BAB 10

9.2K 297 1
                                    

Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib---Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.

Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?

Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.

Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi perasaan tidak nyaman itu masih aku rasakan. Aku mulai berpikir; tidak bisakah aku mengubah semua mata kuliahku agar bisa terus sekelas dengannya? Apakah hubungan Adib dan wanita itu dekat? Apakah Adib juga datang di kamar tidurnya di jam tiga dini hari?  

Aku seperti menyiksa diriku sendiri dengan pikiran-pikiran itu, dan itu membuat asam lambungku naik hingga perutku sakit.

Aku ingin bertanya tentang hubungannya dengan wanita itu, tetapi aku tidak ingin terlihat tidak nyaman di depannya dan aku takut jawaban yang nanti aku terima adalah kebohongan. Ibuku sangat berpengalaan dengan hal seperti itu: dibohongi pacarnya. Dan yang menyedihkan, Adib bukan pacarku.

Sekonyong-konyong ingatanku tentang kejadian tadi malam terangkat---aku lega bahwa kami tidak melakukan lebih jauh. Dan, aku bingung dengan diriku sendiri: menginginkan lelaki yang---secara resmi---bukan milikku.

Seusai kelas, seolah semua biasa saja (tentu baginya biasa saja), Adib memberiku senyuman hangat. “Hei, kau,” sapanya.

“Hei,” balasku sedikit tidak bersemangat.

“Apa kabar kau hari ini?”

“Baik.”

Dia mengangguk dan sepertinya dia menyadari ada yang berbeda dariku. Aku tidak menyalahkannya, karenaku menjadi lebih dingin dari biasanya---tentu saja karena Artis FTV yang menari-nari di pikiranku sepanjang hari.

Lalu sekonyong-konyong aku bertanya, “Kapan kau mengenalkanku dengan teman-temanmu?”

Alisnya terangkat karena bingung. “Teman-temanku?”

Aku mengangkat bahu, berlagak sedikit santai. “Ya, kau tidak pernah menceritakan tentang teman-temanmu. Tapi kau tahu siapa saja temanku karena mereka semuanya kuliah di sini.”

Sambil tersenyum, dia berkata, “Betul, aku tahu siapa teman-temanmu. Tapi, jujur, aku tidak ingin bergaul dengan mereka.”

Tepat dan cocok. Kebetulan teman-temanku---Rini sudah pasti---juga tidak ingin bergaul dengamu. Tapi ... bukan itu maksudku. “Aku hanya heran. Karena kau tidak pernah menceritakan tentang teman-temanmu.”

“Mungkin karena aku tidak punya yang benar-benar dekat,” katanya.

“Jadi ... selain aku tidak bisa kenal dengan keluargamu, aku juga tidak bisa kenal dengan teman-temanmu?” Aku pikir itu adalah sebuah pertanyaan yang wajar.

Ekspresinya sekonyong-konyong berubah. Aku bisa melihat kecurigaannya. “Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan? Apa ini ... tentang tadi malam?”

Aku merasa hubungan kami sangat tidak adil, walau aku tahu tentang siapa dia tapi kan ... tetap saja, ini tentang betapa sedikitnya kepercayaan yang dia berikan kepadaku. “Tidak, hanya saja ... kau bahkan tidak memberiku nomor ponsel, Dib. Kau bisa mendapatkan informasi apa pun yang kau mau tentangku, sedangkan aku ... “ Aku tidak bisa mengatakan kalau ‘tidak terlalu mengenalmu’, walau aku terkadang berpikir dan ingin mengatakan seperti itu. Kata itu menggantung, tak terucap, di udara, di antara aku dan dia.

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang