BAB 14

6K 258 2
                                    

Perasaan cemas bercampur lega menarikku dari arah yang berbeda ketika aku melihat Adib keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Sambil menatapku lekat-lekat, dia melangkah ke arahku, ekspresi cemas terlukis jelas di wajah tampannya.

“Na, ada apa?” tanyanya ketika berada di depanku.

Aku belum mengatakan apa pun di telepon karena takut seseorang akan mendengar percakapan kami.

“Aku bertemu dengan seorang pria saat mengantar Ando ke sekolah, hari ini.”

Adib mengernyit. “Seorang pria?”

“Ya, dia mengaku sebagai detektif swasta. Sepertinya beberapa hari ini dia mengawasiku, maksudku ... kita.”

Wajah Adib menjadi pucat, dan kecemasanku berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. “Sepertinya dia bukan---bukan suruhan Aqmal atau sesorang dari keluargamu.”

“Kau yakin? Kalau aku jadi kau, aku akan memikirkan kemungkinan kalau dia suruhan Aqmal.”

Aku menunduk, lalu kembali menatapnya. “Katanya dia sedang menyelidiki khasus pembunuhan yang kau lakukan,” jawabku kepadanya. “Dan dia mengetahui kedekatan kita, lalu datang pagi ini untuk memperingatkanku. Dari apa yang aku dengar, aku tidak berpikir kalau dia suruhan Aqmal, jika itu yang kau khawatirkan.” Aku berhenti, menunduk, lalu kembali menatapnya. “Dia memiliki intuisi yang sepatutnya dimiliki seorang detektif swasta. Dia bisa menebak kalau aku adalah saksi mata pembunuhan malam itu, mungkin berdasarkan lokasi rumahku, dan ... “

"Dia tahu kau melihatku malam itu?" tanyanya.

“Tidak, dia tidak mengatakan itu. Tapi dia menyarankanku untuk menjauh darimu. Alasannya tentu saja, Aqmal.”

“Bajingan! Beraninya dia ikut campur urusanku. Dan orang ini sudah mengikutimu? Kau yakin?”

Jelas, aku yakin detektif ini sudah mengikutiku beberapa hari ini. Aku menunduk, tidak yakin apa yang akan aku katakan kepada Adib. Tapi ada satu atau dua hal yang saya pikirkan.

“Beberapa hari lalu, temanmu Adel menghampiriku. Dan dia membawaku ke toko kue milik sepupumu, Mutiara.”

Mata Adib terpejam, ekspresi marah terbesit di wajahnya.

“Sepertinya Adel orang yang bersahabat, jadi aku mengikutinya, bertemu Mutiara yang pada akhirnya memberikanku pekerjaan. Mutiara bertanya tentangku saat itu, ya ... aku pikir itu hal yang wajar. Tapi, kalau ada salah satu dari keluargamu yang kau curigai memperkerjakan detektif ini, mungkin ... “

“Tidak.” Adib memotong pembicaraanku. “Mutiara tidak akan melakukan itu,” katanya sambil menggeleng.

“Ya, aku setuju kepadamu,” balasku cepat. “Tapi apa kau bercerita tentangku kepadanya? Kau tahu, dia tahu banyak tentangku ketika Adel baru saja memperkenalkanku kepadanya. Aku pikir kau banyak cerita tentangku kepanya, kan? Dan spertinya, dia juga sepertimu, tidak menyukai Aqmal.” Aku pikir dengan mengatakan itu, setidaknya ada seseorang yang mungkin menyewa detektif itu untuk memperingati aku. Itu pun kalau kemungkinan si Detektif tadi berbohong tentang sedang menyelidiki khasus pembunuhan malam itu.

Dengan mata terpejam dan sambil membuang napas, tubuh Adib berputar, berpaling dariku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini membuatku bingung, dan di saat yang bersamaan, aku harus menebak apa yang sedang Adib pikirkan. Reaksinya di luar dugaanku.

Setelah beberapa saat, dan Adib masih memunggungiku, aku mendekatinya, meletakkan tangan di bahunya. Dia masih belum menghadapku, jadi aku menyandarkan wajahku di punggungnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku pelan.

Keheningannya terus berlanjut, seperti akan terjadi selamanya, sebelum dia akhirnya berbalik menghadapku. Saat dia melakukannya, raut wajahnya membuatku takut.

“Aku yakin pria itu suruhan Aqmal, dan ini akan membahayakanmu. Na, sepertinya kita tidak usah bertemu lagi. ”

Menggelengkan kepala sebagai penyangkalan, aku berkata, "Tidak. Tidak, itu tidak bisa … itu bukan cara satu-satunya, dan bukan pilihan terbaik.”

“Aku seharusnya tidak pernah terlibat denganmu sejak awal. Aku menempatkanmu dalam resiko, dan aku tidak akan bisa hidup jika sesuatu yang buruk terjadi kepadamu karena aku."

Sambil menggenggam bagian depan bajunya, aku menggelengkan kepalaku lagi. “Tidak ada yang akan terjadi padaku. Dengar, bagaimana jika kita tidak usah pedulikan ini? Atau, bagaimana jika kita datang kepada Aqmal, dan kau mengenalkan aku kepadanya?” Itu mustahil untuk dia lakukan, tapi menurutku lebih baik daripada tidak bisa bertemu lagi.

“Tidak,” kata Adib, dia menatapku seperti aku baru saja menyarankan agar kami memanggil iblis untuk menawarkan secangkir teh. “Tidak, Irina. Percayalah … itu bukan pilihan; tapi itu cara terbaik yang harus kita ambil.”

“Tapi, kenapa kau begitu yakin kalau pria itu suruhan Aqmal? Padahal, kan, pria itu mengaku---“ Aku menghentikan ucapanku. Kecurigaan Adib pasti ada dasarnya, karena dia adalah bagian dari keluarga Bramantyo. Jadi dia pasti tahu cara kerja mereka. “Bagaimana jika kau bawa saja aku ke rumahmu? Mungkin kalau terang-terangan Aqmal tidak akan menggangguku.”

“Tentang pria itu, sebaiknya aku harus mencari tahu siapa yang menyuruhnya, dan idemu untuk mengenalkanmu ke keluargaku, justru akan membuat suasana semakin buruk, Irina.”

“Kenapa semua orang takut dengan Aqmal!” kataku sambil menghentakkan kaki ke lantai karena frustasi.

“Karena aku mengenalnya. Aku sangat mengenal Aqmal. Semua Bramantyo sangat mengenal Aqmal.”

“Tapi kita harus mencoba!”

“Tidak, kita tidak bisa melakukannya,” katanya, kali ini nada bicaranya melemah. “Aku tidak bisa mengambil resiko seperti itu. Apalagi, mengingat tempat tinggalmu yang berhadapan dengan rumah pecandu itu, akan sangat mudah baginya untuk memutuskan bahwa kau adalah seorang saksi.”

“Tapi, mungkin jika kau bilang aku pacarmu dia akan---“

“Membiarkanmu hidup? Tidak, dia tidak akan melakukan itu.”

Frustrasi dengan ketegarannya, aku melawannya, "Kau tidak tahu apa yang akan dia lakukan, kan?"

“Ya, tapi aku tahu kemungkinannya, dan aku tidak akan mengambil resiko itu. Aku tidak akan mempertaruhkan hidupmu."

“Ini tidak mungkin … ini tidak adil.”

Dia menghela napas, memelukku dan menarikku mendekat. Aku memeluknya dengan kedua tangan, memeluknya seolah-olah aku bisa mengubah pikirannya dengan itu.

“Maafkan aku, Irina,” bisiknya, memberikan ciuman di dahiku.

Begitu banyak pikiran berputar-putar di kepalaku, terjalin bersama dengan kesedihan. Rasanya baru semenit yang lalu aku memeluknya di sofa ruang keluarga, kulitku menempel padanya, tubuh kami terjalin. Aku tahu ini mungkin tidak akan bertahan selamanya, tapi aku pikir itu akan bertahan lebih lama dari ini.

Adib mundur, setelah melepas pelukannya. Raut wajahnya menyakiti hatiku dan mengecewakan karena seolah cuma aku yang berjuang, aku yakin pertarungan ini bisa kami menangkan.

“Jadi, kita tidak bisa bersama lagi?” tanyaku lirih.

“Kita akan bertemu di kampus,” katanya, sambil mencoba tersenyum.

Keputusasaan menghantam, dan aku menggeleng. “Aku tidak menginginkan ini.”

Dia mengangguk. "Aku tahu." Setelah jeda sebentar, dia mencondongkan tubuh dan mengusap bibirnya ke bibirku dalam ciuman lembut dan murni. Ironisnya, mengingat aku yang baru saja menyerahkan keperawananku padanya beberapa malam lalu.

“Selamat tinggal, Irina.”

Aku tidak bergerak saat dia menuju ke mobilnya, masih berharap dia akan berubah pikiran. Aku menunggu, setiap detik, langkahnya melambat, hingga dia berhenti. Aku menunggunya untuk melihat ke arahku dari balik bahunya, menyadari dia akan melakukan apa saja untuk menahanku, dan kembali. Lambat pada awalnya, lalu dia akan berlari. Aku akan bertemu dengannya di tengah jalan dan dia akan memelukku, menarikku mendekat. Dia akan meyakinkanku bahwa kami akan memperjuangkan hubungan ini.

Namun, itu tidak terjadi. Semuanya terasa lebih berat saat dia membuka pintu mobil dan meluncur masuk, dan harapan terakhirku sirna ketika dia menyalakan mesin dan pergi, meninggalkanku berdiri di trotoar, sendirian.






(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang