BAB 2

33.3K 483 4
                                    

Aku berdiri di depan loker menatap kosong ke buku-buku di dalamnya. Aku merasa sangat mual. Sudah tiga hari sejak terakhir aku makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.

Kebakaran itu terjadi hari Jumat. Setelah sekian lama meringkuk di kamar tidur dengan tubuh yang gemetar, akhirnya aku mendengar tetangga samping rumahku---Pak Budi---berteriak kebakaran sambil memukul-mukul tiang listrik.

Pada saat bantuan datang, tetangga lainnya mengetuk pagar rumahku dan meminta aku sekeluarga untuk keluar, karena takut api akan menyebar. Aku menyaksikan semuanya; saat semua orang saling membantu memadamkan api yang membakar mobil dan, setelah api padam, semuanya sudah terlambat, tetangga depan rumahku---namanya Aldi---ditemukan di dalam mobil dalam keadaan meninggal dunia (kata Pak Budi wujudnya sudah tidak dikenali).

Aku gemetar hebat saat adik laki-lakiku yang berusia tujuh tahun memeluk kakiku, mendengarkan ibuku mengoceh tentang bagaimana kebakaran bisa terjadi sambil memeluk erat adik perempuanku yang berusia empat tahun.

Aku bertanya-tanya; bagaimana jika ibuku tahu aku melihat pelakunya? Apakah dia akan menyerahkan bukti rekaman di ponselku kepada polisi? Dan, bagaimana jika ibuku tahu kalau Adib Bramantyo melihatku saat itu?

Ketakutan yang aku rasakan sejak saat itu tidak pernah hilang, dan entah kenapa aku merasa kalau orang suruhan keluarga Bramantyo akan mendatangiku. Perasaan yang membuat aku tidak bisa tidur dan tidak bisa menelan makanan.

Aku memejamkan mata sejenak, bertanya-tanya bagaimana aku bisa melewati ketakutan ini. Kemudian, setelah tidak merasa lebih baik, aku mengambil buku-buku yang kubutuhkan untuk mata kuliah nanti lalu menutup pintu loker.

Di belakang pintu, tepat di loker sebelahku, bersandar Adib Bramantyo. Sontak aku terkejut dan melangkah mundur sambil meremas erat buku-buku di pelukanku. Aku merasa jantungku akan copot.

Adib tidak bergerak, tidak juga berbicara. Dia hanya berdiri di sana dengan celana jins gelap yang memiliki sobekan di lutut kiri, kaus hitam yang memeluk otot bisepnya, dan penampilannya disempurnakan dengan kedua tangan yang masing-masing dimasukkan ke kantung celana. Dia memiliki rambut hitam sebahu, hidungnya mancung dan matanya yang coklat gelap, seolah-olah bisa menarikku memasuki dimensinya.

Panik membuat asam lambungku naik dan aku ingin muntah. Sedangkan Adib, seolah-olah dia memiliki banyak waktu untuk menyaksikan kesengsaraanku.

Dia pasti tahu aku belum menyerahkannya, kan? Jika aku memberi tahu polisi apa yang aku lihat dan rekam malam itu, setidaknya Adib sudah dipanggil untuk diintrogasi.

"Dimas mengajakku makan malam!"

Aku tersentak kembali, berbalik menghadap sahabatku, Rini, yang baru tiba dan membuka lokernya.

Saat aku kembali menatap ke arah Adib, dia sudah pergi.

Sepertinya kewarasanku mulai terganggu. Aku cukup yakin tadi dia berdiri di sana.

Aku mencoba mendengarkan saat Rini melanjutkan rencana Sabtu malamnya. Aku berusaha terlihat tertarik saat mendengar ceritanya, tapi tetap saja, 'sesuatu' di kepalaku membuatku berbeda. Semoga Rini tidak menyadarinya.

Beberapa jam kemudian, aku masih merasa mual dan lebih pendiam dari biasanya. Aku hampir tidak menyentuh Burger King yang aku pesan untuk makan siang. Padahal seharusnya, jika aku akan berurusan dengan keluarga Bramantyo, setidaknya aku harus banyak makan makanan yang enak-enak dulu. Aku juga tidak banyak mengomentari ucapan Rini tentang rencana makan malamnya dengan Dimas. Tapi sepertinya tidak masalah, Rini terlalu bersemangat hingga tidak berhenti bicara. Jadi aku hanya harus menunjukkan ekspresi tertarik.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan Adib dan aku merasa seperti sedang diawasi olehnya, seolah-olah dia ada di setiap sudut kampus. Sialnya, nanti ada mata kuliah bahasa Inggris, Adib juga mengikuti mata kuliah itu, jadi, aku berpikir untuk bolos. Namun, jika aku menghindarinya di kampus, aku takut dia akan datang ke rumahku. Aku merasa lebih aman di kampus; ada kamera pengawas di setiap sudut dan keamanan berseliweran di titik-titik strategis. Aku merasa dilindungi fasilitas tempat ini.

Semua ini benar-benar membuatku bingung. Mungkin, seandainya salah satu orang terdekatku mengetahui masalah ini ...

"Kau tahu rumahku hampir terbakar beberapa hari yang lalu, kan?" aku bertanya.

Rini memutar matanya. "Oh ya? Bahkan rumah tetanggamu tidak terbakar, padahal mobil itu berada di te-ras-nya."

Oke, dia benar.

"Dan kejadian seperti itu tidak akan menimpamu karena kau tidak akan menghidupkan rokok di dalam mobil dengan kayu bakar," katanya, tanpa simpati.

"Dia manusia modern, Rin. Bukan manusia purba. Manusia modern mengenal korek api."

"Dia pecandu yang sudah masuk penjara karena narkoba mungkin ... sudah tidak bisa dihitung jari."

"Dia punya tiga anak."

"Semuanya diasuh orang tuanya. Maaf, aku tidak akan menangisi hilangnya sampah masyarakat."

Aku ingin memberitahunya, tapi tidak bisa. Aku ragu Rini tidak bisa menahan ledakan ... takut? Atau marah? Entah. Rini tipe yang sangat berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Selain itu, aku tidak bisa menyeretnya ke dalam masalahku.

***

Suara kursi yang diseret di lantai mengejutkanku. Kepalaku tersentak, dan berpikir Adib Bramantyo duduk di sampingku, tapi tebakanku salah, itu Riko.

Dia memberiku senyuman manis yang mampu membuatku meleleh seminggu yang lalu, tetapi untuk sekarang, aku sama sekali tidak terpengaruh melihatnya.

"Hei, Na?" Itu dia, suara serak yang membuatku tergoda beberapa hari yang lalu.

Aku tahu dia sedang menggodaku, tapi aku tidak punya energi untuk menanggapinya.

Aku tersenyum kepadanya lalu pandanganku kembali ke buku di atas meja. "Hai," balasku sedikit terlambat, dan aku berharap dia sadar kalau aku sedang tidak baik-baik saja.

"Semalam kau tidak mengangkat teleponku," katanya.

"Beberapa hari terakhir aku sibuk, Rik," kataku padanya. "Ada kebakaran di depan rumah. Tetanggaku ... "

"Oh, sial!" dia berseru dan menurutku sedikit berlebihan. "Kau baik-baik saja? Keluargamu?"

Dan saat aku menatap Riko untuk membalas ucapannya, sekonyong-konyong rasa takut menetes melalui pembuluh darah lalu menggenang di perutku. Adib yang baru datang berdiri tepat di samping Riko.

Riko menduduki kursi itu lebih dulu, tapi dia langsung berdiri ketika melihat Adib sedang memandanginya. "Duduk, Dib," dia menawarkan dengan suaranya yang bergetar.

Adib yang terlihat sangat santai, menatapku sebelum duduk, lalu dia melempar buku dan pena ke atas meja. Itu adalah hal yang sangat normal untuk dilakukan, tapi entah kenapa rasanya mengancam. Sedangkan Riko? Dia melirikku seperti orang yang tidak pernah mengenalku, lalu pergi tanpa pamit.

Aku segera memutar pandang untuk mencari kursi lain yang kosong, tapi semuanya sudah terisi. Dan saat pikiran untuk bolos dari mata kuliah ini kembali, dosenku---Pak Nasir---sudah memasuki kelas. Sial!

Aku tidak akan fokus jika duduk bersebelahan dengan Adib. Ini seperti mimpi buruk dan seketika, waktu seakan berjalan lebih lambat dari seharusnya.

Setelah menyuruh semua siswa tenang, Pak Nasir berdiri sambil membawa setumpuk kertas lalu membagikan ke setiap baris. Luar biasa! Sempurna sekali! Aku lupa kalau hari ini ada ujian, dan aku duduk bersebelahan dengan pria yang mungkin akan melukaiku.

Aku tidak mungkin bisa fokus mengerjakan ujian hari ini. Jadi aku putuskan ... sambil mendorong kursiku ke belakang, aku meraih buku dan pena di atas meja. Lalu aku berjalan ke depan kelas. Pak Nasir berbalik, kaget, karena seharusnya cukup mengangkat tangan kalau ada yang ingin ditanyakan, tetapi bukan itu maksudku.

"Aku merasa kurang sehat, Pak," kataku, dan itu sangat meyakinkan karena wajahku pucat dan tampak sangat menyedihkan sekali.

Tiga sampai empat detik Pak Nasir memandang wajahku penuh kekhawatiran---tentu saja. "Baik, kau boleh pergi ke Unit Kesehatan," katanya, tegas, namun penuh perhatian.

Aku tidak membuang waktu, tidak akan membuang waktu! Aku keluar dari dalam kelas dan berharap tidak akan bertemu Adib Bramantyo lagi, setidaknya hari ini. Selamanya kalau bisa.



(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang