BAB 35

3.2K 156 1
                                    

Kali ini ketika Adib mengatakan dia akan pergi ke rumah Aris, itu membuatku gugup. Aris adalah ... entah, aku juga belum pernah bertemu dengannya, tetapi Adib sering pergi mengunjunginya. Mengetahui bahwa Aris mencoba meyakinkan Adib melakukan hal bodoh di belakang Aqmal, aku kehilangan antusiasme tentang dia. Jika dia ingin dirinya terbunuh, itu masalahnya, tetapi aku tidak ingin dia menyeret Adib ke dalamnya.

Menciumku lalu mengucapkan selamat tinggal di pintu depan, Adib berjanji padaku, "Semuanya baik-baik saja, jangan khawatir."

Aku ingin memberitahunya lagi untuk tidak melakukannya, tetapi ruang kerja Aqmal terbuka dan aku tidak tahu apakah dia ada di dalam? Itu cukup jauh sehingga kecil kemungkinan dia akan mendengarku, tetapi tidak ada yang tahu (Aqmal Bramantyo sialan yang serba tahu).

Begitu Adib pergi, saat aku akan berjalan melewati ruangan kerja Aqmal, dia memanggil, "Irina."

Aku menahan tangan di kusen pintu, bersandar ke dalam. "Iya?"

Sambil menunjuk kotak persegi panjang di pojok, dia memberi tahuku, "Bukumu datang."

"Ooh," kataku, lalu sambil menggosok kedua tangan dan tersenyum kepadanya, aku berkata, "Aku boleh masuk?”

"Ya, tentu, jadilah tamuku.”

Setelah masuk, aku berlutut di lantai dekat mejanya dan berusaha melepaskan semua selotip agar kotak terbuka, tetapi akhirnya aku membutuhkan gunting. Begitu kotak terbuka, aku mengeluarkan semua buku di dalamnya, membolak-balik satu per satu, membuka halaman berwarna-warni.

“Buku-buku baru sangat mengasyikkan,” kataku pada Aqmal sambil tersenyum bahagia.

Selama hampir satu jam, aku berada di ruang kerja Aqmal, membolak-balik buku, membaca sedikit, dan menceritakan kepada Aqmal tentang beberapa buku yang pernah aku baca. Aku yakin dia tidak peduli, tetapi dia tetap membiarkanku mengoceh.

Andika masuk saat aku masih di sana. Dia bingung saat melihatku duduk di lantai ruangan Aqmal, dikelilingi oleh komik. Dia menatapku sejenak sebelum bertanya dengan bingung, "Haruskah aku keluar lagi?"

“Tidak,” kata Aqmal, lalu melirik dokumen di tangan Andika. "Apa itu?"

Andika menatapku lagi, lalu berkata, "Mungkin sebaiknya aku kembali lagi nanti untuk membicarakan ini."

“Tidak apa-apa,” kata Aqmal lagi.

“Tapi …” Andika menunjukku di lantai, mengingatkan siapa tahu Aqmal lupa ada aku di sana.

Aqmal hanya mengangguk.

Andika masih ragu-ragu, tetapi akhirnya dia berkata, "Ada pengiriman yang akan datang akhir pekan ini. Aku mencatat tanggal dan waktu yang akan aku inofrmasikan kepadamu. Sebuah lokasi. Informasi rahasia."

Tanpa mengatakan apa pun, Aqmal meletakkan tangannya di atas meja dan memandang Andika. “Berikan padaku.”

Saat Andika menyerahkan dokumen yang katanya ada informasi rahasia kepada Aqmal, aku hanya bisa duduk diam karena terkejut, menatap halaman yang sama dari komik di pangkuanku, takut untuk bergerak, bernapas, melakukan apa pun yang mungkin mengingatkan Aqmal akan kehadiranku. Tidak mungkin dia lupa aku duduk di sini, kan? Itu tidak mungkin. Aku tidak berhenti mengoceh sejak aku berada di dalam sini.

Tentu saja, bagiku tidak ada yang penting dari apa yang ingin dikatakan Andika kepada Aqmal, tetapi aku merasa jadi sangat penting ketika Aqmal membiarkan dia mengatakannya di depanku. Aku merasa … yah, sangat tersanjung, sampai aku memikirkannya sedikit lebih lama. Bagaimana jika, entah bagaimana, informasi ini bocor? Melalui beberapa orang yang jelas-jelas bukan aku, tetapi pikiran Aqmal langsung tertuju kepadaku di lantai kantornya saat Andika menceritakan semua detailnya, tentang transaksi narkoba itu. Dan meskipun sepertinya Aqmal mempercayaiku, aku benar-benar tidak ingin bertanggung jawab untuk mengetahui informasi semacam ini.

Sekonyong-konyong aku tersadar---apakah ini jenis tekanan yang membebani Adib setiap hari? Mengetahui hal-hal ini dan mengetahui Aqmal adalah orang yang tidak percaya, dan itu sebenarnya sangat menakutkan.

Aku juga berpikir bahwa karena Andika mengadukanku kepada Adib karena berani mengenakan bikini di kolam renang dan dilihat oleh Aqmal, dia mungkin akan lagi-lagi memberitahu Adib bahwa Aqmal mengizinkanku mendengar rahasia seperti ini.

Perutku mual saat Andika akhirnya meninggalkan ruangan. Aku pikir aku akan muntah, tetapi aku tidak tahu bagaimana meninggalkan ruangan setelah mendengar semua itu dengan sikap tenang.

Aqmal melirik ke arahku, tetapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum kembali ke pekerjaannya.

Aku memaksakan diri untuk membalik-balik buku selama beberapa menit, tetapi tidak ada lagi kegembiraan yang aku rasakan seperti sebelumnya. Aku merasa sangat cemas, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Apakah aku bisa memberi tahu Adib lebih dulu tentang semua ini sebelum Andika yang mengadukan kepadanya?

Adib bisa marah lagi karena ini. Belum juga benar-benar selesai masalah Aqmal yang memintaku menyajikan makan malam untuknya, dan sekarang, lebih berat lagi, sesuatu yang bisa membuat pikirannya ke mana-mana, sesuatu tentang Aqmal yang percaya aku mendengar informasi sensitif yang secara sudah pasti dapat menempatkan seluruh keluarga ini ke dalam penjara.

Sebenarnya Aqmal hanya mencoba menunjukkan sikap percaya, dan sekarang dia benar-benar mengacaukanku.

“Mengapa kau pikir Andika membencimu?” aku tiba-tiba bertanya.

Aqmal melirik ke arahku, tetapi mengembalikan perhatiannya ke beberapa kertas yang dia isi sebelum menjawab. “Dia mencintai Putri.”

Baiklah, itu tidak masuk akal. "Mengapa itu membuatnya membencimu?"

Sambil tersenyum sedikit, dia berkata, "Putri jatuh cinta padaku."

Perutku langsung kembung, dan aku tidak yakin kenapa. “Kau dan Putri adalah … ?”

"Tidak ada apa-apa. Aku tidak menyukai Putri. Andikanya saja yang tidak bisa mendekatinya, dan dia cemburu.” Kemudian, dengan sedikit tersenyum, dia memberitahuku, "Aku pria yang sangat menarik, kau tahu itu?"

Aku tersenyum sambil memutar mataku padanya. “Ya, kau adalah sesuatu.”


(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang