BAB 7

10.6K 385 0
                                    

Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat.

"Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.

Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.

Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.

Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.

“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.

Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat setinggi perut. “Aku Adib, Tante,” katanya memperkenalkan diri.

Setelah menjabat tangan Adib, ibuku berkata, “Kalian teman satu kampus?”

Aku melangkah melewati ibuku dan berharap berdiri di tengah mereka dapat menghentikan perkenalan beresiko itu (ibuku tidak akan suka Adib kalau mengetahui nama belakangnya). “Kami akan pergi.”

Ibuku tersenyum geli seolah sedang mengejekku. “Ya, tapi jangan pulang terlalu malam.”

“Tidak akan. Kami hanya nonton,” aku memastikan.

“Adib, jangan antar pulang Irina terlalu malam.” Ternyata tadi ibuku tidak sedang bicara dengan aku. Ah!

Aku merasa lega ketika melangkah menuju mobil. Tidak kusangka semuanya akan berjalan normal dan sepertinya, ibuku menyukai Adib.

Di depan mobil, Adib mengejutkanku dengan membukakan pintu, hal itu membuat kami terlihat benar-benar seperti pasangan ideal. Aku sempat melirik ke arah ibuku yang masih berdiri di depan pintu, dia tersenyum, dan itu membuat wajahku memerah. Ketika aku sudah memasuki mobil dan duduk, mata Adib menyapu seluruh tubuhku, senyum menggemaskan mengembang di bibirnya. “Kau cantik,” katanya dan demi apa pun aku ingin menutup wajahku dengan tangan. Pujian itu justru membuatku malu.

“Terima kasih,” kataku, dan aku memberanikan diri meliriknya. “Kau juga ... keren.” Keren adalah kata yang tepat, karena kalau aku mengatakan tampan, wajahku akan jadi lebih merah---walau dia memang tampan.

***

Adib mengajakku makan malam di restoran steak yang belum pernah kukunjungi. Sebenarnya aku lebih ingin Adib mengajak ke bioskop, karena aku menyukai ketenangannya.

Aku merasa sangat canggung saat kami duduk bersebrangan di meja bundar, jari-jariku menari di atas taplak meja linen putih, mencari sesuatu untuk dilakukan. Aku butuh sesuatu---apa saja---untuk mengalihkan perhatianku dari kenyataan tentang apa yang kulakukan sekarang. Makan malam dengan pria yang beberapa hari lalu, mengancamku di dapur. 

Aku juga takut malam ini tidak berakhir dengan baik dan akan sama takutnya jika berjalan dengan lancar. Karena jika berjalan dengan lancar, dia mungkin menciumku, aku takut akan hal itu, dan lebih takut dengan kemungkinan yang terjadi setelahnya.

“Jadi ... kau punya keluarga besar? Maksudku, keluarga besar yang tinggal di kota ini.”

Senyumannya meredup dan aku melawan rasa ngeri, bertanya-tanya apa yang membuatku memulai pembicaraan dengan itu.

“Ya, cukup besar,” jawabnya.

"Itu keren. Tidak sepertiku; hanya ibu, dua adik, dan nenekku, tidak banyak saudara yang tinggal di kota ini."

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang