Chapter 19

18 1 2
                                    

Tadinya Jingga sedang asyik mengerjakan soal-soal SBMPTN hingga sebuah pesan dari Sekala masuk ke pemberitahuan ponselnya. Begitu selesai membacanya, Jingga sontak bangkit dari kursinya dan segera memasukkan peralatan lukisnya ke tas. Tidak lupa Jingga menyimpan buku SBMPTN-nya di atas lemari karena kali ini ia akan berbohong lagi ke Ibu. Setelah semuanya siap, gadis itu bersiap-siap dan menyandang tasnya, lalu keluar dari kamar.

                "Mau kemana, Ji?" tanya Ibu yang sedang menonton televisi.

                "Belajar, Bu sama teman. Pergi, ya Bu!" jawab Jingga sembari mengenakan sepatunya dengan terburu-buru.

                "Hati-hati!" teriak Ibu sebelum Jingga menghilang dari pekarangan rumah.

                Gadis itu sedikit berlari menuju ke coffeeshop. Ketika ia sampai di sana, tampak Sekala tengah mengenakan helmnya, lalu memasang wajah terkejutnya begitu melihat Jingga yang ada dihadapannya, ngos-ngosan.

                "Aku, kan udah bilang mau jemput kamu." ucap Sekala bingung.

                Jingga menggeleng, berusaha menetralkan napasnya. "Nggak, bahaya!"

                "Terus, kenapa nggak balas pesanku?"

                "Nggak sempat!" seru Jingga. "Ayo!"

                Sekala tidak bisa menahan tawanya melihat Jingga yang begitu semangat. Tanpa memakan waktu lama, mereka berboncengan menuju tempat yang Sekala rencanakan.

                Ada waktu, nggak? Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat yang bagus untuk melukis.

                Aku jemput, ya.

                Karena terlalu bersemangat, Jingga tidak membalasnya dan bergegas bersiap-siap karena tidak ingin Sekala menunggu terlalu lama. Lagipula, yang lebih membuat Jingga antusias ialah tempat yang kini mereka tuju adalah tempat yang bagus untuk melukis. Sudah lama Jingga ingin pergi ke tempat-tempat seperti itu. Sayangnya, ia tidak ingin pergi sendirian di luar lingkungan rumahnya. Satu-satunya tempat yang bisa ia jadikan inspirasi untuk melukis hanyalah kehidupan di coffeeshop.

                Kurang lebih lima belas menit, akhirnya mereka tiba di sebuah taman yang tidak terlalu ramai. Begitu selesai memarkirkan motor, Jingga mengikuti Sekala yang tidak mengatakan apapun setelah mereka tiba. Setelah berjalan kurang lebih lima menit, akhirnya Sekala menghentikan langkahnya, tidak jauh dari danau yang terletak di tengah-tengah taman ini. Lalu, Sekala duduk di bawah pohon rindang, yang juga diikuti oleh Jingga.

                "Emang, sih nggak indah-indah banget. Tapi, suasananya menenangkan, bukan?" tanya Sekala yang disambut anggukan oleh Jingga.

                "Aku bisa mulai melukis sekarang, nggak?"

                "Sudah terinspirasi?"

                Lagi-lagi Jingga mengangguk dengan semangat. Merasakan suasana seperti ini membuat inspirasinya mengalir cukup deras, yang mampu menciptakan puluhan lukisan. Sudah lama Jingga tidak ke tempat seperti ini. Dulu, ketika ia SMP, setiap pekannya, keluarganya seringkali piknik di taman-taman yang memang banyak di Bandung. Namun, keadaan telah berbeda. Keluarganya cukup sibuk sehingga tidak tahu kapan mereka bisa mengadakannya lagi.

                Jingga mengeluarkan peralatan lukisnya dan menyusunnya sedemikian rupa, lalu mulai menyapu kuasnya di kertas gambarnya. Jingga ingin melukis danau dihadapannya, yang dipenuhi teratai di atasnya, sangat indah.

                "Kamu nggak berniat untuk melukisku?" goda Sekala di tengah asyiknya melihat Jingga yang fokus melukis.

