Chapter 05

21 3 1
                                        

Jingga mengunci diri di kamarnya berhari-hari dengan alasan bahwa ia ingin lebih fokus belajar. Pada kenyataannya, selama itu, Jingga sibuk terpaku dengan canvas dan cat air, memberi warna dengan gesit. Sudah ada tiga lukisan yang selesai dan semuanya bergambar abstrak, sesuai perasaan Jingga saat ini. Jika ingin melihat kondisi Jingga, lihat saja lukisannya. Jingga selalu menuangkan perasaannya ke semua karyanya, tidak terkecuali. Karena Jingga pun ingin memperlihatkan kepada orang-orang tentang perasaannya, walau ia tidak bisa.

                Jingga tidak bisa makan dan minum karena hasratnya yang saat ini sangat ingin membuat banyak lukisan. Karena hanya itu tempat dimana Jingga jujur akan perasaannya. Patah hati tidak sembuh dalam sehari, dua hari, sebulan, bahkan bertahun-tahun.

                Hari itu, Jingga pulang ke rumah dengan wajah kusut. Ibu bertanya apa yang terjadi, tetapi ia bilang, ia habis menangis karena temannya ada yang pindah ke Jogjakarta. Tentu saja, Jingga tidak siap untuk memberitahu yang sesungguhnya. Kedua orang tua Jingga menaruh harapan banyak pada hubungan Jingga dan Bintang. Bintang sangat pandai memikat perhatian orang tua Jingga, hal yang sangat disesali Jingga sekarang. Bintang, pria brengsek itu, benar-benar kejam. Berpura-pura baik didepannya dan bersikap seperti kekasih terbaik di dunia. Nyatanya, Bintang hanyalah sampah.

                Jingga mematikan ponselnya sedari hari itu, takut saja ia melihat nama Bintang di layar handphonenya dan membuatnya ingin melempar handphonenya ke dinding hingga pecah berkeping-keping.

                Jingga tengah dalam mode serigala.

                "Ji, gue bawa bubur, nih."

                Suara Angkasa terdengar di balik pintu. Mendengar suara Angkasa, membuat Jingga menghentikan aktivitas melukisnya. Angkasa pulang. Pria itu kembali ke kost-annya di Jatinangor, tidak lama setelah Jingga pergi ke coffeeshop. Hari itu, Jingga mencari Angkasa, untuk bercerita. Tetapi, karena tidak menemukan Angkasa, Jingga memilih mengunci diri, merajuk. Kenapa Angkasa tidak ada ketika ia sangat membutuhkan pria itu?

                "Bukain, dong."

                Jingga beranjak dari kursinya dan membuka pintu. Melihat peralatan lukis Jingga, Angkasa segera masuk dan mengunci pintunya kembali. Jingga duduk kembali, lalu melanjutkan lukisannya.

                "Kata Ibu, kamu nggak keluar kamar selama tiga hari. Kenapa?" tanya Angkasa pelan. "Aku nggak yakin kalau alasannya karena temanmu pindah."

                Jingga tidak menjawabnya, tetap mencampur cat-cat air dan menghasilkan warna yang baru.

                "Untung aja kamar kamu ada toiletnya. Tapi, kamu nggak makan? Nggak minum? Atau minum air kamar mandi? Makan sabun?"

                "Berisik!"

                "Gitu, dong, ngomong. Walau ngegas."

                Jingga berdecak, lalu berusaha membuat dirinya kembali fokus. Jingga sama sekali tidak berminat pada makanan dan minuman untuk saat ini. Jingga hanya ingin melukis.

                "Maaf, kalau gue nggak selalu ada di samping lo karena gue kuliah, Ji. Bandung-Jatinangor lumayan jauh."

                Jingga tetap berbalik. Hal itu membuat Angkasa terpaksa menyentak lengan Jingga hingga adiknya itu berhadapan dengannya.

                "Apaan, sih!"

                "Kamu itu, loh yang apa-apaan. Kalau kamu nggak ngomong, gimana aku bisa bantu? Gimana aku bisa ngasih solusi? Gimana kamu bisa nyelesain masalah kamu?"

                "Aku putus sama Bintang!" seru Jingga dengan nada tinggi. "Puas?!"

                Angkasa mengerjapkan kedua matanya, tidak percaya. Putus? Padahal, selama ini, mereka jarang bertengkar. Jingga sendiri yang cerita, kalau Bintang akan selalu mengalah bila ada permasalahan, sehingga meminimalisir pertengkaran.

                "Putus? Kenapa?"

                "Pokoknya putus aja." ucap Jingga sembari menunduk. Suaranya melemah.

                Angkasa merasa ada yang tidak beres. Ia memegang kedua bahu Jingga, lalu menghela napas.

                "Kenapa Ji?"

                Perlahan, terdengar suara isakan, yang berasal dari Jingga. Air matanya jatuh ke celemek yang ia kenakan, khusus untuk melukis.

                "Ji?"

                "Dia.. selingkuh," isak Jingga. "Di depan mataku sendiri."

                Begitu Jingga selesai berbicara, amarah Angkasa tiba-tiba meledak-ledak di kepalanya. Wajah Bintang terbayang di benaknya dan sangat ingin Angkasa hajar. Ia ingin sekali pergi ke rumah Bintang dan menghajar pria bajingan yang membuat adiknya menangis itu. Selingkuh? Pria itu berani menyelingkuhi adiknya?

                Angkasa akan membuat pria itu paham akan konsekuensinya.

                Tetapi, entah kenapa, ia tidak beranjak dari kasur Jingga. Gadis itu masih menunduk dan terisak-isak, membuat Angkasa tidak tega melihatnya. Ia tarik tubuh mungil itu ke dekapannya, lalu mengelus-elus rambut Jingga. Jingga semakin mengerang, membuat Angkasa mempererat pelukannya. Ia mengulang-ulang kalimat-kalimat yang menenangkan untuk Jingga.

                Jingga adalah seseorang yang jarang menangis. Dulu, ketika jatuh dari sepeda dan lututnya lecet dan berdarah, Jingga hanya diam dan bilang ke Ibu kalau lututnya sedikit sakit. Ketika SD, kepala Jingga pernah bocor karena jatuh dari pohon rambutan di depan rumah dan Jingga hanya bilang kalau kepalanya sedikit pusing, padahal darahnya berceceran dimana-mana.

                Dan sekarang, Jingga menangis dengan keras karena disakiti oleh pria?

                Sungguh keterlaluan. Angkasa tidak akan pernah memaafkannya.

                "Jingga, makan sama-sama, yuk. Kamu belum makan beberapa hari ini." teriak Ibu dari luar.

                Angkasa lekas menyahut. "Angkasa lagi ngajarin Jingga, Bu. Jingga-nya mau makan di kamar aja."

                "Baiklah." ucap Ibu.

                "Kak, gue—,"

                Angkasa menggeleng, tidak membiarkan Jingga berbicara.

                "Semuanya akan baik-baik aja, Ji. Selama kamu punya aku."

                Jingga bersyukur karena memiliki Angkasa.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang