BAB 24

4K 221 1
                                    

Untuk beberapa alasan, alih-alih mengirim Adib, mereka mengirim seorang Sopir untuk mengemudikan mobil yang menjemputku. Aku pikir itu dilakukan Aqmal untuk membuat ibuku terkesan---apakah itu berhasil? Supir itu berdiri di depan pagar. Wajahnya berusaha dia tekan agar memunculkan kesan ramah padahal tetap saja garang---aku yakin dia salah satu anak buah Aqmal---bahkan hampir mengeluarkan air liur saat aku naik ke kursi belakang dengan gaun baru yang cantik.

Aku merasa sangat bersemangat dalam perjalanan, dan pada saat sampai di sana, aku merasa seperti Cinderella. Sopir bahkan membukakan pintu untukku.

Andika yang menunggu di depan pintu masuk rumah, membuka pintu. Adel berdiri di belakangnya.

“Aku datang!’ kataku bersemangat---sebenarnya aku bicara pada Adel, tetapi Andika yang tersenyum.

Adel menghampiriku dan, sambil tersenyum penuh kasih sayang, dia berkata, "Kamu sangat ... " Dia menghentikan ucapannya lalu pendangannya menyapuku dari ujung kepala sampai kaki.

“Cantik?” tanyaku dengan nada bercanda.

Untuk beberapa alasan, aku tidak berharap Adel menanggapi itu dengan serius. "Ya, kau sangat cantik,” katanya. "Mencari Adib?"

"Aku?" Dalam hati hati sebenaranya ... ya. Tapi karena aku harus berpura-pura tidak bisa agresif di depan mereka, aku berkata, “Kau suka baju baruku?”

"Sangat cantik," katanya, dengan anggukan.

Aku berseri, lalu melangkah mengikutinya masuk ke dalam rumah. Namun Adel memberitahuku kalau aku harus ke ruang keluarga terlebih dahulu, bukan ke ruang makan.

Aku melambat saat langkah kami hampir sampai ke ruang keluarga. “Apakah Adib sedang bersama Aqmal? Apakah aku harus menunggu hingga Adib menghubungiku?"

"Tidak, ayo masuk."

Ada lebih banyak yang datang malam ini---Aqmal bertengger di tepi meja pendek sambil memegang gelas, Dhani duduk di kursi yang terpisah dari meja ruang keluarga yang menghadap jendela, lalu ada orang lain yang belum pernah kutemui---tapi jelas seorang Bramantyo, dari penampilannya---sedang menuangkan minuman dari botol kristal untuk dirinya sendiri. Adib duduk di kursi di seberang Dhani, dan tanpa ragu-ragu, aku berlari dan melompat ke pangkuannya, memeluk lehernya dan menghujani wajahnya dengan ciuman kecil.

Pria yang tidak aku kenal tertawa, lalu berkata, "Pacar Adib, ya?"

"Ya, itu dia," Aqmal menjelaskan, suaranya dipenuhi geli.

Adib tersenyum padaku saat aku akhirnya berdiri, memindahkan minuman yang tidak kusadari di tangannya. Syukurlah dia tidak menumpahkan itu padaku.

“Kau yang terbaik,” kataku padanya. “Kau berhak mendapatkan sejuta ciuman di wajah.”

"Untuk?"

Mataku melebar, aku berputar untuk menunjukkan seluruh tubuhku. “Gaunnya. Dan sepatunya---ya Tuhan, aku akan menikahi sepatu ini. Terima kasih banyak."

Senyumnya jelas meredup setelah mendengar ucapanku, dan ada kerutan kebingungan di alisnya. "Apa yang kau bicarakan? Gaun apa? Pakaian ini?"

Antusiasmeku berhenti sebentar. Ruangan menjadi sunyi. Andika lewat di belakang Adib dan aku meliriknya---dia menggaruk bagian belakang lehernya dengan canggung. Aku melirik ke pria berikutnya, si Pendatang Baru yang sedang bingung. Lalu aku melihat Aqmal, dan dia satu-satunya yang masih tersenyum.

Aqmal mengangkat gelasnya ke arahku, lalu dia mengedipkan mata. "Sama-sama."

Ketegangan hening di ruangan itu tumbuh, dan aku perlahan melihat kembali ke Adib. “Kurasa seharusnya aku bertanya,” gumamku pelan.

Sambil menggelengkan kepalanya sedikit, dia berkata, "Wajar untuk berasumsi bahwa orang yang kau tiduri adalah yang membelikanmu hadiah."

Alih-alih memiliki kesopanan untuk merasa kasihan atas ketidaknyamanan Adib, Aqmal malah berkata, "Aku tidak akan mengambil sejuta ciuman di wajah darimu. Kita akan terlambat makan malam kalau kau melakukannya kepadaku."

Adib tidak berdiri dari tempat duduknya---seperti yang mungkin akan dia lakukan ketika marah---tapi dia membuang cairan di dalam gelasnya ke lantai. Momen ini seperti sebuah simbol kalau dia tidak menyukai apa yang baru saja dilakukan Aqmal.

Aku berharap tidak terjebak di dalam ruangan ini sekarang. Pergi terasa seperti ketidaksopanan, tetapi tetap di sini seperti kecanggungan ini adalah siksaan murni.

Andika mengambil gelas Adib dan mengisinya kembali---memberikan kembali ke Adib.

"Terima kasih," kata Adib. Dia berusaha tersenyum saat mengatakan itu, tetapi tetap saja terlihat dipaksakan.

"Aku akan pergi melihat apakah pelayan membutuhkan bantuan di dapur." Sepertinya akan lebih baik kalau aku pergi sebentar dari ruangan ini. Hal itu akan memberikan mereka waktu untuk menyelesaikan  kesalahpahaman ini.

"Pelayan di rumah ini terlatih. Mereka tidak butuh bantuanmu," kata Aqmal---tentu saja dia benar, alasanku yang salah.

“Kalau begitu aku mau ke toilet,” jawabku segera.

"Toilet?”

Aku menggeleng dan berkata, “Tidak-tidak. Aku akan menenggelamkan diriku di kolam berenang.”

Sambil tersenyum geli, Aqmal berkata, "Suruh Adel mengambil handuk untukmu."

***

Adib sedang dalam suasana hati yang jengkel malam ini, dan dia sedikit mabuk setelah menyantap hidangan utama. Aku masih merasa canggung saat makan malam karena itu, sementara Aqmal tampaknya cukup puas karena sudah berhasil mempermainkan kami. Nama pendatang baru itu adalah Lutfi, dan tampaknya dia adalah saudara Aqmal yang lain.

Aku pikir sepertinya akan membutuhkan buku catatan untuk mencatat silsilah keluarga ini.

Mutiara memperburuk keadaan, yang dengan polos mengatakan, "Aku suka gaunmu, Irina."

“Yeah, bagus sekali,” kata Adib yang mabuk.

Aqmal hanya tersenyum menanggapi Adib, dan menyesap anggurnya.

Mungkin bagi Aqmal, itu hal yang menyenangkan untuk dilakukan, membelikanku gaun-gaun, dan mempermalukan Adib di depan separuh keluarganya.

Aku merasa agak malu karena tidak mengenali tulisan tangan pacarku sendiri. Namun ... toh Adib tidak pernah menulis apa pun untukku, dan aku bahkan tidak pernah mengintip catatannya di kelas. Seandainya Aqmal membubuhkan namanya di kartu ucapan, aku pasti tahu dari siapa hadiah-hadiah itu, jadi aku tidak perlu melakukan hal konyol seperti yang aku lakukan saat pertama kali datang.

Aku harus lebih mengenal Adib sekarang. Aku tidak akan membiarkan Aqmal menipuku dengan mudah lagi.


(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang