Di sebuah coffeeshop yang berdesain vintage, Jingga memesan segelas caramel macchiato dan duduk di kursi paling pojok, dekat jendela. Jingga menggoreskan pensilnya di sketchbook-nya dan melanjutkan sketsa yang sempat tertunda. Berkali-kali ia menggambar, lalu menghapusnya. Matanya fokus ke satu objek, tidak peduli sebising apa di coffeeshop ini. Ada delapan anak SMA yang tengah mengobrol, lalu tertawa keras-keras, tidak peduli dengan kenyamanan pelanggan lain. Ada juga beberapa orang karyawan yang mengobrol tentang berita terkini, sesekali tertawa. Jujur saja, Jingga sedikit terganggu. Pertama kalinya Jingga ke Retro's Coffee, nama coffeeshop ini karena coffeeshop yang menjadi langganan Jingga tutup. Jingga baru tahu tadi, ketika ada kertas pemberitahuan bahwa coffeeshop tersebut ditutup karena mereka akan pindah ke luar kota. Jadi Jingga mencari coffeeshop terdekat dan menemukan Retro's Coffee. Caramel macchiato-nya enak, malah lebih enak dari coffeeshop langganan Jingga.
Desain coffeeshop ini dibuat seperti tahun 1990-an, retro, sesuai namanya, yang menjadi nilai aesthetic tersendiri. Bau kopi-nya menyerebak, membuat tempat ini terasa hangat. Coffeeshop ini belum lama buka karena Jingga melihatnya di pintu masuk, sejak 2014. Mungkin, itulah sebabnya juga, mengapa Coffeeshop ini ramai pelanggan.
Jingga menyeruput caramel macchiato-nya hingga titik darah penghabisan. Padahal Jingga belum menyelesaikan sketsa-nya. Jingga pergi beranjak ke kasir, ingin memesan coffee lagi. Seorang penjaga kasir dengan celemek cokelat, tersenyum kepadanya dengan ramah.
"Menu favorite di sini adalah Coffee's Delight." ucapnya.
"Caramel macchiato-nya, satu, ya." balas Jingga.
"Bisa ditunggu, kak? Soalnya ada bahan yang habis, jadi harus dibeli lebih dulu." ujarnya.
"Oke, ditunggu aja."
Setelah melakukan pembayaran, Jingga kembali ke mejanya karena kata kasirnya, nanti pesanannya akan diantar. Jingga kembali menggambar. Tidak lama kemudian, handphonenya berdering. Senyumnya mengembang begitu melihat sebuah nama di layar.
"Hai." sapa Jingga semangat.
"Senang banget, nih. Lagi ngapain?" tanya Bintang, kekasih Jingga.
"Belajar. Biasalah."
"Semangat, ya. Bintang yakin, Jingga bisa."
Jingga mengulum senyum. Jingga selalu jujur kepada Bintang, tetapi tidak untuk rahasianya, yaitu melukis. Dua tahun berpacaran dengan Bintang, Jingga tidak pernah mengungkit soal lukis-melukis. Jingga hanya belum bisa mempercayai orang lain, termasuk Bintang. Menurut Jingga, dengan keluarganya saja, Jingga tidak percaya sepenuhnya. Apalagi dengan orang lain.
Tetapi, Jingga bertekad. Ketika ia diterima di kedokteran nanti, ia akan memberitahu Bintang tentang mimpinya.
Mengenai Bintang, nama lengkapnya Bintang Pratama. Bintang adalah kakak kelas Jingga ketika SMA, beda setahun. Bintang adalah murid berprestasi di sekolah. Bintang kerap kali mendapat juara umum di sekolah. Tidak hanya itu, Bintang termasuk golongan siswa tampan. Banyak yang mengidam-idamkan Bintang, tetapi sayangnya, hati Bintang jatuh pada Jingga.
Saat ini, Bintang kuliah di jurusan kedokteran, di universitas ternama di Indonesia, Universitas Indonesia. Semester ini, Bintang akan merampungkan pendidikan dokternya. Tentu saja, hal itu membuat Jingga iri. Ia kadang bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sekitarnya terlihat mudah sekali masuk ke jurusan itu, tidak seperti dirinya yang gagal terus-menerus. Bintang selalu mengerti kondisi Jingga. Tidak jarang pria itu seringkali ke rumah Jingga untuk mengajarkan gadis itu ketika ia pulang ke Bandung. Orang tua Jingga pun kenal baik dengan Bintang. Bahkan, mereka bangga karena Jingga berpacaran dengan calon dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Teen FictionJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...