BAB 5

14.2K 417 8
                                    

Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini---tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.

Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur---Ando sangat menyukainya.

Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.

Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuliahku, dan saat itu ibuku benar-benar terlihat frustasi. Wajah kecil Ando terlihat cemas ketika melihat tingkah Ibu, dan sejak saat itu, aku dan ibuku hanya akan membicarakan uang ketika dia sudah tertidur.

Aku menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air di atasnya. Adib yang duduk di kursi meja makan, terus memandangiku. Tentu saja tidak akan sakit dipandang seseorang, tapi dalam kasus ini, pandangan itu terasa meresahkan.

Aku harus membuka pembicaraan agar suasananya menjadi lebih hidup. "Bagaimana kau tahu mereka menyukai Cha-Cha?" Tentu saja itu pertanyaan yang payah.

"Normalnya, semua anak kecil menyukai Cha-Cha. Kau tidak perlu menanyakan itu," jawabnya sambil bersandar di kursi.

Tentu saja aku tahu itu, dan entah kenapa aku menanyakannya.

Aku berdiri di depan kompor sambil menunggu air mendidih, dan ... Adib, oh ya ... aku sedikit curiga dengannya. Sepertinya dia tetap menguntitku. Pikiran ini terbentuk sejak aku bertemu dengannya di swalayan, dan yang aku khawatirkan; sepanjang hari ini dia mengikutiku, yang berarti, dia ada di belakangku saat aku menjemput Edit di prasekolah, lalu saat aku ke sekolah dasar untuk menjemput Ando. Tapi ... dia tidak mungkin melakukannya, kan?

Aku pikir---berharap---bahwa aku tidak akan bertemu lagi dengannya di luar kampus, setelah perbincangan kami kemarin.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" sekonyong-konyong dia bertanya.

Aku melirik Adib dan memutuskan lebih baik bertanya langsung kepadanya. "Kau tidak mengikutiku, kan?"

Adib menatapku, kedua lengannya dilipat di depan dada. Dia tidak membenarkan pertanyaanku, tapi tidak juga menyangkalnya.

"Maksudku, kau bilang tadi di swalayan sedang belanja, tapi kau jelas tidak membeli apa-apa." Aku berhenti, tiba-tiba tergoda untuk bertanya tentang; "Kau mengikuti juga, saat aku ke sekolah adik-adikku?" Terdengar seperti menuding, tapi harus aku tanyakan, karena dia tahu aku menjemput adik-adikku. Adib di dalam kamar saat Ibu memintaku untuk mengantar adik-adik sekolah.

Sejenak, aku melirik ke arah ruang keluarga untuk memastikan adik-adikku masih asik menonton televisi. Aku tidak ingin mereka mendengar percakapanku dengan Adib. Apalagi sekarang Ando sudah menyukainya. "Tolong hentikan," kataku setelahnya.

Masih tanpa ekspresi, Adib berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa."

Aku tidak mempercayai ucapannya. "Aku satu-satunya orang yang terlibat dalam hal ini. Aku. Adik-adikku tidak ada hubungannya dengan ini, dan jika kau mengancam mereka ... " Aku berhenti, karena tidak punya apa-apa untuk mengancamnya. Aku juga tidak bisa membuat ancaman seperti akan melaporkannya ke polisi, karena itu hanya akan membuatnya marah kepadaku.

"Terus?"

"Aku yakin kau sedang mengikutiku. Aku sudah berjanji, kan, kepadamu, dan kau bisa mempercayaiku."

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang