BAB 8

9.8K 342 6
                                    

Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.

Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya---walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.

Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.

Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis---aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan---tapi aku takut menginginkan dia di level lain.

Dan sialnya, malam ini aku tidak bisa tidur karena terus mimikirkan Adib Bramantyo. Bukankah seharusnya kami bertukar nomor ponsel? Itu normal, kan? Bagaimana jika dia ... ah! Bagaimana jika aku ingin tahu kabarnya? Sangat tidak efesien kalau satu-satunya cara agar dapat tahu kabarnya adalah saat di kampus atau saat tiba-tiba dia muncul di hadapanku---seperti biasanya.

***

Senin pagi akhirnya datang juga dan aku merasa bersemangat datang ke kampus. Sebenarnya aku lelah, karena semalam aku tidur hanya dua jam, tapi aku sangat ingin bertemu Adib. Kemarin aku berharap dia tiba-tiba muncul di depan rumah lalu mengajakku pergi, tapi tidak terjadi.

“Na, tebak siapa yang akan liburan ke Bali?”

Sambil memasukkan buku di dalam loker aku menatap Rini dan berkata, “Aku? Katakan bahwa itu aku dan kau akan jadi sahabatku selamanya.”

“Sayangnya ... bukan.”

Aku memutar mata dan menutup pintu lokerku. "Kau?” tanyaku datar.

"Bukan aku juga. Tapi ... ayah dan ibuku. Mereka akan pergi hari Sabtu, dan aku ingin mengadakan pesta. Kau tahu, seperti yang dilakukan remaja Amerika?”

“Tidak,” kataku sambil menggeleng. “Aku tidak akan datang walau diundang.”

“Kau tidak akan diundang, tapi kau harus membantuku membuat pesta.”

“Yang benar saja!”

“Ya, tentu benar. Kau hanya harus belanja makanan ringan atau bir.” 

"Aku tidak punya tabungan untuk membeli makanan ringan dan bir."

“Aku yang akan memberimu uang, kau tinggal membelinya,” katanya sambil memutar mata. "Tapi kau tidak usah minum, karena terakhir kali ... kau mabuk hanya karena dua kaleng bir.”

“Itu waktu aku minum pertama kali!”

“Terserah kau saja, yang penting kau harus datang. Harus!”

“Entah aku bisa atau tidak. Kau tahu kan, aku juga harus menjaga adik-adikku?”

“Katakan pada ibumu untuk menitipkan mereka di tempat nenekmu.”

Sepertinya aku akan kalah berdebat dengan Rini, dia memang keras kepala sekali dan bodohya, sedari tadi aku berpikir untuk mengajak Adib ke pesta itu. “Akan kupertimbangkan,” kataku dengan gaya terpaksa. “Kau akan mengundang banyak orang?”

“Hanya yang dekat-dekat saja,” jawabnya.

“Bagaimana jika aku mengundang seseorang?” tanyaku ragu-ragu.

Dia menatapku dengan tatapan tertarik. “Riko?”

"Tidak," kataku, agak tegas. “Kau juga mengundang Riko?”

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang