BAB 22

4.3K 226 0
                                    

Setelah makan malam, Adib mengajakku berkeliling seperti yang dia janjikan. Di rumah ini  ada kolam renang dalam ruangan (mungkin digunakan ketika udara terlalu dingin untuk berenang di luar), gym, sejumlah kamar, perpustakaan, ruang bioskop mini, dan begitu banyak ruangan lain yang sepertinya kosong. Ketika kami sampai di tempat tinggal para pelayan, suasana menjadi lebih ‘rumah’. Pada dasarnya, ruang pelayan seperti sebuah rumah di dalam sebuah rumah. Ada lorong terpisah di belakang dapur yang mengarah ke sani, dan seperti rumah, tempat ini memiliki ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di ujung aula ada empat kamar tidur dan dua kamar mandi.

“Selain pelayan yang tadi aku lihat dan Asih, ada lagi, kah, pelayan lainnya?” aku bertanya kepada Adib.

Adib mengangguk. “Pengasuh anaknya Aqmal, Risma.”

“Pengasuh anaknya Aqmal?”

Adib menjawab dengan mengangguk. "Aqmal memiliki seorang putri, namanya Tara."

"Dia tidak ikut makan malam, tadi," kataku dengan cemberut.

"Dia makan malam dengan pengasuhnya."

"Yah, aku bahkan tidak menyadari dia sudah menikah. Karena istrinya juga tidak ikut makan malam."

Alih-alih meladeni perkataanku tentang istrinya Aqmal, Adib malah mengajakku keluar. Saat kami melewati sebuah tangga, aku memperhatikan tangga tersebut dan bertanya-tanya kenapa Adib tidak mengajakku melihat lantai dua? “Ada apa di atas?” tanyaku.

“Kamar ayahnya Aqmal.”

Mataku membelalak karena terkejut. “Dia membirakan ayahnya tinggal di dekat ruang pelayan? Bukankah ayahnya pemimpin keluarga yang sebenarnya?"

"Ya, dia pemimpin sah sampai dia mati." Adib membenarkan. “Bukan berarti Aqmal tidak mencintainya. Aqmal mencintai dan menghormatinya. Tapi ayahnya benar-benar gila, sangat kejam. Bahkan sepertinya dia tidak ingin mengakui Aqmal. Aku bisa menceritakan kepadamu tentang apa yang sudah dia lakukan kepada Aqmal dan ibunya, tapi cerita itu seperti cerita horor yang ditulis Stephen King, mengerikan, kau tidak akan mau mendengarnya.”

“Seperti apa?” tanyaku penasaran.

“Seperti ... ibunya Aqmal sampai bunuh diri karena tidak kuat menghadapinya.”

"Ya, Tuhan," bisikku, dan aku merasakan simpati yang tak terduga untuk Aqmal. Perutku mulai terasa mual hanya mencoba membayangkan seperti apa rasanya menjadi Aqmal ketika masih kecil. Kesedihan itu membanjiriku, merusak suasana hatiku. "Kau ingin menceritakannya besok setelah makan malam?" tanyaku, aku ingin mengetahui cerita itu. “Sebenarnya aku ingin kau menceritakannya sekarang, tapi aku punya tugas kuliah yang harus aku kerjakan. Ya ... ini hari yang melelahkan. "

Adib mengangguk lalu merangkul dan mengecup kepalaku. “Baiklah.”

***

Lucunya, aku dan Adib menghabiskan malam ini tanpa berhubungan seks. Setelah aku menyelesaikan tugas, kami berpelukan di sofa sambil menonton TV. Dia sempat mencoba menggodaku dengan mencium dan memberikan sentuhan, tetapi kurang erotis, dan aku merasa lebih nyaman untuk berpelukan saja.

Saat kami mematikan lampu dan naik ke tempat tidur, aku meringkuk di pelukannya dan kami ngobrol sampai aku tertidur.

Keesokan paginya agak mengguncang, karena aku tidak terbiasa bangun di tempat yang asing. Adib sudah mandi, dan ketika dia keluar, dia memberitahuku akan ada sarapan yang menunggu di bawah.

Sarapanku di rumah biasanya berupa mie instan, nasi uduk, atau segelas susu dan roti, tergantung seberapa banyak waktu yang aku miliki untuk menyiapkannya. Sarapan di rumah Adib sangat berbeda dan mewah: berupa telur dengan daging asap, kentang goreng rumahan, roti panggang, dan buah anggur. Jus jeruk juga dituangkan dari botol kristal. Ini dunia yang sangat berbeda.

Aqmal tidak ada, tetapi Adel makan bersama kali ini. Dia sibuk membaca buku sambil makan. Dia bahkan tidak melirik saat aku masuk.

“Adib belum pergi, kan?” aku bertanya, karena aku mengharapkan sarapan bersama.

Akhirnya Adel menatapku, lalu dia berkata, “Oh, tidak, belum. Dia bersama Aqmal." Setelah satu menit melanjutkan membaca buku, dia akhirnya memasukkannya ke dalam tas. “Bagaimana malam pertamamu sebagai calon istri mafia?” dia bertanya dengan nada bercanda.

Aku tertawa singkat. "Aku tidak akan menyebut diriku sebagai calon istri mafia, tapi tadi malam menyenangkan. Mungkin lebih tepatnya ... nyaman.”

"Ya. Tapi aku senang kau berhasil meyakinkan Aqmal. Karena sebelumnya, Adib sangat khawatir Aqmal mengetahui tentang kau.”

Aku mengangguk, tersenyum, meraih anggur dan melahapnya.


(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang