membuat Sekala menjadi pacarnya, akan membuat pria itu selalu berada di sisinya.

              Jingga hanya ingin egois, kali ini saja.

              Karena Sekala telah menjadi bagian dari hidupnya yang penuh dengan tawa.

*****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang