Aqmal mengirim mobil---beserta supirnya, tentu saja---untuk menjemputku dan Ibu ke sebuah restoran mewah di kota.
Om Anton bersedia mengawasi adik-adikku untuk pertama kalinya, dan aku membayangkan mereka semua duduk di sofa, menonton sepak bola, dan minum bir. Ibu meyakinkanku bahwa dia sudah menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk mereka makan malam sebelum pergi, jadi tidak ada kemungkinan adik-adikku akan kelaparan.
"Ini sangat mengasyikkan," kata Ibu kepadaku, begitu kami sampai di restoran. Tentu saja baginya; ini malam yang menyenangkan. Kapan lagi bisa makan di restoran semewah ini.
Sepanjang perjalanan ke sini, Ibu banyak menanyaiku tentang keluarga Adib---apa yang mereka suka? Apakah mereka tampak seperti keluarga kriminal? Seberapa kaya, sih, mereka?
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan budaya aneh keluarga Bramantyo, jadi aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan ibuku sesingkat dan sewajar mungkin.
Adib dan Aqmal sudah menunggu saat kami sampai di sana. Aku datang dengan menggunakan gaun lain---gaun mini berpayet. Ini lebih seksi dari yang aku sadari pada pandangan pertama saat membelinya, dan itu membuat kakiku berjalan dengan hati-hati. Namun aku tetap memakai sepatu Louboutin; aku tidak peduli jika sepasang sepatu pemberian Aqmal ini akan menyebabkan masalah malam ini, seperti malam sebelumnya---tidak ada yang bisa menghalangi cintaku dan Louboutin.
"Oh, wow," gumam ibuku saat melihat Adib dan Aqmal pertama kali. "Mereka pria-pria yang tampan."
Aku tahu sebenarnya Ibu sedang membicarakan Aqmal, karena dia sudah tahu seperti apa rupa Adib. Namun malam ini aku tidak akan meredupkan antusiasmenya, dengan memberitahu bahwa Amal adalah seorang mafia berbahaya.
"Hai!" sapa ibuku sambil mendekati meja dengan terlalu banyak kegembiraan. Dia sudah membuatku malu, dan kami bahkan belum duduk.
Aqmal berdiri, menawarkan senyum hangat dan menjabat tangan ibuku saat memperkenalkan diri. Adib memberi senyum hangatnya kepadaku, tatapannya tertuju pada gaunku agak terlalu lama. Aku tidak tahu apakah dia berpikir aku terlihat cantik dengan gaun ini, atau memikirkan dari mana asalnya.
Aku berusaha tidak melirik saat Aqmal menarik kursi untuk ibuku, tetapi mengingat Ibu sudah terpesona dengan Aqmal seperti seorang gadis SMA, itu sulit.
Ternyata aku tidak perlu menghabiskan banyak energi untuk berpikir, mencoba mencari bahan perbincangan yang “wajar” pada jamuan makan malam ini. Aqmal pintar sekali berbicara, bahkan sekali-kali dia melucu untuk ibuku, seolah dia dan Ibu sedang berkencan, sedangkan Adib dan aku menjadi pendamping mereka.
Begitu dia menghabiskan Martini keduanya---dan dia sudah memesan yang ketiga---Aqmal menawarkan menu makanan penutup untuk ibuku dan meletakkan tangannya di atas meja.
"Eva, aku sangat senang kita bisa berkumpul malam ini. Sungguh menyenangkan bertemu denganmu."
"Aku tahu! Ya, ini sangat menyenangkan. Kau tidak seperti yang aku bayangkan. Aku sangat senang sudah memenuhi undangan makan malam ini,” balas ibuku sangat bersemangat.
“Tapi ada satu hal lagi yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku ingin menunggu sampai kau memiliki perasaan yang cukup baik kepadaku, dan aku pikir, sekarang kau sudah cukup nyaman denganku," kata Aqmal sambil tersenyum ramah.
Ibuku tertawa, senang. “Oh ya, menurutku juga begitu.”
“Itu bagus,” kata Aqmal, dan akhirnya dia melirik ke arahku. “Alasan utamaku ingin kita berkumpul di sini, malam ini, adalah, karena aku ingin memberikan kesempatan bagus untuk Irina. Jadi sebelum aku mengurusnya, aku pastikan kau juga terlibat dalam keputusan ini.”
“Oh?” Ibu mencoba mengatakan itu dengan nada yang lebih serius, lalu kedua tangannya diletakan di atas meja. “Oke, aku akan mendengarkan.”
“Aku akan memperlihatkan putriku, Tara.” Aqmal mengeluarkan ponselnya, dan kemudian dia memamerkan foto Tara seperti ayah yang bangga dengan anaknya.
“Oh, dia sangat cantik,” kata ibuku sambil menyentuh dadanya seolah dia akan mati karena kecantikan Tara.
“Ya, terima kasih,” balas Aqmal hangat.
Aku sendiri belum pernah melihat Aqmal berduaan dengan anak perempuannya. Bahkan, aku tidak yakin Tara ada.
“Masalahku adalah, dia membutuhkan pengasuh. Dia punya pengasuh di siang hari, saat semua orang di rumah pergi bekerja atau sekolah, tapi aku butuh seseorang untuk malam hari. Aku membutuhkan seseorang yang bisa tinggal di rumahku. Aku ingin orang itu, Irina.”
Sangat terkejut, ibuku berkata, "Kau ingin Irina ... menjadi pengasuh yang tinggal di rumahmu?"
"Iya. Aku akan memberi upah yang bagus, dan aku yakin Irina akan mengirimkan sebagian penghasilannya untukmu. Kau seorang ibu tunggal, aku yakin akan menyenangkan jika beban ekonomimu sedikit lebih ringan." Merogoh saku jaketnya, dia mengeluarkan amplop putih tebal. Dia meletakkannya di atas meja dan menggesernya ke arah ibuku.
Mata ibuku melebar dan dia membukanya, menghirup dan menghembuskan napas perlahan saat dia melihat amplop itu penuh dengan uang.
“Anggap saja itu sebagai uang muka, dan permohonanku atas izinmu,” kata Aqmal padanya.
Aku senang ibuku teralihkan dengan uang, karena menurutku itulah satu-satunya alasan dia tidak menyadari rahangku menganga. Aku tidak yakin Aqmal benar-benar memerlukan seorang pengasuh untuk anaknya, bahkan dia tidak pernah membicarakan hal ini denganku. Aku yakin ini usahanya agar aku tinggal di rumahnya.
“Irina akan punya kamar sendiri, tentunya. Benar-benar kamar yang layak, bukan seperti kamar pembantu, dan aku akan mengawasinya juga. Dia akan tinggal di sayap rumah, dekat kamar adikku."
"Sayap?" ibuku bergema, bingung.
Menunjukkan salah satu senyumannya yang menawan, Aqmal mengatakan kepadanya, "Kami memiliki rumah yang sangat besar."
"Wow," kata Ibu, mengerutkan kening saat dia berusaha memproses ucapan Aqmal. “Jadi Irina akan … tinggal denganmu? Untuk berapa lama?"
“Selama dia mau bekerja untukku. Dan kau tidak usah khawatir dengan kuliahnya, aku akan mengatur jadwal untuknya."
“Di mana ibunya Tara?” tanya ibuku.
Bibir Aqmal terkatup rapat dan dia bersandar di kursinya. “Sayangnya … ibunya meninggalkanku, beberapa tahun yang lalu.”
Tangan ke dada sekali lagi, ibuku meratapi, "Oh, kasihan sekali Tara."
Aqmal mengangguk, menerima simpati ibuku. “Irina sangat baik dengan Tara, jadi kupikir akan baik bagi Tara kalau Irina yang menjaganya.”
Oh, ya? Aku bahkan tidak pernah bertemu Tara.
“Yah … kurasa … jika Irina setuju, aku pasti akan mengizinkanya dan, aku harus membayar seorang pengasuh untuk menggantikannya ... yah, selama ini Irina yang menjaga adik-adiknya saat aku bekerja, jadi aku pikir akan lebih baik jika ... mengirim setengah gaji Irina kepadaku," kata ibuku sambil melirik ke arahku. “Tapi ya ... maksudku, ini pekerjaan yang bagus. Aku dan Irina pernah membicarakan tentang pekerjaan paruh waktu untuk menambah uang jajannya sendiri. Jadi aku pikir, mengingat kau sangat ramah, dan aku juga sudah mengenal Adib ... ya, ini kesempatan bagus untuk Irina.”
Senyum kemenang mengembang di bibir Aqmal. Dia tahu dia akan menang, karena dia datang dengan membawa uang dan kebohongan yang cantik untuk ibuku.
Dan bagiku, semua omong kosong ini seperti transaksi antara Aqmal---yang ingin membeliku---dan ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT)
Mystery / ThrillerPERHATIAN! CERITA INI BERISI KONTEN DEWASA (21+) HARAP KEBIJAKAN PEMBACA Judul: SARANG PREDATOR Penulis: Ahmad Rusdy Fiksi, sub-genre: Suspense, Crime, Romance, Erotis Segmen Pembaca: Dewasa Blurb: Adib tidak pernah punya alasan untuk memperhati...