                "Nggak, ah. Nanti kamu minder karena gantengan lukisannya daripada kamu." balas Jingga tidak kalah jahil, membuat Sekala mengerucutkan bibirnya.

                Jingga menahan tawanya karena kini Sekala terlihat sangat lucu dengan bertanya kepada pria itu. "Btw, kamu punya mimpi juga?"

                "Punya," jawab Sekala tanpa gentar sedikitpun, "Walau nggak se-menarik mimpimu."

                "Apa?"

                "Aku menyukai puisi."

                Tangan Jingga yang sedaritadi melukis, terhenti begitu mendengar jawaban Sekala. "Puisi?"

                Sekala mengangguk. "Sedari kecil aku suka menulis kata-kata yang aku rasakan ketika melihat atau mengalami sesuatu di buku catatanku yang lama-lama kata-kata tersebut menjadi puisi."

                "Kenapa kamu bekerja di coffeeshop?"

                "Bekerja di coffeeshop nggak akan menghilangkan rasa cintaku pada puisi, Ji," ucap Sekala sembari tersenyum. "Seperti kamu yang nggak meninggalkan lukisan."

                Mendengar hal itu membuat Jingga tersenyum tipis. Ia tahu benar maksud Sekala dan ia paham bagaimana rasanya. Jingga hanya tidak menyangka bahwa Sekala pun mengalami hal serupa dengan dirinya. Ketika memikirkan awal bertemu Sekala, Jingga bisa mengerti alasan pria itu sangat baik kepadanya walau tidak saling mengenal. Sebabnya, karena pria itu benar-benar baik.

                "Kuharap, buku kumpulan puisimu ada di toko buku suatu hari nanti." gumam Jingga yang paling serius.

                "Kuharap juga, aku bisa mengunjungi pameran lukisanmu beberapa tahun lagi." ujar Sekala, membuat Jingga tersipu malu.

                Jingga kembali melanjutkan karyanya. Matanya tidak lepas dari kertas gambar dan pemandangan dihadapannya. Tangannya lincah mengontrol kuas yang penuh warna dan mengolesnya di kertas putih tersebut. Jingga tidak sadar hingga gerakannya terhenti ketika melihat Sekala yang duduk di pinggir danau. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu berada di sana. Gadis itu melirik jam di tangannya dan ternyata, sudah satu setengah jam mereka berada di taman ini. Mungkin, pria itu sudah lama berada di sana tanpa sepengetahuan Jingga.

                Pria itu menunduk, seperti tengah fokus mengerjakan sesuatu. Jingga berusaha menyipitkan kedua matanya, menyelidik hal-hal yang bisa memenuhi rasa penasarannya. Ah, Sekala tengah menulis sesuatu di catatan kecilnya. TIba-tiba saja Jingga teringat percakapan tadi. Puisi. Sepertinya, pria itu tengah menulis puisinya. Hal itu membuat Jingga tidak bisa menahan senyumnya. Tiba-tiba tangannya beralih menuju kertas gambarnya yang sudah membentuk lukisan, namun ia menambahkan satu objek lagi di pinggiran danau. Seorang pria dengan sweater abu-abu tengah duduk di pinggirannya. Begitu lukisan itu selesai, Jingga berdecih karena tidak menyangka saja kalau pada akhirnya, ia melukis Sekala.

                "Kayaknya, Sekala memang mau dilukis, deh?" batin Jingga.

                Jingga menatap lukisan dan pemandangan alaminya secara bergantian dan tersenyum puas. Baru kali ini, ia merasa sangat bahagia dengan lukisannya, bukan merasa tertekan seperti biasanya. Dulu, ketika Jingga menyelesaikan lukisannya, ia selalu merasakan sesak di dadanya karena tertekan, takut orang tuanya mengetahuinya. Akhirnya, ia memilih merobek semua lukisan itu dan membakarnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya. Namun, kali ini, ia bertekad untuk tidak merobek lukisan yang ada Sekala. Sebab kehadiran pria itu adalah sesuatu yang amat disyukurinya.

                Kuharap, suatu saat nanti, kita masih bersama, Sekala.

*****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang