Chapter 01

58 8 0
                                        

Berbagai peralatan lukis bertebaran dimana-mana. Kuas-kuas yang beraneka bentuk dan fungsi, cat-cat yang berlepotan di lantai, hingga kertas sketsa yang gagal. Ruangan ini sudah biasa seperti ini, berantakkan dan kotor. Tetapi, dari ruangan ini, lahirlah berbagai mahakarya, lukisan-lukisan yang menarik perhatian seniman lainnya.

Ia menyebut ruangan itu Dunia Jingga.

Dunia Jingga adalah impiannya sedari kecil, dimana ia bebas melukis apa saja tanpa ada cemooh orang-orang. Ruangan yang tidak terlalu luas ini, ukurannya sekitar 3x3, benar-benar tempat kesukaannya. Suaminya membuatkan ruangan itu khusus untuknya. Nama Dunia Jingga pun adalah usulannya.

Jingga Andira. Sangat terkenal di antara seniman di Indonesia karena lukisan-lukisannya yang memiliki filosofi sendiri. Sudah lebih dari lima kali ia mengadakan pameran lukisan internasional dan hal itu diterima baik oleh masyarakat. Namun, sehebat apapun ia, Jingga merasa ia hanyalah seorang istri dari pria yang sangat ia cintai. Pria yang sedari dulu mendukung kegemarannya. Kalau saja dulu pria itu tidak memberitahu info tentang lomba melukis, Jingga tidak akan bisa seperti sekarang ini. Intinya, suami Jingga adalah peranan terbesar untuk hidup Jingga.

Dulu, Jingga bahkan tidak pernah berpikir untuk berkarier di bidang seni karena lingkungan yang tidak mendukung. Namun, dengan berbagai fenomena baru yang menghampirinya, ia bisa sampai di titik ini, dimana ia selalu terikat dengan aktivitas yang sangat ia cintai. Dimana Jingga tidak perlu bersembunyi untuk melukis karena kini, ada jutaan orang yang menunggu karyanya. Oleh karena itu, Jingga bersyukur. Sangat.

Dan saat ini, Jingga melukis Dandelion, si bunga rapuh.

Dandelion mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang dulunya bilang, bahwa bunga rapuh itu memiliki filosofi yang indah, seindah jingga di senja. Dan pria itu mendeskripsikan dirinya sebagai angin, yang tidak terlihat, tetapi bermakna. Walau tidak ingin mengakuinya, tetapi benar bahwa takdir Jingga dengan pria itu seperti Dandelion dan Angin.

Jingga melukisnya karena ia hanya merindukan momen itu. Momen yang takkan pernah ia bisa putar ulang.

"Jingga."

Suara serak itu membuatnya menghentikan aktivitasnya, lalu berbalik. Dihadapannya telah berdiri seorang pria dengan kaos putih dan celana pendek cream, kebiasaannya.

"Dandelion?"

Jingga mengangguk. "Aku hanya merindukannya."

Pria itu memanggut-manggut. "It's okay. Kenangan hanya bisa dikenang, tidak bisa kembali."

Jingga memeluknya, erat. "Walau aku bisa kembali ke lima tahun yang lalu, aku akan memilih jalan hidupku seperti ini. Menikahimu dan memiliki Violet dan White."

Pria itu membalas pelukan Jingga tanpa berkata apa-apa. Jingga yakin kalau ia akan tetap menikahi pria yang tengah ia peluk erat ini. Walau kala itu ia memilih ego-nya, ia tidak akan bisa memeluk pria berbau kopi ini.

                Dan Jingga akan menyesal. Sangat.

                                 ****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang