BAB 4

16.8K 439 2
                                    

Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"

Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.

Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. "Ya, baru saja bangun, Bu."

Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).

Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. "Semua laki-laki sama saja: bajingan."

Oh bagus, Ibu ingin curhat.

"Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja---"

"Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. "Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah."

Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat sekolah diantar 'Orang Asing'.

"Ok, Bu, aku akan mengantar mereka besok ke sekolah."

Ibu memutar matanya, sedikit melebih-lebihkan. "Baiklah, Ibu rasa obrolan bisa dilanjutkan besok." Aku bisa melihat Ibu kecewa karena malam ini aku tidak, dan tidak akan meledeni curhatnya.

"Selamat malam, Bu," kataku dan berharap Ibu segera pergi.

"Satu hal terakhir. Mungkin Ibu akan sibuk beberapa bulan ini, ya ... kau tahu, perusahaan mengurangi banyak pegawai. Hal itu membuat tugas Ibu menjadi lebih banyak. Apa kau tidak jadi mencari pekerjaan paruh waktu seperti yang pernah kau bicarakan? Menabung untuk beli motor?"

"Ya," jawabku singkat.

"Dan, Om Anton akan pulang dari tugas luar kotanya besok. Kalau dia tidak kecapean, mungkin kita akan makan malam di luar bersama."

Hah? Siapa? Kita? Dan, siapa Om Anton? Dia mengajak makan malam bersama?

"Lebih baik aku dan adik-adik di rumah saja," kataku.

"Tapi, sekali-sekali kita perlu menghabiskan waktu bersama. "

Aku mengangguk dan berkata, "Ya, terserah Ibu saja."

"Jika segala sesuatunya berjalan seperti rencana, kita bisa hidup lebih baik," katanya, seolah itu adalah kemungkinan yang menggoda. Dua sampai tiga detik Ibu terdiam, lalu mendengus dan mematikan lampu. "Selamat malam, Sayang."

Segera setelah Ibu pergi, aku menarik selimut sampai menutupi wajah. Betapa konyolnya hidupku. Beberapa menit yang lalu, aku diancam penjahat yang kampusnya sama denganku, dan sekarang, Ibu menyebutkan sebuah nama yang kemungkinan besar akan menjadi calon kuat ayah tiriku.

Aku merasa Adib berdiri di samping tempat tidur, tetapi aku tidak melepas selimut dari wajah.

"Kau tahu, jika kau ingin membunuhku, lakukan sekarang. Setidaknya aku berada di tempat tidur. "

Lalu sekonyong-konyong tempat tidur mendapat tekanan berat dan mataku terbuka lebar. Tak butuh waktu lama sampai aku merasakan suhu tubuhnya; Adib berbaring di sisiku, lalu dia menarik selimut, memasukkan kepalanya ke dalam.

"Jadi, itu ibumu, ya?"

Itu dia. Kami seperti dua orang bermasalah yang berbicara di balik selimut.

"Dia sedang marah dengan pacarnya?" Adib menduga.

"Itu bukan urusanmu."

"Kau membutuhkan pekerjaan," katanya, dan aku merasa dia sedang tersenyum menghina.

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang