BAB 21

4.9K 226 0
                                    

Dan bagi keluarga Bramantyo, makan malam adalah segalanya.

Sebuah meja panjang berkilau yang dapat menampung lima orang di setiap sisi, dengan satu kursi di setiap ujungnya berada di tengah ruangan. Desain ruang makan rumah ini dipikirkan dengan serius---mungkin mereka punya seseorang yang mengerjakan itu---dan hiasan seperti dua tiang emas tempat lilin menyala dan rangkaian bunga bundar digunakan untuk mempercantik meja makan. Ruangan ini juga memiliki perapian dan lampu gantung besar yang berkilau.

Sepertinya aku dan Adib yang terakhir tiba di ruang makan. Aqmal, tidak mengherankan, duduk di kursi yang letaknya paling strategis---berhadapan langsung dengan pintu masuk. Di ujung seberang meja Aqmal ada Andika---yang melirik ke arahku saat kami masuk, tetapi dengan cepat teralihkan oleh seorang wanita muda yang membungkuk untuk mengisi gelas airnya. Seorang pria yang tidak aku kenal duduk di kursi pertama di sebelah kiri Andika di samping Mutiara. Ada tiga kursi kosong di samping Mutiara, dan sisi lain dari meja itu benar-benar kosong. Adib menuju kursi di sisi kosong, paling dekat dengan Andika, tetapi Aqmal angkat bicara ...

... sambil menunjuk dua kursi di sebelah kirinya, dia berkata, "Dua kursi itu adalah tempat dudukmu dan Irina."

“Tidak ada orang lain yang datang?” Adib bertanya.

"Tidak." Lalu, kepadaku Aqmal menjelaskan, “Di hari Minggu akan ada lebih banyak orang datang. Semuanya keluarga.”

Adib melangkah untuk mengambil tempat duduk di samping Aqmal, tetapi sang Bos menggeleng. Rahang Adib terkunci, tetapi dia tetap menarik kursi keluar dan memberi isyarat agar aku duduk di situ, lalu dia mengambil kursi di sebelah kiriku jadi pada dasarnya aku terjepit di antara mereka. Menyenangkan.

Gadis Penuang Air sampai ke gelas Aqmal, dan aku perhatikan ketika dia menatap Aqmal dan tersenyum, dia tampak lebih bersinar daripada saat menuangkan air ke gelas Andika, tersenyum lebih dari yang bisa aku bayangkan kalau Aqmal bisa membuat seseorang tersenyum.

Di ujung lain meja, Andika mendorong kursinya ke belakang dan berdiri, mengejutkan semua orang. "Aku izin ke kamar mandi," katanya singkat, sebelum keluar.

Aku melirik ke Adib untuk penjelasan---aku pikir ada yang membuat Andika marah---akan tetapi dia hanya menggelengkan kepala dengan halus.

Tidak peduli dengan tingkah Andika, Aqmal berbicara kepada dua orang yang duduk di ujung meja lainnya. “Mutiara, Dhani, ini pacar Adib, Irina.”

“Hai, Irina,” sapa Mutiara sambil tersenyum tipis.

Sedangkan pria bernama Dhani hanya menyapaku dengan anggukan, lalu menatap Gadis Penuang Air saat mengisi gelas airku, lalu gelas Adib.

“Bisakah kau membawakanku bir setelah selesai menuangkan air?” pinta Adib kepada Gadis Penuang Air.

“Tentu saja,” balasnya, lalu sambil membawa teko air, dia menghilang melalui ambang pintu menuju dapur.

“Namanya Putri,” Adib memberitahuku nama Gadis Pembawa Air. "Dia seorang pelayan di sini."

Aku mengangguk. “Hanya Putri sendiri yang melayani makan malam?”

“Sebenarnya dua. Asih ada di dapur, tapi begitu makanan keluar, aku yakin kau akan bertemu dengannya juga. "

Aqmal menyesap airnya, lalu menatapku. “Kau terlihat sangat cantik dengan gaun Mutiara, Irina. Aku pikir kau harus menyimpan gaun itu untukmu."

Aku merasakan pipiku memerah. "Oh terima kasih. Aku tidak bisa--- "

“Mutiara tidak akan keberatan. Benar, kan, Mutiara?” dia bertanya, tanpa melihat ke arah Mutiara.

“Tentu tidak. Aku punya banyak gaun,” jawab Mutiara.

Aku harus berpaling dari Aqmal, karena dia tidak berhenti menatapku dan aku takut wajahku akan terbakar. Aku melihat pada desain renda biru yang rumit pada taplak di tengah meja sebagai gantinya.

“Sekarang kau punya sesuatu untuk dipakai untuk makan malam,” kata Aqmal.

Dengan suara yang terdengar sedikit tajam, Adib berkata, "Aku akan membelikannya beberapa gaun untuk makan malam."

Aqmal hanya tersenyum menanggapi Adib.

Gara-gara masalah gaun, Adib tampak gelisah, dan aku tidak tahu mengapa dia membiarkan sesuatu yang begitu kecil menguasai dirinya. Dari semua omong kosong yang terjadi hari ini, makan malam santai tampaknya lebih baik daripada makan malam yang penuh dengan perkelahian kecil yang bahkan tidak aku mengerti.

“Apakah kau bisa menghubungi ibumu?” Aqmal bertanya padaku.

“Aku tidak berbicara dengannya, tapi aku meninggalkan pesan tentang menginap di rumah temanku, Rini. Ini seharusnya tidak menjadi masalah. Biasanya aku harus menjaga adik-adikku, tetapi semoga tidak memberatkan ibuku, karena aku tidak melakukan tugas itu malam ini atau besok pagi. Tapi aku harus menjemput mereka sepulang sekolah besok. "

"Sampai jam berapa kau akan pergi?"

“Um … jam empat sore, kurasa.”

"Baik. Berarti kau bisa kembali untuk makan malam. ”

Sedikit tidak nyaman, aku berkata, “Hanya untuk makan malam, tentu. Tapi aku tidak berpikir ibuku akan membiarkanku menginap lagi. Aku benar-benar sangat jarang menginap di rumah teman.”

Putri kembali dengan sebotol besar anggur dan bir botol kecil. Dia mulai menuang di gelas Aqmal, lalu menuangkan sedikit untukku dan Adib---tidak lupa meletakkan bir di samping gelas anggur Adib.

"Aku ingin makan malam dengan kau dan ibumu nanti. Kau bisa menyampaikan undangan ini kepada ibumu?" tanya Aqmal kepadaku, lalu dia meraih gelas anggur dan menyesapnya.

"Makan malam dengan ibuku?"

Aqmal mengangguk. “Aku, kau, Adib, dan ibumu. Aku ingin bertemu dengannya. Aku akan memberitahumu tempatnya."

“Kapan?”

“Minggu ini.”

"Minggu ini?" tanyaku dengan mata melebar. “Tapi, ibuku bahkan baru bertemu Adib sekali, dan hampir tidak berbicara banyak.”

“Apakah dia tahu siapa sebenarnya Adib?”

Aku berhenti, kecanggungan merayapi diriku saat aku menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak memberi tahu ibuku bahwa Adib berasal dari keluarga Bramantyo.” Aku tidak tahu apakah jawaban itu menyenangkan hati Aqmal atau tidak. “Jumat malam paling cocok untukku.”

Aku tahu ibuku bekerja sampai pukul dua siang Jumat ini, tetapi aku tidak tahu apakah dia akan melakukan sesuatu setelahnya. Aku tidak yakin apakah mungkin ibuku bersedia membatalkan semua rencananya untuk makan malam dengan seorang Aqmal Bramantyo. Namun akan aku sampaikan ajakan ini kepadanya.

Andika kembali ke ruang makan dan duduk di sisi meja di seberang Aqmal, aku bertanya-tanya tentang semua orang yang duduk di sini; apakah mereka semua Bramantyo? Adib berkata bahwa semua orang inti adalah Bramantyo, jadi aku berasumsi Andika adalah seorang Bramantyo, walau dia tidak mirip dengan Aqmal atau Adib. Andika memiliki mata yang lebih kecil, hidung yang berbeda, rambut yang warnanya sedikit lebih terang---tidak ada warna yang sama dengannya di keluarga ini. Setengah wajahnya memiliki bekas luka, dan aku bertanya-tanya, apakah dia akan terlihat sekuat itu tanpa bekas lukanya? Dhani sedikit mirip---walau hidungnya sedikit lebih besar, tetapi aku bisa tahu dia seorang Bramantyo. Mutiara juga bisa dengan mudah dikenali sebagai seorang Bramantyo: rambut hitam pekat dan mata cokelat. Dia sangat cantik, dan sepertiku, dia mengenakan gaun hitam malam ini.

Putri mendekati Andika untuk mengantarkan salad. Sikap Andika terlihat lebih lembut ketika itu terjadi.

Aku membuat catatan untuk ditanyakan pada Adib tentang seluruh situasi makan malam ini, nanti.

Aku terkejut ketika Adel masuk ke ruang makan sambil membawa dua keranjang roti. Dia menempatkan satu di setiap ujung meja, lalu pergi lagi, dan kembali lagi dengan membawa dua piring kecil berisi mentega.

Aku mengerutkan kening, bingung. Begitu dia pergi lagi, aku menoleh ke arah Adib. “Apakah Adel seorang pelayan?”

“Semacam itu,” katanya. “Ibunya seorang pembantu. Asih. Adel sering membantu.”

“Jadi, dia tinggal di sini?”

"Di ruangan pelayan," kata Adib sambil mengangguk, lalu meraih gelas anggurnya dan meminumnya.

“Ada ruangan khusus untuk tempat tinggal pelayan di rumah besar ini?” aku bertanya pada Adib, sambil menatapnya dengan mata lebar.

Sambil tersenyum, Adib berkata, "Aku akan mengajakmu berkeliling setelah makan malam."

"Banyak yang harus kupelajari," kataku dengan suara pelan.


(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang