Berkali-kali, kertas itu dirobek, ditulis, lalu dirobek lagi. Sekejap saja, lantai kamarnya dipenuhi remasan kertas-kertas yang berisi ulasan cat air. Tangannya pun penuh dengan warna-warni. Tidak peduli apapun, ia masih mengoles warna di atas kertas putih.
"Aish."
Satu kertas dirobek lagi.
Ia melempar kuasnya ke sembarang arah, sehingga membentur dinding dan menghasilkan segurat warna di sana. Tangannya mulai menjambak rambutnya sendiri, frustasi. Ia tidak merasakan rasa sakit di kepalanya karena pikiran dan hatinya lebih perih.
Jingga tengah berada dalam fase kalutnya lagi.
Ingatan tentang hari dimana ia menampar Bintang, masih bertengger di kepalanya, teringat jelas walau Jingga ingin melupakannya. Tangannya masih bergetar, begitu mengingat ia menampar Bintang hari itu. Benar-benar keras, sehingga tangannya pun ikut memerah. Tiba-tiba saja ia merasa, apa yang dilakukannya kala itu adalah sebuah kesalahan terbesar. Ia takut, terlalu menyakiti hati Bintang karena pria itu selalu baik padanya. Pria itu memang sangat mengecewakannya, tetapi hanya kala itu, ketika pria itu selingkuh. Selama ia pacaran dengan Bintang, ia selalu dibuat nyaman oleh Bintang. Bintang selalu memberinya perhatian, melebihi perhatian Angkasa. Bintang adalah sosok yang sempurna di mata Jingga, sebelum ia mengetahui kalau pria itu selingkuh.
Lantas, apakah pantas ia menampar Bintang?
Kemarin, Angkasa pulang dari Jatinangor dan memperhatikan Jingga yang sibuk dengan kuasnya. Dia hanya menatap adiknya itu, kemudian memberi nasihat ke Jingga. Angkasa mengatakan, bahwa Bintang pantas mendapat tamparan itu. Jingga harus menyadarkan pria itu, agar ia tidak melakukan hal yang sama pada pacarnya di masa depan. Demi kebaikan sesame.
Tetapi, entah kenapa, Jingga merasa, bahwa semua itu adalah kesalahan. Ia marah dengan Bintang, tetapi ia lebih kecewa pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak membuat Bintang berpikir untuk menyelingkuhinya. Seharusnya, Jingga membuat Bintang nyaman juga. Seharusnya....
Seharusnya, Jingga menggenggam lebih erat tangan Bintang.
Tetapi, maaf, Jingga tidak bisa. Benar-benar tidak bisa.
Angkasa pergi ke Jatinangor tadi pagi dan pria itu bilang, ia akan pulang hari sabtu, tiga hari lagi. Tetapi, saat ini, Jingga butuh seseorang. Ia menyesal karena hanya diam tadi malam ketika ia tahu, Angkasa berusaha mengajaknya berbicara. Tetapi, ia malah menyibukkan diri dengan melukis, berpura-pura tidak menyadari kehadiran Angkasa.
Tiba-tiba saja, wajah Sekala mampir di kepala Jingga. Pria coffeeshop itu muncul di imajinasi Jingga dengan bibir tersungging, tersenyum manis. Jingga menggeleng-geleng kepalanya. Kenapa ia berpikir seperti itu, sih? Hei, ingatlah. Dia itu Sekala, pria yang baru-baru ini ia kenal.
Tetapi, kenapa saat ini, ia sangat ingin melihat Sekala?
Tok, tok, tok...
"Jingga, makan dulu."
Itu suara Ibu.
Jingga merebahkan diri, lalu memejamkan matanya, tidak peduli. Ia tidak membukakan pintu kamar, kecuali untuk Angkasa, empat hari belakangan. Alasannya tetap saja, ia sangat ingin fokus belajar. Lagi-lagi kebohongan.
Jingga sudah biasa hidup diselimuti tipu daya.
Ketika Jingga pulang ke rumah setelah kabur, Ibu mengekorinya dengan wajah khawatir dan meminta penjelasa, tetapi Jingga tidak memedulikannya dan berjalan ke kamar. Ia sempat melirik ke ayahnya yang tengah menonton televisi, tetapi pria itu tidak menoleh kepadanya, sama sekali. Pria itu memilih tidak peduli, membuat Jingga semakin jengah dan memutuskan untuk mengurung diri di kamar, selama-lamanya kalau bisa.
Toh, sebelum ia bisa berkuliah di kedokteran, ia hanyalah orang asing di mata Ayahnya sendiri.
Miris.
Suara Ibu menghilang. Sepertinya, ibu menyerah.
Jingga memandangi kamarnya yang lebih parah dari kapal pecah. Ia menyadari, bahwa beberapa ini, ia menghabiskan waktunya untuk melukis sesuatu yang tidak memiliki arti. Dominannya berwarna biru tua, hitam, merah. Hanya sekedar olesan, tidak berbentuk apapun. Abstrak, bahkan lebih parah.
Dan pikirannya kembali pada Sekala.
Tidak. Jingga tidak bisa terus seperti ini.
Jingga mengambil tasnya lagi, memasukkan peralatan lukisnya seperti biasa. Kemanapun ia pergi, Jingga selalu membawanya. Peralatan lukis itu adalah sebagian jiwanya. Tidak bisa dipisahkan.
Jingga menyisir rambutnya yang sudah seperti singa, lalu mengikatnya ekor kuda.
Ia menatap dirinya di cermin. Lalu meyakinkan dirinya sendiri.
Ia akan menemui Sekala.
****
![](https://img.wattpad.com/cover/193338770-288-k278544.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Ficção AdolescenteJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...