Chapter 14

12 2 0
                                    

Jingga menatap lamat-lamat kertas yang barusan ia gambar. Perkataan Sekala tadi memenuhi pikiran Jingga. Pria itu, tiba-tiba saja berpesan agar Jingga tidak berhenti untuk melukis karena ia berbakat. Saat itu, Jingga sedikit terharu mendengar ucapan Sekala. Hanya pria itu yang mengakui kemampuannya. Dari berjuta-juta manusia, baik yang dikenalnya atau sekedar berjumpa saja, hanya seseorang bernama Sekala yang mampu mengatakan hal-hal magis itu dan menyihir Jingga sekejap saja. Jika tadi pelanggan tidak datang, mungkin, Jingga telah jatuh hati pada Sekala.

                Pria itu, tanpa diceritakan Jingga, seakan-akan tahu apa yang terjadi di hidup Jingga. Kata-katanya memang umum, tetapi tepat untuk menohok jantung Jingga. Hal yang paling janggal adalah tatapan mata Sekala. Pria itu selalu menatapnya berbeda, tidak seperti orang lain. Jingga tidak tahu maksudnya, tetapi gadis itu yakin, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pria itu melalui tatapan mata.

                Apakah mungkin..?

                Ah, tidak, tidak. Jangan kege-eran, Jingga.

                Tok.. tok.. tok..

                Suara ketukan pintu itu membuat Jingga sontak melempar kertasnya hingga masuk ke celah di bawah kasur dan segera membuka buku SBMPTN-nya. Sesuai dugaannya, Ibu masuk seraya membawa nampan. Jingga telah menduga itu Ibu karena Angkasa sedang berada di Jatinangor.

                "Sebelum pergi, kamu belum makan. Makan dulu, ya." ujar Ibu sembari meletakkan nampan di atas meja rias Jingga.

                Jingga mengangguk dengan tatapan fokus ke buku. Ibu mendekatinya, lalu mengintip sedikit apa yang dikerjakan anak perempuan semata wayangnya itu. Kemudian beliau menatap Jingga, lalu bertanya. "Ji, apakah kamu melukis lagi?"

                Mendengar hal itu, sontak membuat jantung Jingga berdebar tak karuan. Ia takut, ibu tahu karena suara ibu terdengar seperti sedang menyelidik. Apakah Ibu tahu? Tapi dari siapa? Angkasa tidak mungkin memberi tahu Ibu.

                Jadi, kenapa?

                "Kalau nggak, ya syukurlah, Ji," ucap Ibu lagi. "Lebih baik, kamu belajar saja untuk SBMPTN tahun ini. Melukis itu tidak berguna, Ji. Hanya anak SD yang melakukannya."

                Perkataan Ibu barusan membuat luka di hati Jingga yang hampir terjahit, melebar kembali. Sesak itu pun merasuki dirinya lagi. Bahkan Jingga tidak mampu untuk mengangkat kepalanya dan melihat wajah Ibu yang berbicara kepadanya. Jingga tidak mau Ibunya melihat ia menangis. Jingga tidak ingin menjadi anak yang lemah.

                Tetapi, kenapa semakin Jingga menahan, mentalnya semakin melemah?

                Ibu memegang kedua bahu Jingga, lalu memijitnya pelan.

                "Ada try out SBMPTN, tuh, di Aula LPMP, minggu depan" ujar Ibu. "Tahan sebentar lagi, ya Ji. Berusaha sedikit lagi. Ibu yakin, kamu akan mendapatkannya."

                Jingga mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. Saat itu juga, ia berdoa, agar Ibu segera keluar dari kamarnya agar ia bisa leluasa melampiaskan amarahnya pada objek di sekitarnya.

                Ibu, anakmu ini, hanya ingin memintamu mendukung impiannya...

                Ingin sekali Jingga berteriak seperti itu. Ada banyak hal yang tiba-tiba ingin dilakukan Jingga di saat-saat seperti ini. Bahkan hal gila, seperti mengiris pergelangan tangannya menggunakan cutter di depan Ibunya, sempat terpikir olehnya. Tetapi, lagi-lagi, karena mimpi Jingga adalah membahagiakan orang tuanya, ia menguburkan keinginan itu dalam-dalam.

                Tiba-tiba ibu mendekat, membuat Jingga membeku.

                "Maafin ibu soal Bintang." bisik Ibu. "Angkasa telah menceritakan semuanya dan Ibu hanya bisa meminta maaf."

                Ibu melepaskan genggamannya dari bahu Jingga, lalu keluar dari kamar Jingga. Jingga yang sedaritadi mematung, mulai bergerak, lalu mengambil semua lukisannya dan merobeknya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Lukisan-lukisan yang indah itu, kini hanyalah robekan kertas yang harus dibuang.

                Air mata Jingga terus-terusan mengalir, tanpa jeda.

                Jingga kecewa. Benar-benar.

                Jingga kesal, kenapa Ibu harus meminta maaf soal Bintang ketika ada sesuatu yang harus ia selesaikan dengan permintaan maaf. Ibu perlu meminta maaf kepadanya karena telah menginjak-injak mimpinya. Mimpi Jingga jauh lebih berharga dari laki-laki yang tidak tahu terima kasih itu.

                Sungguh, Jingga muak. Muak dengan dunia ini dan orang-orang di dalamnya. Jingga hanya ingin bermimpi, seperti orang lain. Tetapi, kenapa mimpinya dilihat sebagai sesuatu yang tercela oleh orang tuanya sendiri?

                Kemudian, gadis itu mengambil peralatan lukisnya dan hendak melemparkan semuanya ke dinding sekuat mungkin agar semuanya terpecah-belah. Tetapi, begitu tangannya terangkat, ia tidak mengendalikannya. Ia ingin sekali melempar semua itu, namun tangannya hanya diam di tempat dan bergetar dengan hebat. Jingga melepas semua peralatan itu hingga jatuh ke lantai, lalu terduduk dan menekuk kedua lututnya dan menangis di sana.

                Semarah apapun Jingga saat ini, sebesar itulah ia ingin tetap bermimpi.

                "Kamu jangan pernah berpikir untuk berhenti melukis, ya?"

                Lagi-lagi, ucapan itu.

                Jingga menggelengkan kepalanya. Ia ingin sekali menuruti ucapan Sekala. Sungguh. Ia ingin sekali tetap bersikukuh untuk melukis walau nantinya, tidak ada yang mendukungnya sama sekali. Bukan karena Jingga merasa ia berbakat. Jingga telah jatuh cinta pada lukisan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan melukis. Tetapi, di sisi lain, perkataan Ibu mengubah segalanya.

                Dan saat itulah, Jingga sadar akan sesuatu.

                Diremehkan oleh keluargamu sendiri, beribu-ribu kali lipat rasa sakitnya, bukan main.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang