BAB 28

3.6K 180 3
                                    

Meskipun Mutiara meyakinkanku bahwa aku bukan tahanan dalam bentuk apa pun, Aqmal masih tidak mengizinkan aku pergi keluar rumah tanpa pengawasan. Adib biasanya memberiku tumpangan ke dan dari sekolah, tetapi sekarang aku punya pekerjaan, aku tidak tahu apakah dia akan selalu ada untuk mengantarku. Aku tidak tahu bagaimana nantinya, tetapi untuk hari pertamaku, Adib mengantarku ke toko roti.

Saat kami memasuki toko roti dan melihat seorang pria yang cukup menarik di belakang meja depan, aku melihat lengan Adib dengan posesif merangkul pinggangku.

Pria di belakang meja kasir tersenyum padaku. “Kau pasti Irina. Mutiara bilang kau akan datang hari ini.”

“Apakah dia tidak datang hari ini?” tanyaku bingung.

“Dia harus pergi karena ada urusan di luar. Tapi akan segera kembali. Aku akan melatihmu hari ini, jadi jika kau ingin, kita bisa mulai sekarang.”

Aku pergi untuk menjauh dari Adib, tetapi dia menarikku mendekat kepadanya, lalu dia menciumku. “Aku akan menjemputmu saat kau pulang.”

Dia konyol, tetapi aku hanya tersenyum, lalu menggenggam tangannya untuk diremas dan menjatuhkannya. "Berhati-hatilah."

Begitu Adib pergi, pelatihku memperkenalkan dirinya bernama Galih. “Kurasa kau kekasih Adib,” katanya.

"Ya,” kataku sambil mengangguk.

“Jadi, Irina, kau sering membuat kue?”

"Jika bakwan dihitung, maka, ya, aku sering membuat kue," kataku padanya dengan nada bercanda.

Sambil tersenyum, dia menuju ke belakang dan mengambil kotak yang dibungkus plastik. “Baiklah, kita akan mulai dengan membungkus. Aku perlu membungkus dan menghias 250 kue untuk pernikahan---kau bisa meringankan tugas ini dengan membantuku. Kue-kue ini sudah selesai dihias, tapi aku punya banyak kue yang harus aku hias malam ini. Aku akan menunjukkan cara membungkus dan menghias bungkusnya agar menarik. Aku berasumsi bahwa kau tidak pernah beli kue di sini.”

“Oh tidak, aku tidak pernah. Aku biasa beli di Indomaret."

Galih tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu dia mengajakku untuk melihat-lihat bagian dapur toko.

Setelah mengantarku berkeliling toko roti, kami mulai mengerjakan kuenya. “Apakah kau sudah lama menjadi pembuat kue?” aku bertanya padanya, sambil memasang pita kotak kue yang ukurannya kecil dan cantik---bahkan sudah cantik tanpa harus dipasang pita, menurutku, tentu saja.

“Baru beberapa bulan,” jawabnya. “Bagaimana denganmu? Sudah lama menjadi kekasih Adib?”

Sambil tersenyum, aku menggeleng."Ini sulit dijelaskan, tapi ... baru. Aku baru menjadi kekasih Adib.”

“Aku dengar, setiap malam keluarganya menggelar acara makan malam yang mewah. Benarkah?”

“Ya, itu mewah bagiku. Tapi tidak sebesar itu. Hanya beberapa orang yang hadir. Tapi makanannya enak. Sangat enak.”

“Oh, ya? Aku yakin pasti enak. Apa kesukaanmu?"

“Sepertinya … ayam panggang dan pasta yang dibuat Mutiara. Aku sering membuat pasta di rumah, tapi yang dibuat Mutiara sangat enak. Bahkan setara, atau lebih enak dari yang dijual di kebanyakan restoran."

Mengangguk seolah aku baru saja mendapatkan kredibilitas ahli mencicipi makanan, dia berkata, “Pilihan yang bagus. Aku sendiri punya resep pasta yang cukup bagus. Suatu hari ketika kau bekerja shift yang cukup lama sampai waktu makan siang, kita harus mengadakan lomba membuat pasta, kita lihat pasta siapa yang lebih enak; punyaku atau kau.”

"Itu mungkin ide terbaik yang pernah dimiliki siapa pun," kataku.

Waktu berlalu saat kami mengemasi kue. Galih benar-benar orang yang santai dan ramah, yang merupakan perubahan langkah yang bagus dari orang-orang yang intens dan memegang senjata yang sekarang tinggal bersamaku. Ini menyegarkan, dan di akhir shift, aku sangat senang menerima pekerjaan itu.

***

Andika sedang mondar-mandir di luar ruang kerja Aqmal saat aku akan kembali dari kolam.

“Hei, Andika,” sapaku.

Aku tidak menyangka menyapanya seramah ini; mengingat awal pertemuan kami yang tidak mulus, dan posisinya dalam keluarga Bramantyo, tetapi aku menyukai Andika.

Mendongak, dia menawarkan anggukan kasar dan melanjutkan langkahnya.

"Semua baik-baik saja?" aku bertanya.

Dia mengangguk lagi, tidak melihatku atau menghentikan langkahnya.

Aku baru saja akan mengabaikannya karena dia adalah orang yang aneh. Lebih baik aku pergi ke dapur untuk makan siang, tetapi pintu ruangan Aqmal terbuka. Aqmal berdiri di dalam sambil menahan pintu agar Putri bisa keluar dari dalam. Putri melontarkan senyum tanpa kata pada Andika dan aku, sebelum dia melangkah melewati kami dan menyusuri lorong.

Andika berhenti mondar-mandir, berdiri di depan Aqmal dengan semangat seorang anak kecil di pagi Idul Fitri. “Apakah kau berbicara dengannya?”

"Ya," jawab Aqmal, tetapi perhatiannya teralihkan. Alih-alih melihat Andika, atau melakukan percakapan yang jelas-jelas ingin dia mulai, mata Aqmal menyapu tubuhku dari kaki ke kepala.

Aku sedang memakai bikini, dan tatapan itu langsung membuat wajahku memerah. Ada handuk yang kusut dan menutupi lenganku, tetapi aku tidak bisa membungkus ke tubuhku sekarang, itu akan menyinggung Aqmal.

Kegembiraan atas ketidaknyamananku tertulis di seluruh wajahnya saat dia tersenyum kepadaku. “Menikmati fasilitasnya?”

"Ya, tentu," kataku, berusaha sebaik mungkin untuk tidak terlihat canggung seperti yang kurasakan.

“Aku ingin bertanya bagaimana minggu pertamamu di toko roti. Aku punya urusan yang harus diurus dengan Andika dulu, jadi kita akan membicarakan itu saat makan malam." Matanya menatapku untuk terakhir kalinya, lalu dia berbalik dan masuk ke ruangannya---Andika mengikutinya dan menutup pintu rapat-rapat.

Terkulai ketika aku memutar mata ke arah diriku sendiri, aku akan membuat catatan untuk memakai apa pun untuk menutupi tubuhku setelah berenang.



(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang