BAB 9

8.2K 325 2
                                    

“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”

Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”

“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.

“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.

“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”

Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku---mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi---dengan sinis yang sudah pasti---dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.

Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kantin. “Orangnya di sini? Tunjukkan padaku. Aku ingin bicara kepadanya.”

Dia memutar mata, mengambil paha ayam di piring. “Terserah kau saja,” katanya sebal.

Aku tertawa lalu berkata, “Adib bukan pacarku.” Ya ... pria itu tidak menyukai status.

“Tapi jelas, kau terlihat menginginkannya,” katanya. “Kau punya selera pria yang buruk, Na.”

“Bagaimana kau bisa mengatakan itu? Bahkan kau tidak mengenalnya,” balasku.

“Aku juga tidak mau mengenalnya,” jawabnya sambil meraih Teh Botol. “Taufiq menyukaimu. Aku pikir kau cocok dengannya.”

“Taufiq si Anak Basket?”

“Dia bukan anak basket. Dia ... “

"Dia bukan tipeku."

Rini memutar mata, jelas, kan tadi dia bilang seleraku buruk.

"Kenapa kita tidak membicarakan hal lain?" aku memberikan saran, topik ini sangat membosankan.

“Dengar, aku hanya tidak ingin melihatmu terluka---secara kiasan atau harfiah. Dan jika dia menyakitimu ... jangan cerita apa-apa kepadaku. Karena aku sudah memperingatkan!”

“Rin, kau baik. Sangking baiknya, aku ingin kau mengangkatku menjadi anak,” candaku.

Rini menarik napas panjang dan menggeleng-geleng seolah aku adalah masalah besar dalam hidupnya. “Kenapa aku bisa berteman denganmu.”

***

Aku terbangun dari tidurku setelah merasa ada seseorang yang tidur di sampingku.

Pandanganku yang masih kabur, menatap ke jam meja samping tempat tidur dan ...  masih jam tiga dini hari.

Aku menghela napas, berguling. Ando pasti mengalami mimpi buruk lagi, dan Ibu tidak ada di rumah malam ini.

Tapi ternyata itu bukan Ando. Itu Adib! Di tempat tidurku, jam tiga pagi.

Kubuka mataku lebar-lebar, bingung, ya ... semua orang pasti bingung kalau berada di posisiku.

“Adib?” aku bergumam.

"Maaf. Aku tidak bermaksud membangunkanmu."

Aku berkedip, berguling dan memeriksa ulang jam. Ya, jam tiga pagi. Aku kembali ke Adib, mengerutkan kening dalam kebingungan. “Um … apa yang kau lakukan di sini? Dan ... bagaimana kau masuk?”

“Aku hanya ingin melihatmu,” katanya pelan, dan tidak menjawab pertanyaan cara dia masuk.

Aku ingin bilang dia bisa saja menelepon jika ingin bertemu, tetapi dia masih belum memberiku nomor teleponnya. Aku pernah meminta, tapi dia tidak memberikan. Tetap saja, aku tidak yakin bagaimana dia sampai pada gagasan "Aku akan masuk ke rumahnya lagi dan merangkak ke tempat tidurnya saat dia tidur."

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang