Chapter 10

14 2 0
                                        

Mentari bersinar terik hari ini. Ia tergopoh-gopoh sedari bangun tidur tadi. Ia terlambat untuk pergi ke toko. Padahal, ia telah berjanji ke sobatnya bahwa ia akan ke toko pagi-pagi sekali karena kemarin, ia ada proyek handlettering di sebuah café, sehingga ia tidak bisa membantu sobatnya mengelola toko itu. Tetapi, ia tidak mengira kalau hari ini, ia bangun pukul sembilan pagi.

                Begitu sampai toko, ada sedikit kelegaan yang terlepas dari dirinya. Belum ada pelanggan. Itu artinya, ia tidak perlu repot-repot merasa bersalah kepada sahabatnya. Lalu, ia menghampiri seseorang yang tengah menyapu dan menepuk bahunya.

                "Duh, sorry bro. Aku pengennya bangun jam lima, eh malah jam sembilan."

                Pria itu berdehem. "Sejak kapan seorang Genta Lasmana nggak ngaret, hm?"

                "Oh, jadi marah, nih, Sekala Raya?"

                "Memangnya, kamu pernah melihatku marah?"

                 Genta mengerucutkan bibirnya, sebal. Iya, sih, dia memang tidak pernah sahabatnya itu marah. Jangankan marah, meninggikan suaranya saja tidak pernah. Sekala adalah orang terlembut yang pernah Genta kenal. Namun, saking lembutnya, Sekala terlihat seperti orang bodoh. Contohnya saja, dulu, ketika jari kaki Sekala membentur kaki meja. Pria itu, bukannya meringis, malah mengelus-elus kaki meja tersebut. Genta yang melihatnya, tidak habis pikir. Padahal, jari kepentok meja itu, sakitnya bukan main.

                "Tumben banget, nggak ada pelanggan. Padahal udah jam setengah sebelas." ujar Genta, sembari mengotak-atik kasir.

                "Kan, belum buka."

                "Belum—apa?" seru Genta, sontak melihat ke arah pintu. Ada tulisan close yang menghadap ke luar toko. Genta hendak menghampiri Sekala yang tengah berada di dapur, tetapi langkahnya terhenti ketika mendapati seseorang yang tiduran di kursi panjang. Astaga, jantung Genta hampir copot dibuatnya. Seseorang itu, rambutnya panjang, memakai baju hitam-hitam, dan wajahnya tertutup rambut. Ia tidur seperti vampire.

                Genta segera menghampiri Sekala, lalu bertanya. "Itu siapa?"

                "Yang mana?"

                "Yang tiduran di kursi."

                "Ah," ucap Sekala, yang baru paham. "Temanku. Tadi malam, ia menginap di sini."

                "Temanmu? Perempuan? Yang mana? Kurasa, hanya aku temanmu," ujar Genta heran. "Menginap? Kamu juga..?"

                Sekala mengangguk. "Jangan berpikiran buruk. Aku tidur di kamar belakang, kok. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar dan aku akan tidur di meja, tetapi dia bersikeras."

                Genta menatap Sekala dengan selidik. "Kenapa kamu tidak pulang saja?"

                "Kamu yakin, aku akan meninggalkannya sendiri di sana?"

                Genta menutup mulutnya, tidak percaya. "Pacarmu, ya?"

                Sekala berdecak. "Pacar apanya? Sudah kubilang, kan. Teman."

                "Dan kamu tidak mau meninggalkannya?"

                "Iya, demi keselamatan toko."

                "Tapi—,"

                "Nanti akan kuceritakan semuanya."

                Genta menghela napas. Kalau begitu, tandanya Sekala tidak ingin membahas hal itu lagi. Jadi, Genta memilih untuk diam dan memperhatikan Sekala yang sedang menggiling biji-biji kopi. Genta melipat kedua tangannya dan pergi dari dapur dengan kecurigaan yang masih ada dibenaknya. Ada banyak pertanyaan lain yang ingin ia tanyakan pada Sekala, tetapi mengingat Sekala berjanji akan menceritakannya, Genta memilih memedamnya. Toh, nanti Sekala akan menceritakannya juga.

                Genta kembali ke kasir, sembari menatap gadis vampire yang tidur nyenyak, tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba saja Genta merasa takjub pada gadis itu karena ia bisa berteman dengan Sekala. Pria itu, hanya memiliki dua teman, Genta dan wanita itu. Sekala memang baik dan ramah, tetapi tidak ada yang benar-benar menjadi teman Sekala. Sekala pun adalah tipe orang yang tidak bisa mengatakan teman dengan mudah. Tetapi, tadi, Sekala mengatakannya dengan ringan. Menjadi teman Sekala selama lima tahun belakangan, tentu saja hal itu membuat Genta heran.

                Apakah sekarang, teman Sekala ada tiga?

                Tiba-tiba saja, gadis vampire itu bergerak, membuat Genta sedikit was-was. Tanpa disuruh, kaki Genta mendekat, penasaran dengan wajah gadis itu. Lalu gadis itu duduk, membuat Genta terperanjat, lalu menyingkirkan rambut dari wajahnya. Begitu wajah gadis itu terlihat, Genta membeku. Sedetik. Dua detik.

                "Kamu siapa?" tanyanya serak.

                Genta menelan ludah dengan susah payah.

                Muka bantalnya, lucu.

                "Sekala!" panggilnya sembari meregangkat otot-otot tubuhnya.

                "Ah, aku Genta, sepupu dari pemilik coffeeshop ini. Teman Sekala."

                Gadis itu memanggut-manggut, lalu kembali memanggil Sekala, seakan-akan tidak peduli dengan Genta. Tiba-tiba saja Genta merasa terkacangi.

                Kasihan.

                Sekala menghampiri mereka berdua sembari membawa segelas air putih dan menyerahkannya ke Jingga. Jingga menerimanya, lalu meneguknya.

                "Kamu harus pulang hari ini, Ji." ujar Sekala.

                Genta mengerutkan dahinya. Apakah gadis ini kabur dari rumah?

                "Aku tau."

                Hah, benar?

                Gadis itu menggendong ranselnya, lalu berdiri. "Makasih Sekala, atas bantuannya dan kamu, teman Sekala."

                Lagi-lagi, Genta dibuat heran dengannya. Teman Sekala? Bukankah tadi Genta sudah mengucapkan namanya? Kenapa gadis itu tidak memanggilnya Genta? Kenapa gadis itu memanggilnya teman Sekala?

                Wah, hal itu sangat melukai harga dirinya.

                "Tapi—,"

                "Hati-hati, Ji."

                Dan sekejap saja, gadis itu telah menghilang dipandangan mereka.

                "Wah!" seru Genta tidak percaya. "Aku sudah mengatakan namaku dan ia memanggilku 'teman sekala'? Yang benar saja!"

                Sekala duduk, lalu mengajak pria itu duduk juga. Sekala menceritakan segalanya, dari hari pertama ia bertemu Jingga hingga saat ini. Tentu saja, Sekala tidak mengatakannya secara rinci. Ia hanya bilang, kebetulan saja bertemu dengan Jingga lagi.

                "Oh, perempuan itu." desis Genta. Ia baru menyadari, gadis itu adalah orang yang sama, yang menyebabkan keributan di coffeeshop ini beberapa hari yang lalu. Jujur saja, waktu itu Genta kesal dibuatnya. Beberapa pelanggan terganggu dan memilih untuk tidak berlama-lama di sini. Genta mengerang kala itu, tetapi dengan sigap, Sekala menenangkannya.

                "Ah, iya. Open." seru Sekala seraya berlari kecil ke pintu dan memutar label menjadi open. Lalu, pria itu kembali ke dapur, mempersiapkan jualan.

                Tidak lama kemudian, beberapa pelanggan mulai masuk. Genta memperhatikan mereka satu persatu. Tiba-tiba saja, ia merasa sedikit janggal.

                Apakah Sekala sengaja membuka toko ini lebih telat karena Jingga?

                Teka-teki di dalam teka-teki.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang