Chapter 16

18 2 0
                                        

Mentari bersinar dengan terik. Jingga tengah merebahkan diri di atas kasurnya, habis belajar, seperti biasa. Kepalanya terasa pusing karena ia terlalu memaksa otaknya untuk belajar tidak henti. 5aPerut Jingga berbunyi terus, menandakan tubuh Jingga membutuhkan makanan. Jingga belum makan dari kemarin. Ibunya selalu mengantar nampan yang berisi makanan ke kamarnya, namun tidak disentuh Jingga sedikitpun. Keluarga Jingga pun tahu kebiasaan gadis itu. Gadis itu rela tidak makan berhari-hari untuk mencapai tujuannya. Ambisius adalah kata yang tepat untuk Jingga. Terlalu ambisius.

                Tetapi, sekarang, Jingga lapar. Tetapi ia tidak mau makan nasi.

                Jingga bangkit dari kasur, meraih jaket yang bergantungan di balik pintu, lalu pergi ke luar kamar. Ia ingin pergi ke minimarket, membeli beberapa makanan ringan. Jingga sangat ingin makan chiki.

                "Mau kemana, Ji?" tanya Angkasa yang tengah duduk di depan TV, nonton berita. Pria itu seperti jelangkung saja, datang tak diundang, pulang tak diantar. Jingga saja tidak tahu kalau Angkasa ada di rumah.

                "Minimarket."

                "Nitip es krim, dong."

                Jingga menadahkan uangnya. "Modal."

                "Eleh, sama kakak sendiri juga, Ji."

                "Pandai amat, deh ngelesnya."

                Jingga berjalan keluar, meninggalkan Angkasa yang terkekeh. Kakak laki-lakinya itu memang tidak mau rugi. Kalau urusan uang, Angkasa akan memasang wajah manis ke Jingga agar adiknya itu membayar untuknya dengan lapang dada. Jingga pun jarang protes karena gadis itu sangat loyal kalau dalam masalah keuangan. Jingga tidak pernah perhitungan. Ia pun tidak segan-segan mentraktir Angkasa yang makannya sudah mengalahkan warga sekampung. Untuk itu, Angkasa sangat bersyukur memiliki adik seperti Jingga, jadi uangnya bisa terselamatkan.

                Maklum, anak kost.

                Jingga berjalan kaki menuju minimarket yang tidak jauh dari rumahnya, mungkin 200 meter, kurang lebih. Sebenarnya, ada toko jajanan pinggir jalan di depan rumah Jingga, tetapi gadis itu memilih untuk jajan di minimarket karena banyak varian jajanan yang bisa ia beli. Ada banyak jajanan yang bergentayangan di kepala Jingga.

                Jingga sangat menyukai jajanan.

                Selera gadis itu pun sebelas-dua belas dengan anak sekolah dasar.

                Begitu sampai di minimarket, Jingga mengambil keranjang dan memilih jajanan yang ia mau. Chiki, jelly, coklat, wafer, biscuit, kripik, dan tidak lupa, es krim pesanan Angkasa. Mata Jingga berbinar-binar ketika melihat keranjangnya. Dia tidak menyangka bisa membeli semua ini, walau tidak jarang ia membeli semua makanan ringan ini. Tetap saja, entah berpuluh-puluh kali sudah ia membeli hal yang sama, tetap ada rasa yang sama ketika ia menatap mereka semua.

                Mantap betul, lah pokoknya.

                Jingga membayar semuanya di kasir. Lalu, ia menggantung kantong plastik itu di pergelangan tangannya dan berjalan pulang. Sesekali, ia melirik ke dalam kantong plastik itu dan merasa bangga, lagi dan lagi. Jajan adalah kesenangan tersendiri untuk Jingga.

                "Ji."

                Langkah Jingga terhenti begitu menyadari seseorang berdiri dihadapannya. Ia mendongakkan kepalanya dan seketika wajahnya yang cerah, luntur seketika. Begitu melihat wajah itu, awan mendung mulai menyelimut suasana hati Jingga.

                Mood-nya anjlok.

                Jingga memilih melanjutkan langkahnya, berpura-pura tidak mengenalnya. Ia tidak peduli lagi dengan pria itu. Seperti katanya kemarin, ia akan melupakan pria itu.

                Langkah Jingga terhenti begitu pria itu menahan lengannya, lalu memblokir jalannya kembali. Jingga menatap mata pria itu dengan tajam dan mengintimidasi. Tetapi, pria itu tetap saja dengan tatapan yang sama, hangat, membuat Jingga hampir saja luluh.

                "Nomor kamu kenapa nggak aktif, Ji?"

                Jingga berdecih. "Bukan urusanmu."

                "Aku melakukan kesalahan, ya?" tanya pria itu lagi.

                Jingga memilih diam, hanya menatap pria itu.

                "Ji."

                "Sudah kubilang, jangan pernah menghubungiku dan merasa mengenalku!" seru Jingga kesal. "Aku tidak akan melukis lagi! Tidak akan pernah! Jadi, jangan pernah berada didekatku lagi!"

                Pria itu, Sekala, menatap Jingga dengan bingung. Jingga, wajah gadis itu sedikit memerah, mungkin karena menahan gejolak emosi sebisa mungkin agar situasi lebih kondisi. Gadis itu menatapnya dengan tajam, lebih tajam dari tatapan ketika pertama kali mereka bertemu. Tetapi, Sekala tidak gentar sedikitpun.

                Sekala membiarkan Jingga sedikit tenang.

                "Kalau kamu menyukai lukisanku, menghilanglah dari kehidupanku." desis Jingga, melemah.

                 Sekala menatap gadis itu penuh iba. Lalu, pria itu mendekat ke Jingga dan memegang kedua bahu Jingga dengan pelan. Ia agak membungkukkan badannya, agar ia bisa melihat wajah Jingga di satu garis lurus, membuat Jingga sedikit terkesiap dengan perlakuan tiba-tiba dari Sekala.

                "Ji, apapun itu, jelasin padaku tentang semuanya," bisik Sekala tenang. "Setelah itu, aku akan memutuskannya sendiri, menghilang atau tidak."

                Melihat wajah Sekala sedekat itu, membuat air mata Jingga tidak tertahan lagi. Ia menghamburkan diri di pelukan pria itu, melingkarkan tangannya di pinggang Sekala dengan erat, lalu menangis, membasahi baju Sekala.

                Jujur saja, Jingga sangat membutuhkan Sekala di hidupnya.

                Dan Jingga pun merindukannya. Teramat dalam.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang