Chapter 11

11 2 0
                                    

Lima belas menit telah berlalu. Selama itulah, Jingga menatap rumahnya dari balik pohon. Selama di perjalanan, Jingga sangat yakin untuk pulang. Namun, ketika rumahnya telah di depan mata, tiba-tiba saja rasa percaya diri itu hilang, tergantikan keraguan. Apakah benar ia harus pulang seperti apa yang dikatakan Sekala? Tetapi, kenapa Jingga takut?

                Ah, bukankah hari ini adalah hari sabtu? Itu artinya, Ayah ada di rumah.

                Tidak, tidak. Jingga tidak bisa melakukannya. Lebih baik ia menjadi gelandangan daripada pulang dan melihat wajah kecewa kedua orang tuanya. Namun, apakah semuanya bisa selesai bila ia bersembunyi seperti ini?

                Sepertinya, Jingga harus menanyakannya pada Sekala.

                Tadi malam, Sekala bilang, Jingga boleh bercerita atau meminta saran kepadanya. Anggap saja, sekarang mereka berteman, walau Jingga agak sedikit asing dengan kata itu. Teman? Ah, mungkin karena Jingga tidak memiliki teman.

                Apakah sesenang itu ketika memiliki teman?

                Ketika ia mengobrol dengan Sekala, Jingga merasa, ada perasaan lega yang keluar dari dadanya. Ia pun bisa tersenyum dengan mudah ketika Sekala menanggapi ucapannya. Ia juga bisa mengeluarkan segala unek-uneknya tanpa merasa rendah diri. Jingga merasa, kala itu ia menjadi orang yang terbuka.

                Apakah karena Jingga tidak pernah mengobrol dengan orang lain seperti itu?

                Entahlah.

                Jingga berbalik, hendak ke coffeeshop lagi. Tetapi, seseorang menghadang langkahnya, membuat kepalanya mendongak. Jingga membeku. Ia tidak berkedip dan tetap melihat wajah itu, takut bahwa ia salah lihat.

                "Ji."

                Sial. Ternyata, memang dia.

                "Kamu masih nggak ngerti, ya?" bentak Jingga.

                Dia adalah Bintang, penyebab dari semua ini.

                "Aku masih mencintaimu, Ji. Kumohon, berikan aku kesempatan kedua." pintanya, penuh harap.

                Jingga berdecak. Harus menggunakan bahasa apa, ya, agar pria tidak tahu diri ini mengerti, kalau Jingga hanya ingin pria itu pergi dari hidupnya.

                "Ji, kamu kenapa, sih?" ucap Bintang. "Biasanya, kamu selalu maafin aku. Kamu itu berubah, tau nggak?"

                "Apa? Katamu, aku berubah?" seru Jingga tidak percaya. "Kamu yang gila."

                "Apa?!"

                "Bin, mungkin, kamu pernah dengar kalau ada perempuan yang bakal kasih kesempatan kedua untuk pacarnya kalau berada di posisi ini. Tapi," ucap Jingga, penuh penekanan. "Bukan aku. Aku pun tidak masalah, kalau di dunia ini, hanya aku yang tidak akan memberikan kesempatan kedua!"

                "Kamu—,"

                "Menurutmu, apakah aku kesal hanya karena kamu selingkuh?"

                Jingga menelan ludahnya, sebelum melanjutkan ucapannya.

                "Kata-kata terakhirmu di hari itu adalah sesuatu yang selalu aku ingat hingga detik ini," desis Jingga, menahan sesak, "Ketika aku berpikir ingin memaafkanmu, kata-kata itu kembali menghantuiku. Membuatku takut untuk menerimamu kembali. Membuatku sadar, kamu bukanlah Bintang yang kukenal. Kamu adalah Bintang yang berbeda."

                Bintang terdiam, lalu dia tertawa, membuat Jingga bergidik ngeri. Sangat menyeramkan.

                 "Kurasa, kamu tidak berubah, Ji."

                Jingga terdiam, mulai menerka-nerka apa kelanjutannya.

                Bintang menyeringai. "Siapa yang ingin menjadi kekasihmu, Ji, jika kamu tidak pernah berubah? Kamu tahu, mungkin, di dunia ini, hanya aku yang mengemis-ngemis minta berpacaran denganmu. Menurutmu, karena apa?"

                Bintang mendekat, lalu berbisik tepat di telinga Jingga.

                "Karena temperamenmu yang sangat buruk."

                Seketika, mata Jingga memanas. Kata-kata itu kembali menusuk dada Jingga, sehingga semakin terasa perih. Ia menatap Bintang dengan mata berkaca-kaca. Kenapa pria itu tega mengatakan semua itu? Apakah salahnya ketika temperamennya sangat buruk? Apakah salahnya karena ia tidak pandai bergaul? Yang lebih parah lagi, apakah selama ini pria itu tersiksa karena sifat Jingga?

                Kini, Jingga merasa sangat rendah diri.

                BUGH!!!!!

                Tepat air mata itu jatuh, Bintang tersungkur ke tanah akibat tinjuan maut dari seseorang. Jingga melihat pelakunya dan sontak terkejut.

                "Angkasa..."

                Angkasa menduduki tubuh Bintang, lalu menarik kerah pria itu.

                "Sekali lagi kamu menjelekkan adikku, mati kamu." ancam Angkasa. Bintang terkapar tak berdaya dengan sudut bibir yang berdarah. Ia pasti syok karena dihajar tiba-tiba. Angkasa berdiri, menghampiri adiknya yang berlinangan air mata.

                "Kamu nggak apa-apa, kan?" ucap Angkasa, sembari memegang tangan Jingga, memeriksa apakah adiknya itu terluka atau tidak.

                Perlahan, Jingga menggeleng.

                "Kamu kemana aja? Aku udah nyariin kamu kemana-mana dan kamu nggak ada." keluh Angkasa.

                "Aku.. mau.. pulang..." desis Jingga.

                Angkasa mengangguk, lalu merangkul bahu Jingga yang bergetar. Sudah dipastikan bahwa adiknya sangat kesakitan karena pria biadab itu. Sekarang, Angkasa merasa sedikit lega karena telah menghajar Bintang, walau ia tidak akan pernah puas. Ganjaran untuk melukai Jingga tidak bisa diukur dan dihitung oleh apapun.

                Bisa-bisanya ia menyakiti Jingga ketika Angkasa mati-matian untuk membahagiakan gadis itu.

                "Ji, kujamin, kamu tidak akan memiliki pacar! Sampai kapanpun!"

                Angkasa dan Jingga berbalik dan mendapati Bintang yang berdiri dan menyeringai. Angkasa berdecih, hendak menghampiri Bintang lalu menghajar pria itu mati-matian. Tetapi, Jingga menahan lengannya, lalu menggeleng. Jingga memilih melangkah maju, mendekati Bintang.

                PLAK!!!!!

                Rasa panas itu menjalar di seluruh kulit telapak tangan Jingga. Matanya yang berair, menatap pria itu yang tengah meringis. Pria itu hendak marah, tetapi wajahnya mendadak reda begitu ia menatap Jingga. Pria itu pasti telah menangkap sinyal dari Jingga. Tamparan itu menjawab segalanya.

                Jingga beralih menuju Angkasa dan menarik pria itu masuk ke rumah, meninggalkan Bintang yang masih terkejut dengan sinyal itu.

                Saat itulah Bintang sadar.

                Bahwa ia telah menyakiti Jingga sangat dalam.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang