BAB 16

5.3K 251 1
                                    

Keesokan harinya perasaanku tidak menjadi lebih baik. Adib masuk ke dalam kelas dan memilih duduk di kursi milik Riko (entah kenapa dia selalu memilih mengambil kursi milik Riko), dan ketika Riko---yang bingung---memasuki kelas, dia duduk di sebelahku.

Setelah pulang kuliah, aku menjemput Edit di rumah nenekku, lalu pergi ke sekolah Ando. Di sana pandanganku terus menyapu sekitar untuk mencari detektif itu. Tapi dia tidak ada.

Begitu aku sudah mendapatkan keduanya dan sedang dalam perjalanan---dengan Grab tentu saja---aku menyadari bahwa aku lupa memasak. Aku tahu ini kurang bijaksana untuk keuanganku, tapi aku pikir sekali-kali tidak apa deh; aku menggunakan gajiku untuk beli pizza di tempat Adib pernah mengajakku bolos.

Aku harus memberikan semua toping pizza ke Ando yang walau sudah kuberikan semua dia masih mengeluh karena merasa kurang---aku bahkan tidak memakan topingnya sama sekali. Dan di tempat ini, rasa rindu terhadap Adib tiba-tiba menyerangku.

Malam hari adalah bagian terburuk dari semua ini. Di sini, di dalam kamar ini, di atas ranjang yang dingin ini, aku berharap Adib datang menyelinap ke dalam kamarku. Kalau itu terjadi, aku akan menyambutnya, bahkan setelah dia pergi dariku. Pikiran itu menyebabkan aku menangis dan, tentu saja, aku tidak bisa tidur hingga datang Rabu pagi. Aku akan menjadi zombie bermata bengkak di kampus nanti.

Aku mandi agak lama dan mencoba menutupi wajahku yang sembab dan pucat dengan riasan yang sedikit tebal. Semoga saja hari ini tidak ada kejadian yang bisa memperburuk suasana. Aku ingin tidur nanti malam.

Di kampus aku sempat galau tentang; apakah aku harus bolos mata kuliah Bahasa Inggris, atau tetap masuk seperti biasanya. Jujur aku sangat ingin melihat Adib. Aku ingin tahu apakah dia sudah melupakanku, atau jangan-jangan dia juga merasa sengsara seperti diriku?

Jadi aku putuskan untuk masuk seperti biasanya.

Aku yakin sekali teman-teman di kelas melihatku seperti seorang pecandu yang sedang mabuk ketika aku masuk dan berjalan mendekati mejaku. Aku kecewa sesampainya di dalam, ternyata Adib belum datang. Dia memasuki kelas sebelum bel berbunyi, dan lagi-lagi dia tidak duduk di sebelahku. Aku mengerti dia ingin mengakhiri hubungan ini, tetapi aku tidak mengerti mengapa dia bahkan tidak mau duduk di sampingku lagi.

Saat kelas berakhir, dia keluar kelas lebih dulu, terburu-buru, tanpa melihatku. Seolah dia tidak pernah mengenalku.

Aku tidak bertemu dengannya lagi hari ini. Aku pulang lebih sore karena ada kelas tambahan untuk mata kuliah Bahasa Indonesia. Beruntungnya aku tidak perlu menjemput Ando dan Edit hari ini di rumah nenekku karena ibuku yang akan menjemputnya nanti malam---aku tidak banyak bertanya saat ibuku memutuskan itu karena untuk menghadapi masalahku saja aku kualahan. Aku benar-benar butuh tidur agar otakku bisa berfungsi normal. Dan aku akan mencoba tidur sesampainya di rumah nanti. Kebetulan kan, rumah sedang sepi.

Aku berharap punya motor hari ini. Aku terlalu lelah berjalan dari gerbang perumahan menuju rumahku (seandanya angkot mau masuk perumahan). Secara teknis, aku bisa saja meminta tumpangan pada Rini, tapi belakangan ini, banyak perdebatan di antara kami berdua, jadi aku tidak melakukannya.

Belum lama sejak aku berjalan di area komplek, sebuah mobil sedan biru berhenti tepat di sampingku. Aku begitu terkejut, bagaimana bisa aku tidak menyadari kedatangannya. Jendela mobil terbuka dan aku mendengar si Pengemudi berkata, “Ayo masuk.”

Sambil mengernyit, aku melihat Adel yang duduk di kursi pengemudi. “Adel? Kenapa kau---“

“Ya ... ya. Mungkin sedikit terlambat karena rumahmu sudah dekat. Tapi ... ayo, akan aku antar.”

Sebenarnya rumahku masih lumayan jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki, dan sebenarnya aku ingin menolak ajakan Adel. Tetapi ... dia ada di sini, di komplek perumahanku, pasti ada yang ingin dia bicarakan kepadaku. “Oke,” kataku sambil membuka pintu lalu masuk.

“Sebenarnya Adib ingin membelikanmu motor atau mobil, tapi dia tidak punya waktu,” katanya padaku dan aku terkejut---tentu saja.

“Ya, tentu saja dia tidak punya waktu,” kataku setelah dapat mengendalikan keterkejutanku. “Bahkan saat hari terakhir aku bisa berbicara dengannya dengan bebas, dia tidak mengantarkanku pulang atau ke toko kue. Dia meninggalkan aku sendiri di pinggir jalan.”

Adel hanya tersenyum menanggapiku. Ya ... dia memang tidak banyak bicara ketika sedang mengemudi.

Dia berhenti di depan rumahku, lalu melihat mobil hangus terpakir di teras rumah tetangga depan. Aku tidak tahu apakah dia tahu kalau yang membakar itu Adib.

Lalu sambil mengedipkan mata dan tersenyum, dia berkata, “Jika kau membutuhkan tumpangan, beri tahu aku. Aku tahu kita sekarang bukan teman dekat, tapi … ”

Sejujurnya dia sangat baik, dan aku sangat menyebalkan bagi gadis malang ini. Aku sadar jika Adib akhirnya bersamanya, aku bahkan tidak bisa marah karenanya. Dia baik, dan dia pantas mendapatkannya.

Secara impulsif, dan lebih karena aku merasa dia perhatian kepadaku, aku membungkuk dan memeluknya. “Terima kasih, Adel.”

Dia sangat terkejut, tetapi dia menawarkan senyuman saat aku membuka pintu dan keluar.

Aku mengeluarkan kunci dari tasku, dan hendak membuka gembok pagar.

Pintu mobil terbuka di belakangku. "Irina," panggil Adel.

Aku berbalik untuk melihat apa yang dia inginkan, tetapi ketika mataku tertuju padanya, wajahnya adalah topeng ketakutan saat dia berlari ke arahku sambil menempelkan ponsel di telinganya.

"Apa?" tanyaku bingung.

Dia meraih lenganku, berdiri terlalu dekat---untuk sesaat, aku merasa sangat bingung dan berpikir dia akan menciumku. "Kembali ke mobilku, Na."

Aku tidak dapat memahami apa yang terjadi, tetapi sejenak, perintah itu membuatku melihat kearah mobilnya.

Di telepon, dia berkata dengan muram, "Kau harus ke sini sekarang."

Sekonyong-konyong ketakutan menyerangku dan aku mempertimbangkan untuk lari masuk ke dalam rumah. “Siapa itu?” aku bertanya

Aku mencoba untuk menjauh darinya tapi dia menangkapku, mendorongku kembali ke mobilnya. Tubuhnya kecil, tapi sangat kuat.

“Del, apa yang kau lakukan?” tanyaku sedikit menuntut saat dia membuka pintu mobil.

“Andika ada di sini,” katanya, sepertinya itu berarti sesuatu bagiku.

"Apa?" tanyaku bingung. Dia mendorongku dengan paksa untuk masuk ke dalam mobil, tetapi tidak segera melangkah kembali ke sisi pengemudi. “Del, apa-apaan ini?”

Dia tidak menatapku. Aku menyadari bahwa dia juga tidak sedang berbicara denganku, tetapi kepada orang di telepon.

“Siapa Andika?” tanyaku, berharap aku tahu apa yang sedang terjadi. Apakah Adel orang baik atau jahat?

“Aku akan melakukan apa saja yang aku bisa lakukan,” katanya di telepon. "Cepat, Adib!"

Kelegaan mengalir melalui diriku ketika dia menyebut namanya, dan lonjakan kegembiraan melanda ketika aku menyadari dia pasti datang ke sini.

Namun kegembiraan itu segera hilang ketika aku menyadari bahwa hanya ada satu alasan yang bisa membuat Adib datang ke sini.

"Aqmal?"

Adel menatapku, dengan jauh lebih gentar daripada yang membuatku nyaman.

Lalu dia mengangguk. "Aqmal sedang dalam perjalanan menuju ke sini."

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang