BAB 17

5.1K 247 2
                                    

Rasanya seperti tidak nyata.

Aku sudah sering mendengar nama Monster itu dari orang-orang terdekat Adib yang menceritakan ancaman yang dia berikan, sehingga aku tidak bisa membayangkan jika aku akan melihat langsung sosok Aqmal Bramantyo yang legendaris.

Ada mobil berhenti sekitar tiga rumah dari mobil yang di mana aku dan Adel berada di dalamnya. Tubuh Adel menyusut seolah dia ingin bersemnunyi di kursi yang dia duduki saat tepukan lembut langkah kaki di sepanjang jalan mendekati kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika orang itu sudah sampai kepada kami, dan aku takut untuk mengetahuinya.

Adel mencengkeram ponselnya, semakin tenggelam di balik lindungan kursi mobil.

Pria itu berhenti di belakang mobil, dan selama beberapa detik, aku rasa tidak ada yang berani bernapas.

“Pulanglah, Adel.”

Suaranya yang mengalir dari pintu pengemudi yang sedikit terbuka mengirimkan rasa takut yang membelah diriku---halus dan dalam, memiliki kepercayaan diri tanpa batas yang eksklusif bagi pria yang tak seorang pun berani menentangnya.

Adel menelan ludah. Aku ingin berbalik dan melihat seperti apa dia, tapi aku terlalu takut untuk bergerak.

“Maaf, aku tidak bisa melakukan itu,” kata Adel, suaranya bergetar.

Melihat Adel yang ketakutan, aku berpikir kalau tak lama lagi dia akan meninggalkanku. Dia tidak punya pilihan. Mungkin dia adalah teman terbaik Adib, mungkin dia sudah mengenal seluruh keluarga Bramantyo, tetapi dia tidak akan melawan pria yang mengintimidasi ini hanya untuk menyelamatkanku---tidak lama lagi dia pasti pergi.

Napasku tersengal-sengal saat ada pria lain melangkah semakin mendekati sisi mobil tempat aku duduk dan aku merasa terpaku di kursiku, seolah kakiku tidak bisa bergerak. Cerita yang aku dengar tentang dia melintas kembali di pikiranku dan tidak ada yang bisa menyangkal fakta kalau Aqmal Bramantyo akan segera berdiri di dekatku, hanya beberapa meter dari rumah tempat Adib membakar sebuah mobil.

Ya Tuhan.

Mereka akan membunuhku.

Aku ingin keluar dari mobil. Bukan untuk lari, tidak akan ada gunanya, tetapi untuk memohon padanya. Dia ada di sini, dia akan menangkapku karena aku adalah saksi---menyerahkan diriku pada belas kasihannya adalah satu-satunya pilihanku yang tersisa.

“Adib sedang dalam perjalanan,” kata Adel, dia tetap tidak bergerak. “Adib ... tolong, tunggu sampai dia datang. Aku tida akan pergi sampai dia tiba di sini.”

“Tentu kamu bisa,” jawab Aqmal dengan enteng.

"Aku tidak akan meninggalkannya bersamamu," kata Adel.

"Wow, betapa heroiknya.” Aqmal tertawa geli.

Aku berusaha bergerak untuk melihat sosok Aqmal secara langsung, dia masih berdiri di belakang mobil. Namun susah. Seolah kepalaku melekat pada sandaran kursi.

Dan tak butuh waktu lama sampai aku bisa melihat pria satunya. Pria itu berdiri tepat di depan mobil, dan ... aku mengenali rambutnya yang acak-acakan saat mata kami saling menangkap, dan tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa dia adalah pria lain yang keluar dari rumah tetanggaku malam itu bersama Adib.

Dadaku serasa goyah saat dia menatapku melalui kaca depan. Dia tidak bergerak, dan dia cukup tenang sehingga membuatku takut.

“Adel, bisakah kita keluar dan bicara dengannya?” kataku setelah cukup mampu untuk berbicara.

Mata Adel membelalak dan dia menatapku seolah-olah aku sedang mengalami gangguan psikotik. "Tidak."

Pintu mobil terkunci, Adel yang menguncinya untuk melindungiku, tetapi juga membuatku tetap di dalam mobil bersama kengerian ini. Aku melirik ke pintuku dan menyadari kalau pintu ini bisa aku buka sendiri. Aku tidak bisa menunggu sampai momen mengerikan ini berlalu. Aku harus menghentikannya sendiri dengan cara berbicara pada Aqmal. Jadi aku membuka kunci lalu membuka pintu.

"Lihat, dia ingin bertemu denganku," kata Aqmal.

Rasa takut melandaku dan aku menyadari untuk pertama kalinya; tidak, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya apalagi berbicara. Jadi aku menutup dan mengunci pintu lagi.

Pria lain di depan mobil menunduk untuk melirikku, tetapi aku tidak ingin menatap wajahnya. Itu sangat mengerikan, benar-benar mengerikan, dan insting membawaku untuk kembali membuka pintu---

“Kau mau ke mana?” tanya Adel ketika pintu sudah terbuka lebar-lebar.

“Keluar,” jawabku.

“Tolong,” katanya lembut, dan aku berhenti. “Adib tidak akan memaafkanku jika terjadi sesuatu yang buruk kepadamu.”

“Dia akan tiba di sini mungkin ... ya, sebentar lagi,” kata Aqmal. “Aku tidak akan melakukan apa pun sampai dia tiba dan menjelaskan kenapa seorang yang dicurigai sebagai saksi, masih hidup.”

Perutku seperti melilit mendengar dia berkata seperti itu, dan itu berhasil menghancurkan mentalku. Aku berbalik, mendorong satu kaki keluar dari mobil, lalu kaki lainnya. Adel sudah tidak bisa melarangku, dan aku tidak tahan untuk tidak keluar. Akhirnya, aku bisa melihat Aqmal Bramantyo di kehidupan nyata, dengan jelas, berdiri di bagian belakang mobil dengan tenang.

Dia terlihat seperti pria usia sekitar 30 tahun, walau aku tidak yakin. Yang jelas dia tampak jauh lebih tua dariku. Bramantyo berambut hitam yang bermata cokelat dan dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai saudara Adib, karena memang memilki kemiripan. Jaket hitam tergantung di bahu lebar pria itu. Dari penampilannya, Aqmal bukanlah orang yang pantas naik ke tampuk kekuasaan organisasi kriminal---kalau bukan karena hak kesulungannya---karena gayanya lebih seperti musisi kawakan, tetapi tatapannya yang mengintimidasi dan cara bicaranya yang tenang namun dingin, membuat siapa pun yang ingin berurusan dengannya harus memiliki jiwa seorang petarung.

Aku menatapnya dengan ragu-ragu. Aku berharap akan datang rasa percaya diri agar bisa bicara kepadanya. “Apa maksudmu Adib harus menjelaskan sesuatu? Tidak ada yang harus dia jelaskan,” kataku tegas namun gemetar. Adib tidak melakukan kesalahan apa pun, aku harus mengatakan sesuatu untuknya.

Alih-alih menjawabku, dia tersenyum sambil menatap Adel yang baru keluar dari dalam mobil. "Dia berbicara."

Lalu secara tidak terduga dan sangat cepat, dia berlari ke arahku dan mencengkeram lenganku. Jeritan ketakutan keluar dari diriku saat dia menarikku, dan Adel terengah-engah, melesat menghampiri.

Aqmal mendorongku dengan kuat sehingga punggungku membentur pintu mobil bagian kursi belakang.

“Halo, Irina,” katanya dengan tenang.

Napasku tersengal-sengal, menatap sepasang mata cokelat yang tatapannya sangat berbeda dengan mata Adib. Adib memiliki percikan kehangatan yang menarik, sedangkan kekosongan di mata pria ini membuatku merinding.

Aku merasa sangat lega ketika sekonyong-konyong terdengar suara mobil berhenti berdecit tepat di samping mobil Adel. Adib keluar dari mobil dan melangkah menghampiri kami.

“Menjauh darinya!” serunya.

Aqmal mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku mencoba untuk menjaga jarak, tetapi dengan punggung menempel ke mobil, tidak ada tempat untuk pergi. Langkah kaki Adib lambat dan dia menatapku, lebih menakutkan dari yang pernah kulihat.

Aku menyadari kemudian, dia mungkin tidak dapat mengendalikan situasi ini lebih baik dari Adel yang tenang---mencoba, setidaknya.

Aqmal masih mencengkeram lenganku, dan pasti akan memar. Aku berpaling dari Adib ke Aqmal, dan mencoba membuat rencana dengan cepat.

Kami semua berdiri di sana untuk sesaat tanpa kata; lawan, bukan teman. Adib bergerak mendekat, tetapi berhenti ketika dia menyadari Aqmal semakin mendekatiku dengan setiap langkah yang dia ambil. Tubuhnya yang hangat dan keras menekan tubuhku, begitu dekat hingga aku yakin dia bisa merasakan jantungku berdebar kencang di dalam rongga dadaku. Aqmal berhenti, begitu ketakutan sehingga aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang dia pikirkan.

