Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ...
"Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.
Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.
“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.
“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu apa yang akan dia pesan, tapi kau bisa mencatatnya di tagihanku.”
Wanita itu memutar mata dan membungkuk di depan etalase untuk mengambil kue. “Tagihanmu. Oke.”
Adel tertawa kecil, dan aku mengerti kenapa Adib ‘menitipkan’ aku kepadanya. Adel orang yang menyenangkan.
Mutiara meletakkan kue Oreo di atas piring putih kecil berbentuk bundar, lalu dia menatapku. “Dan ... kue apa yang kau mau, Temannya Adel?”
“Sebenarnya,” kata Adel menyela. “Dia temannya Adib.”
“Temannya Adib? Irina?”
Aku tercengang, dan rahangku terbuka beberapa inci. Pertanyaan Mutiara seolah membuka fakta bahwa; Adib sudah menceritakan tentangku kepadanya, seorang Bramantyo---walau wanita, tetap saja Bramantyo, kan?
Adel mengangguk, menatapku, dan tersenyum.
“Kupikir dia tidak akan membawanya ke sini,” kata Mutiara kepada Adel.
“Ya, aku tahu itu mengejutkan,” kata Adel, senyumnya mulai hilang. Dia mengangkat jari telunjuk mengisyaratkan kalau ada yang ingin dia katakan kepada Mutiara. “Tapi ... jangan ceritakan ini kepada yang lain. Sebenarnya Adib tidak mau melakukan ini. Tadi dia mengatakan; rasanya aneh jika tidak memperkenalkan Irina kepada siapa pun dalam hidupnya. Ya, kita, dalam hidupnya, kan? Jadi dia memperkenalkan Irina kepada kita.”
“Jadi, Adib sering bercerita tentangku?” aku bertanya kepada Mutiara, mencoba berbaur dengan mereka.
Sambil tersenyum, dia mengangguk. “Sedikit,” jawabnya.
“Dan kau adalah ... ”
“Mutiara,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Tentu saja aku sudah tahu dia Mutiara bahkan sejak pertama kali melihatnya.
Aku menjabat tangannya dengan lebih hangat daripada saat menjabat tangan Adel. “Kau siapanya Adib?” tanyaku.
"Saudara," jawabnya. “Adik Aqmal. Aku dan Adib adalah sepupu."
“Oh.” Aku mengangguk.
“Aqmal tidak pernah datang ke sini,” katanya, dan itu terdengar melegakan. “Dia tidak terlalu peduli dengan bisnis kecil seperti ini.”
“Sebenarnya itu membawaku ke poin lain,” kata Adel. “Adib memberitahuku, bahwa Irina sedang mencari pekerjaan paruh waktu. Aku ingat, kau pernah bilang sedang mencari pekerja paruh waktu. Dan aku pikir ... ya, apa salahnya jika kau mempertimbangkan Irina.”
Mutiara menggeleng. “Aqmal bisa tahu tentangnya.”
Adel cemberut, lalu memutar mata.
Ini pertama kalinya aku melihatnya sebal hari ini.
Mutiara mengamatiku, dan sungguh itu membuatku tidak nyaman. “Tapi ... seberapa ingin kau bekerja?” tanyanya kemudian.
“Sangat ingin. Tapi tidak usah kalau itu beresiko. Adib pun tidak ingin aku bertemu dengan Aqmal. Lagian ... aku tidak bisa bekerja seminggu penuh.”
“Sebenarnya aku bisa mempekerjakanmu diam-diam. Maksudku ... kau bekerja untukku, bukan toko ini. Jadi namamu tidak ada di daftar pegawai, kau tidak menggunakan seragam, dan jika kebetulan dia berkunjung ke sini---walau kemungkinannya kecil---kau bisa pura-pura jadi pelanggan. Dan kau hanya perlu datang hari Senin. Karena aku butuh bantuan tambahan di hari itu.”
“Betulkah? Wow, itu bagus sekali. Aku mau.”
Mutiara tersenyum. “Ok. Kau bisa datang hari Senin untuk latihan?”
“Aku bisa. Tapi setelah pulang kuliah, boleh? Hanya ada satu mata kuliah. Tidak akan terlalu siang.”
Dia menganguk, lalu mengambil pena dan kertas. “Siapa nama lengkapmu?”
“Irina Putri.
Mutiara mencatat namaku di kertas. “Irina, kau alergi terhadap sesuatu?”
“Tidak.”
“Dan kau satu kampus dengan Adib?”
"Ya."
Setelah mencatat yang ditanyakan, Mutiara meletakkan pena di atas meja, melipat kertas dan memasukannya ke dalam saku. “Ok. Jadi ... kau mau kue?”
Yang aku rasakan sekarang sangat berbeda dengan ketika aku masuk ke tempat ini. Adib tidak hanya memperkenalkanku dengan saudaranya, tetapi karena dia, aku juga mendapatkan pekerjaan sambilan. Aku tidak tahu berapa penghasilannya, yang penting aku memiliki penghasilan tambahan.
Aku menatap Mutiara sambil tersenyum senang, lalu berkata dengan riang, “Aku ingin kue seperti Adel, Oreo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT)
Misteri / ThrillerPERHATIAN! CERITA INI BERISI KONTEN DEWASA (21+) HARAP KEBIJAKAN PEMBACA Judul: SARANG PREDATOR Penulis: Ahmad Rusdy Fiksi, sub-genre: Suspense, Crime, Romance, Erotis Segmen Pembaca: Dewasa Blurb: Adib tidak pernah punya alasan untuk memperhati...