BAB 13

6.8K 261 2
                                    

Biasanya aku sangat membenci hari Senin, tetapi saat aku berdiri di depan pagar Sekolah Dasar---dipenuhi orang tua murid menunggu anak-anak mereka, aku berharap Ando masuk ke kelas sehingga aku bisa bergegas ke toko roti untuk hari pertamaku bekerja.

Aku memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Pekerjaan ini membuatku menjadi sangat bersemangat. Aku sudah membicarakan ke Adib tentang ini kemarin, dan dia memperbolehkannya. Lagian, aku tidak ingin melihat wajah Rini. Temanku itu pasti marah karena aku tidak datang ke Pesta Amerikanya.
 
Aku tidak bisa menahan senyum, bertanya-tanya akan seperti apa nanti. Ini adalah pekerjaan pertamaku, dan aku juga mendapatkan kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan salah satu saudara Adib---Mutiara.

Saat Ando sudah memasuki kelasnya, aku memutar tubuh dan hampir menabrak seorang pria yang sejak tadi---sepertinya---berdiri di belakangku.

“Oh, maaf,” katanya---padahal aku yang salah.

Aku tersenyum tanpa berbicara dan untuk memastikan kalau Ando benar-benar sudah masuk ke kelas, pandanganku kembali menyapu gedung sekolah---Ando akan protes jika aku pergi sebelum kelasnya dimulai. Namun di saat bersamaan, aku merasakan mata pria itu masih menatapku, dan sontak aku berbalik untuk menatapnya. Aku segera mengalihkan pandang, karena dia memang sedang menatapku. Bahkan saat aku sudah membuang muka, dia masih memandangiku.

Aku sering mengantar Ando pergi ke sekolah, dan aku mengenali banyak orang tua murid di sini, tetapi dia ... aku baru melihatnya pertama kali. Dia tinggi dengan mata besar yang indah, garis rahangnya tegas seperti pemeran film Superman, dan rambut hitamnya dipotong rapih. Dari wajahnya, tampaknya dia tipe yang bisa dipercaya, tetapi dia terus memandangiku, jadi aku berpikir kalau dia pria dewasa yang tampan dan mesum. 

Aku memutuskan untuk pergi setelah---aku yakin sekali---Ando memasuki kelasnya.

Aku melewati kerumunan orang tua yang berdiri menghadap sekolah sambil sesekali mengatakan, “Permisi,” agar mereka memberikan jalan untukku.

Namun, Superman malah mengikutiku.

Dia tidak terlihat seperti orang dari keluarga Bramantyo yang biasanya tampil agak urakan---dia rapih dan wangi, tetapi kata Adib, keluarga mereka memiliki banyak kelompok-kelompok kecil. Jadi bisa saja Superman pria dari kelompok keluarga Bramantyo yang memang tampilannya lebih seperti seorang kapitalis.

Setelah melewati kerumunan orang tua, aku mempercepat langkahku dan sontak aku terkejut ketika sekonyong-konyong lengannya menangkap lenganku. Aku berbalik dan mataku yang melotot menatapnya.

“Maaf, Mbak Irina,” katanya---dia tahu namaku. “Tadinya aku ingin berbicara kepadamu saat kau meninggalkan sekolah. Tapi sepertinya terlebih dahulu kau sudah mencurigaiku. Yang perlu kau pahami, kedatanganku di sini bukan untuk menyakitimu,” lanjutnya, tatapannya tegas ke arahku.

Jantungku berdegub kencang dan, dengan gerakan kasar, aku menarik lenganku. Tidak ada perlawanan darinya.

“Aku tidak akan berbuat sesuatu yang jahat kepadamu. Tenang saja. Aku hanya ingin berbicara,” katanya lagi.

“Memangnya kau siapa?”

“Namaku, Bobby. Aku seorang penyelidik swasta,” jawabnya memperkenalkan diri. “Aku dimintai keluarga mendiang tetangga depan rumahmu untuk menyelidiki kebakaran kemarin.”

Aku mengernyit, bingung. “Maksudmu ... kau, detektif swasta?”

Dia mengangguk. “Sesuai bukti-bukti yang aku kumpulkan, pelaku pembunuhan itu sudah pasti keluarga Bramantyo. Dan kebetulan korban adalah seorang pecandu, dan selama ini dia membeli narkoba kepada keluarga Bramantyo. Aku sudah memberitahukan ini kepada keluarga korban, dan mereka tidak ingin meneruskan kasus ini ke Pengadilan. Jadi aku berhenti.” Sesaat dia mengambil kotak rokok dari dalam kantong, mengeluarkan sebatang, dan menghidupkan rokok itu. “Tapi aku masih penasaran karena penyelidikan itu membawaku kepada kau,” katanya.

“Aku?”

“Ya, kau,” katanya, lalu menghembuskan asap rokok ke udara. “Aku khawatir tidak lama lagi kau akan berurusan dengan orang-orang Bramantyo.”

Ucapannya membuatku bingung. “Maksudnya?”

Dia menunduk untuk sesaat, lalu menatapku lagi. “Aku datang untuk memperingatkanmu.”

”Peringatkan aku tentang apa?”

“Selama aku menyelidiku khasus pembunuhan tetanggamu, ada sesuatu yang sangat menarik: kau dekat dengan elit keluarga Bramantyo: Adib Bramantyo.” Dia berhenti. “Jika Aqmal melihatmu dekat dengannya, dan dia tahu kau tinggal di mana, itu akan seperti ... kau tahu, akan muncul kecurigaan dari Aqmal kalau kau sebenarnya seorang saksi yang dilindungi Adib, karena hubungan kalian berdua begitu dekat.”

Bagaimana bisa semua yang dia pikirkan itu benar? Ya, itulah yang terjadi denganku sekarang. “Dan menurutmu, jika kekhawatiranmu benar, kira-kira ... kapan itu akan terjadi?” Pertanyaan bodoh, aku tahu, tetapi orang ini punya intuisi yang bagus.

“Aku tidak tahu, dan aku berharap itu tidak akan terjadi.”

Ya, aku juga berharap demikian.

“Kau tidak perlu khawatir. Aku dekat dengan Adib karena dia temanku di kampus. Lalu mengenai pembunuhan itu ... aku tidak tahu apa-apa.”

Dia mengangguk-angguk. “Ya, tapi bagaimana jika yang kau ucapkan itu bukan yang sebenarnya?” tanyanya, dan tebakannya itu benar lagi, tapi aku tidak ingin menjawab pertanyaanya. Lalu dia memasukkan tangannya ke saku celana. “Aku hanya ingin memperingatkan kau. Kau boleh mendengarnya, dan jika tidak, ya, itu pilihanmu. Saranku, sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan Adib Bramantyo. Kau bisa melakukannya dan tidak akan mendapatkan masalah apa-apa, termasuk dari Adib. Aku sudah lama menyelidiki keluarga ini, dan Adib sedikit berbeda dengan yang lainnya. Tapi jika kau tidak mengindahkan peringatanku, setidaknya, berusahalah agar Aqmal tidak mengetahui siapa kau.” Dia berputar, lalu melangkah menjauhiku.

Dia sempat berhenti dan menatapku untuk yang terakhir kali, lalu dia masuk ke dalam mobil dan pergi.

Apa yang baru saja terjadi? Peringatan itu membuatku sedikit terguncang.

Aku mengeluarkan ponsel. Adib akhirnya memberiku nomor teleponnya setelah kami berhubungan intim, dan saat aku menekan nomor itu untuk pertama kalinya, aku tidak percaya inilah alasannya.

“Hei, kau,” dia menyapa, setelah mengangkat telepon.

“Dib, aku ingin bicara kepadamu. Kita bisa bertemu?”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang. Ini penting.”

“Sebenarnya aku sedang ada urusan. Bisakah kita membicarakannya nanti malam?”

Aku menunduk, lalu membuang napas. “Tidak, ini harus kita bicarakan sekarang.”

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang