Hari ini, Jingga memilih untuk membuka buku SBMPTN-nya dan mengerjakan beberapa soal. Ia juga takut tidak lulus tes tahun ini. Itu artinya, ia harus mendekam di kamar ini setahun lagi dan gadis itu sudah muak. Ia juga harus belajar tanpa henti hingga ia diterima di jurusan kedokteran. Hal itu sudah dikatakan Ayahnya, walau tidak sejelas-jelasnya.
Jingga sangat membenci hal-hal yang berbau dokter. Sudah berpuluh-puluh kali dikatakan karena ia benar-benar benci. Tetapi, tetap saja Jingga memiliki harapan untuk masuk ke kedokteran. Sebenarnya, bisa saja ia bermalas-malasan hingga ia tidak akan pernah bisa masuk ke kedokteran. Namun, Jingga memilih berusaha semaksimal mungkin hingga ia lulus di kedokteran. Walau benci, tidak suka, dan lelah, Jingga harus melakukannya agar tidak mengecewakan pihak-pihak yang telah berharap padanya.
Jingga hanya ingin menjadi seseorang yang bisa dibanggakan.
Kring.. kring...
Handphone Jingga terus-menerus berdering, membuat gadis itu jengah. Tadi malam, ia menghidupkan ponselnya karena Angkasa yang menyuruhnya. Begitu ponselnya hidup, banyak notification pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk dan semuanya dari pria biadab itu. Tentu saja, isinya permintaan maaf yang konyol dengan alasan khilaf.
Lah, situ kira, karena khilaf, Jingga bakal memaafkannya dengan mudah?
Jangan berharap, dude.
Jingga tidak akan memaafkannya. Tidak akan pernah.
Jingga akan membuat pria itu menyesal karena telah mengkhianatinya.
Tok... tok..
"Iya?" ujar Jingga dari dalam.
"Ada Bintang, tuh di depan." seru Ibu dari luar.
Mendengar nama itu, membuat Jingga membeku. Lalu, ia menghela napas, tidak percaya. Apakah pria itu tidak malu datang ke rumahnya setelah semua ini? Wah, muka pria itu tebal sekali.
Karena Ibu terus-terusan memanggil, Jingga beranjak dari kursinya dengan sedikit emosi. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras, sehingga membentur dinding. Begitu Jingga sampai di ruang tamu, terlihat pria yang tidak ingin ia lihat lagi untuk selamanya, sontak berdiri begitu melihatnya datang. Ibu berada di dapur, sepertinya tengah membuatkan minuman untuk Bintang. Sementara Angkasa, lagi mandi. Jadi, hanya ada mereka berdua di ruang tamu ini.
"Pergi." desis Jingga tajam.
"Ji—."
Jingga menarik tangan Bintang, lalu pergi ke luar. Jingga mengusap wajahnya, gusar, begitu ia melepaskan lengan pria itu. Ah, seharusnya Jingga tidak memegang tangan itu. Bikin tambah kesal.
"Ji, jangan begini, dong. Aku bakal jelasin semuanya," ujar Bintang dengan ekspresi menyesal, yang membuat Jingga jijik. "Aku rela bolos kuliah hari ini demi ke sini, demi jelasin semuanya ke kamu. Karena kamu nggak ngangkat telpon atau balas chatku."
Jingga menatap Bintang, tidak percaya. "Pergi, Bin. Aku nggak butuh pengkhianat kayak kamu!"
Jingga hendak masuk kembali, tetapi Bintang mencegatnya.
"Apaan, sih!" seru Jingga sembari menyentak tangan Bintang agar kontak fisik itu terlepas.
"Jingga, kamu kenapa kayak gini, sih?" seru Bintang, gusar. "Clara itu teman aku. Aku cuman nemenin dia nongkrong, nggak lebih."
Kepala Jingga terasa sangat gatal mendengar semua omong kosong ini.
"Aku udah biasa, kok, nongkrong sama teman cewek aku di Depok."
"Terus, kamu udah biasa nongkrong sama cewek sambil pegangan tangan, gitu?" seru Jingga bertubi-tubi, amarahnya telah mencapai batas. "Terus, apanya yang enam bulan, Bin? Jawab!"
Mendengar hal itu, membuat Bintang mendekati Jingga dengan tatapan teduh. Sepertinya, pria itu hendak memeluk Jingga. Namun, Jingga lebih dulu menghindarinya.
"Dan kamu bilang, semua itu khilaf? Setelah enam bulan? Enam bulan itu nggak sebentar, Bin. Enam bulan itu lama."
"Sorry, Ji. Aku jenuh saat itu karena tugas kuliahku menumpuk," sesal Bintang. "Tapi, aku masih sayang sama kamu."
"Terus, dimana sayang itu selama enam bulan belakangan?" bentak Jingga, lalu berbisik ke Bintang. "Kalau kamu beneran sayang sama aku, kamu nggak bakalan selingkuh, Bin. Kalau kamu cinta sama aku, kata bosan itu nggak ada!"
"Pergi, Bin. Jangan ganggu hidup gue lagi." desis Jingga serak.
Bintang meraih tangan Jingga. "Kasih aku kesempatan kedua, Ji. Aku sayang banget sama kamu."
Jingga menatap Bintang dengan mata berkaca-kaca. Ekspresi Bintang teduh dan sorot matanya mengatakan bahwa ia sangat menyesal. Semakin Jingga memandangi wajah itu, semakin dalam pula rasa ingin memiliki pria itu kembali.
"Nggak akan pernah, Bin."
Jingga berjalan, meninggalkan Bintang. Sekali lagi, Jingga sangat teguh dalam mengikuti prinsipnya. Dia tidak akan mengingkari prinsipnya sendiri, apalagi karena seseorang yang telah menyakitinya.
Langkah Jingga terhenti ketika melihat Ibu dan Angkasa yang berdiri di ambang pintu. Ibu menatapnya, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Sementara Angkasa, mengepalkan kedua tangannya dan menatap Bintang dengan berapi-api. Jingga menatap Angkasa, lalu menggelengkan kepalanya dan Angkasa mengerti. Tatapannya melemah ketika melihat wajah gadis itu sembab, basah karena air mata.
Jingga berlari menuju kamarnya. Entah kenapa, wajah Ibu yang melihatnya tadi, mengoyak hatinya. Ibu terlihat sangat kecewa karena ia telah berharap lebih pada hubungan mereka berdua. Memikirkan Ayah, membuat Jingga kembali takut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ayahnya. Ia takut mengecewakan Ayah juga.
Jingga memasukkan peralatan lukisnya ke tas dan menggendongnya, lalu keluar dari rumah tanpa sepatahkatapun. Ibu berteriak, menanyakan Jingga kemana, tetapi gadis itu tidak berbalik, tetap berjalan, pergi meninggalkan rumah. Ibu hendak mengejar Jingga, tetapi Angkasa menghentikannya. Angkasa menatap Ibu lamat-lamat, lalu menghela napas.
"Beri Jingga waktu sendiri, Bu. Dia sedang patah hati."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Teen FictionJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...