Dan kemudian tangan Aqmal yang bebas bergerak perlahan, menuju ke sisi pinggulku. Darahku berubah menjadi es di pembuluh darahku dan aku tidak bisa bernapas. Kebingungan dan teror bersatu dan membuatku sama sekali tidak berguna. Kengerianku bertambah ketika dia tersenyum, seolah dia menyukai apa yang sedang terjadi.

Ya Tuhan, apa ini?

Praktis bergetar karena kekhawatirannya kepadaku, Adib mundur selangkah.

Senyuman Aqmal tidak berubah, tetapi ada sesuatu yang bersinar di matanya, sesuatu ... yang tampak menyenangkan. "Itu lebih baik," katanya.

Aku merasa ini semua adalah permainan baginya. Cara untuk menghabiskan waktu. Dia keluar sebagai pemenang di setiap turnamen, jadi ini … ini akan berlangsung selama itu menghiburnya.

Sesekali dia melirikku, jadi aku membiarkan lenganku lemas dalam cengkeramannya.

"Sekarang semuanya sudah ada di sini, mengapa kita tidak membawa masalah ini ke tempat yang lebih pribadi?" dia menyarankan, seolah-olah aku bisa berpendapat tentang masalah ini.

Namun aku mengangguk, menatap tatapannya. Dia tidak membutuhkan izinku, tetapi aku tetap memberikannya, setidaknya lebih memilih berpura-pura bahwa aku memiliki semacam kekuatan di sini.

Dia menjatuhkan lenganku, mundur selangkah. Tanganku otomatis terangkat untuk menggosoknya, Adib memperhatikanku tapi tidak berkomentar.

Lalu pria lain yang sejak tadi hanya berdiri tenang di depan mobil mulai bergerak. Sepertinya dia anak buah Aqmal. Pria lain itu mendekatiku, dan aku menatapnya, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan wajahnya. Dia memiliki bekas luka bakar di sepanjang sisi kiri dan di bawah lehernya.

“Berikan kunci mobilmu kepada Andika,” kata Aqmal saat melewati Adib. “Kau ikut denganku,” katanya lagi, kali ini dia berbicara dengan Adib.

Adib akhirnya mendekatiku, dan begitu dia melakukannya, aku melemparkan diri ke pelukannya.

"Maafkan aku," katanya, memelukku erat-erat. “Maafkan aku, Irina.”

"Tolong jangan biarkan mereka menyakitiku," gumamku padanya, berusaha menahan air mata.

“Aku akan melakukan semua yang aku bisa.” Dia berjanji, lalu memberikan ciuman di dahiku.
“Apa kau yakin mereka akan membawa kita ke tempat yang sama?” tanyaku.

“Ya, kita akan menuju rumahnya, rumah Bramantyo, dan aku akan berusaha menyelesaikan masalah ini. Andika tidak akan bertindak kecuali Aqmal menyuruhnya. Benar, kan, Dik?”

“Tentu,” jawab Andika.

Adib melepas pelukan, tetapi aku ingin dia memelukku lebih lama lagi. Aku berharap bisa ikut dengannya, tetapi aku tahu mereka tidak akan pernah mengizinkannya.

Begitu Andika mendapatkan kunci mobil Adib, Adib memelukku sekali lagi, berjanji dia akan segera menemuiku, dan menuju ke sedan hitam milik Aqmal.

Andika memegang lenganku dengan lembut.

“Jangan mencoba hal bodoh,” dia memperingatkan, menarikku ke mobil Adib. “Sebenarnya Aqmal ingin mendengar apa yang akan dikatakan Adib lebih dulu, jauh sebelum hari ini, tetapi kau teralu menarik perhatiannya.”

Aku merasa kami pasti menarik perhatian apa pun yang akan kami lakukan, tetapi aku tidak berkomentar. Aku mengangguk dan naik ke kursi penumpang mobil Adib.

Andika menjatuhkan diri ke kursi pengemudi, mendorong kunci kontak dan menyalakannya. Sebelum dia memasukkan perseneling, dia mengulurkan tangannya, lalu berkata kepadaku, "Ponsel."

Aku butuh waktu sedetik untuk mengingat aku menyimpan ponselku di saku, aku mengeluarkannya dan menyerahkan kepadanya tanpa pertanyaan.

Andika membongkar ponselku: mengeluarkan kartu SIM, lalu mengeluarkan baterai dan melempar ke jok belakang.

Aku melihat ke luar jendela saat mobil berjalan melewati rumahku, dan aku muak memikirkan bahwa ini bisa jadi terakhir kali aku melihatnya.


(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang