Perjalanan ke rumah Bramantyo hening dan singkat. Aku kira Andika akan menyelidikiku---mengajukan pertanyaan yang aku tidak tahu bagaimana menjawabnya dan mencoba menjebakku dengan itu sebelum sempat berbicara dengan Adib. Dia tidak melakukan itu. Sepenjang perjalanan dia hanya mendengarkan musik rock dan berkendara dengan tenang seolah tidak ada aku di kursi belakang.
Saat kami berhenti di luar gerbang besi tempa hitam, aku terpesona. Aku tahu Adib tidak mengkhawatirkan uang, tetapi bangunan luas di belakang gerbang lebih mirip gedung opera Paris daripada rumah. Rumah dua lantai didominasi warna putih dan jauh dari kebisingan jalan raya, rumahnya cantik seperti di dalam lukisan. Tiga anak tangga batu menuju ke pintu depan, tiang-tiang putih tebal yang menopang balkon di atas atap yang indah. Di depan rumah besar itu ada jalan masuk melingkar dari bata putih abu-abu, dan ada air mancur besar di tengahnya. Mobil Aqmal telah berhenti di depan air mancur, dan Andika berhenti di belakangnya.
“Adib tinggal di sini?” Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
“Ya,” jawab Andika.
"Rumah ini seperti kastil," kataku dengan kagum.
"Ya, seharusnya seperti kastil," gumamnya sambil mendorong pintu mobil terbuka dan keluar.
Aku tidak bertanya apa artinya ucapannya, aku terlalu terpesona untuk peduli dengan itu.
Di depan, Adib dan Aqmal menaiki tiga anak tangga, sementara aku berlama-lama di jalan masuk, menganga pada segala hal. Di sebelah kanan adalah teras tertutup, dan aku melihat ada kolam ikan.
“Ayo,” kata Andika, tangannya mendorong lembut punggungku.
Aku tidak percaya ini sebuah rumah---ada manusia yang benar-benar tinggal di sini. Bukan hanya manusia, tapi Adib.
Begitu kami memasuki rumah, aku kembali terpesona. Lampu gantung terbesar yang pernah aku lihat tergantung dari lantai dua, posisinya seperti diapit tangga kembar melengkung. Lantai ubin cokelat dan putih berkilau, dan aku merasa seperti telah masuk ke iklan real estat mewah.
“Lewat sini,” Andika memberitahuku: menuju ke kiri melewati tangga.
Andika membawaku ke pintu kayu jati yang berkilau di sisi kanan ruangan yang luas.
“Tempat ini benar-benar seperti kastil,” kataku padanya.
Dia tersenyum, tapi dengan cepat pergi menjauhiku saat kami memasuki ruangan tempat Adib dan Aqmal menunggu.
Ruangan besar dan indah lainnya, yang ini jelas merupakan perpustakaan. Kayu dari lantai ke langit-langit, dengan rak built-in yang penuh dengan buku bersampul kulit. Ada empat kursi kulit berwarna merah yang terlihat seperti milik restoran mewah yang mengapit permadani di depan perapian, dan di paling kanan, ada meja yang megah, mungkin meja kerja Aqmal.
“Bagaimana perjalanannya?” Aqmal bertanya pada Andika.
"Dia diam saja sampai dia melihat rumahmu,” jawab Andika, nadanya mengejek. “Katanya rumahmu seperti kastil.”
Kedua pria Bramantyo menatapku, tetapi aku hanya mengangkat bahu. "Aku bisa meletakkan seluruh rumahku di teras rumahmu."
Tatapan Aqmal tertuju padaku, mengingatkan bahwa aku tidak di sini untuk tur. Aku tidak dapat membayangkan ada orang yang cukup biadab untuk melakukan pembunuhan di ruangan yang begitu indah, tetapi sarafku tersentak ketika dia berbicara kepadaku. "Kemari."
Tatapanku langsung beralih ke Adib, tetapi aku tidak butuh waktu lama untuk mematuhinya. Dia menunjuk ke tanah ketika aku tidak cukup dekat, tetapi aku mengerutkan kening dalam kebingungan, menatap permadani merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT)
Mystery / ThrillerPERHATIAN! CERITA INI BERISI KONTEN DEWASA (21+) HARAP KEBIJAKAN PEMBACA Judul: SARANG PREDATOR Penulis: Ahmad Rusdy Fiksi, sub-genre: Suspense, Crime, Romance, Erotis Segmen Pembaca: Dewasa Blurb: Adib tidak pernah punya alasan untuk memperhati...