BAB 37

3.2K 165 7
                                    

Aku merasa kesal keesokan paginya. Kesal karena kebodohanku sendiri dan fakta bahwa Adib tidak pernah kembali ke kamar tidur tadi malam.

Aku tidak tahu di mana dia dan apa alasannya, tetapi mau bagaimanapun, itu tidak baik, seharusnya dia kembali ke kamar. Aku melakukan apa yang aku bisa untuk menenangkan pikiranku sendiri: memeriksa siklus menstruasiku, melihat apakah ada kemungkinan bisa hamil, tetapi sialnya aku lupa mencatat menstruasi terakhirku dan aku tidak ingat ketika melihat kalender. Aku yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari satu kesalahan, tetapi aku akan merasa lebih baik jika dapat memastikan kalau benar-benar tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu yang buruk,” kata Aqmal yang melangkah mendekati meja makan.

Aku meliriknya, menggigit bibir bawahku dengan ragu. Aku kira aku bisa meminta bantuannya. Bagaimanapun, dia adalah kepala keluarga, kan?

"Agak. Um, apakah kalian punya seperti … dokter keluarga, atau … ”

Sambil tersenyum padaku, dia bertanya dengan nada bercanda, "Seorang dokter mafia?"

"Tidak, hanya ... maksudku, mungkin, jika ada yang bisa mendapatkan obat yang sama. Jadi sebenarnya tidak perlu dokter."

“Apa yang kau butuhkan?” tanyanya.

Sambil menggeliat, aku berkata, “Aku lebih suka berbicara dengan sesama wanita untuk ini. Aku bisa saja pergi ke ibuku, tapi itu akan memakan waktu lebih lama dan mungkin bisa saja tidak ada jalan keluar."

Sedikit mengernyit, dia bertanya, "Sebenarnya ada apa?"

“Aku hanya … aku butuh—Tuhan, sebenarnya aku tidak ingin cerita padamu. Tolong jangan membuatku cerita padamu. Apakah Mutiara ada? Adel? Atau siapa saja yang punya vagina?”

“Hari ini aku belum melihat Adel atau Mutiara. Kalau wanita, ada banyak wanita di sini, tapi entah kau nyaman atau tidak jika bicara dengan mereka. Tapi aku ... kau tahu, aku cukup berwawasan. Jika kau ingin, silakan katakan padaku apa masalahnya. Mungkin aku bisa membantu.”

Sambil meringis, aku berkata, “Ah, ini menjijikkan! Tidak. Tidak. Kau tidak akan mau tahu."

“Kita semua orang dewasa di sini,” tegasnya.

Ya, memang kami bukan anak-anak, aku tidak membantah. “Aku butuh kontrasepsi. Pil kontrasepsi.”

Lalu, keheningan yang mematikan.

Sialan!

Wajahku mungkin terbakar dalam api sungguhan, dan aku tidak bisa menatap wajah Aqmal secara langsung. Mengapa oh mengapa oh mengapa ... aku memulai percakapan ini dengannya? Maksudku, aku tidak benar-benar punya orang lain untuk berbicara tentang ini ... Rini mungkin bisa membawakanku pil kontrasepsi setiap pagi, tetapi kami sudah lama tidak berbicara serius dan itu akan menjadi cara yang memalukan untuk tiba-tiba mulai berbicara tentang ini dengannya.

Setelah beberapa saat, sambil meraih koran, dia berkata dengan singkat, "Tidak."

Menelan perasaan hampa, aku berkata, "Tidak, maksudnya kau tidak memiliki seseorang atau dokter yang dapat membantuku mendapatkan itu?"

“Tidak. Maksudku kau tidak akan mendapatkan kondom atau pil kontrasepsi atau apa pun yang bisa mencegah kehamilan,” katanya tegas.

Dengan mata melotot, aku bertanya, "Mengapa?"

Sambil membuka koran, tatapannya bertemu dengan tatapanku dan berkata---tanpa permintaan maaf, "Karena aku berkata begitu."

Aku duduk di sana sejenak, ngeri, menunggunya mengatakan kalau itu bercanda, tetapi ternyata tidak. Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku tidak mengerti mengapa dia menolak sesuatu yang begitu wajar dimiliki seorang wanita usia muda yang belum menikah? Aku tahu mereka membutuhkan seorang pewaris, Adib juga pernah menyebutkan semua wanita Bramantyo cenderung memiliki banyak bayi, tetapi … sebelumnya aku pikir mereka melakukan itu karena ingin, karena tradisi, dan bukan seperti ... mereka tidak punya pilihan.

Astaga.

Dan sekarang aku harus menggandakan harapan kuat dan pikiran positif bahwa insiden kondom rusak tidak akan merusak hidupku, karena jika ternyata aku hamil karena itu, Adib bisa membenciku selamanya.

Oh, dan kejadian itu bahkan terjadi sebelum dia tahu tentang keberadaanku di ruang kerja Aqmal—sesuatu yang bisa buat dia cemburu.

Bagus.

Luar biasa.

Tanpa kata lain, dan tentunya tanpa ucapan selamat tinggal yang biasa dan semoga harimu menyenangkan kepada Aqmal, aku bangun dari meja dan pergi.

Aku berhasil keluar sebelum aku menyadari bahwa aku tidak punya tumpangan yang akan membawaku ke kampus.

Aku tidak akan kembali ke dalam---tidak ingin melihat Aqmal lagi hari ini. Aku menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berjalan ke kampus, tetapi ketika aku melihat Andika di dekat gerbang ...

"Hei," seruku padanya.

Dia menoleh padaku, tetapi tidak berbicara---tentu saja.

“Bisakah kau mengantarku ke kampus?”

“Kau sudah meminta izin ke Adib?”

Aku menggeleng, menyibakkan seikat rambut di belakang telingaku. “Tidak, aku belum bertemu dengannya sejak tadi malam.”

Andika mengangguk, melirik ke jalan, lalu kembali padaku. “Dia masih di rumah Aris. Aku pikir dia tidak akan pulang hari ini. Mengapa kau tidak tinggal saja di rumah hari ini, Irina?”

Aku mengerutkan kening, menggelengkan kepalaku saat aku berjalan ke arahnya. “Aku ada kuis---tunggu. Apa maksudmu dia masih di rumah Aris? Dia pulang tadi malam."

Bibir Andika menyatu membentuk garis tegas, tetapi wajahnya tidak mengkhianati pikirannya. “Tidak, dia tidak pulang. Dia tidak pulang semalam. Percayalah.”

"Ya, dia pulang. Kau yang harus percaya," jawabku, alis terangkat.

Andika melangkah lebih dekat, tepat di depan wajahku. "Tidak. Tadi malam dia tidak pulang."

Aku membeku, tidak bisa bergerak. Bahkan di saat-saat menakutkan setelah bertemu Aqmal, ketika dia meletakkan pistol di dahiku, aku tidak pernah mengalam perasaan sangat terkejut seperti sekarang ini. Hidupku bisa saja berakhir saat itu, dan detik demi detik berlalu, lalu menit, lalu jam.

Namun sekarang, dunia tidak lagi berputar.

Otakku seakan telah mati, tidak bisa berpikir lagi. Informasi mengalir masuk, informasi membingungkan, tidak ada yang bisa aku pahami. Tidak ada.

Sampai satu kepastian memperkuat diriku.

Jika Adib tidak pulang tadi malam, aku tidak akan berhubungan seks dengannya, kan?

Namun tadi malam aku berhubungan seks dengan seseorang.

Aku langsung merasa memiliki berat 1.000 kilo lalu jatuh menembus ruang dan waktu, menunggu untuk menabrak dinidng yang kokoh.

Lututku lemas, tetapi entah bagaimana aku tetap berdiri tegak. Semuanya bergetar---atau rasanya seperti itu. Aku tidak tahu, aku tidak bisa merasakan tubuhku sekarang, bahkan angin yang menerpa wajahku, tidak juga tangan Andika di lenganku. Aku pikir aku bisa mengambil pisau saudara perempuan Aqmal dan mencungkil dadaku dengan itu sekarang, dan aku tidak akan merasakan apa-apa.

Terengah-engah, hidupku kembali, aku berbalik dan kembali ke rumah. Aku tidak lari. Aku berjalan, perlahan.

Aku kembali ke ruang makan, tetapi saat aku sampai di sana, Aqmal sudah pergi.

Putri berdiri di dekat meja makan, membereskan piring kotor yang aku tinggalkan dan cangkir kopi Aqmal.

"Di mana dia?" tanyaku padanya.

Putri berputar, terkejut melihatku. “Siapa? Adib?”

"Aqmal."

“Oh, aku tidak tahu. Dia ada di sini beberapa menit yang lalu.”

Untuk pertama kalinya, ukuran rumah sialan ini menjadi penghalang. Darahku memompa melalui pembuluh darah dengan deras sehingga aku bisa mendengar jantungku berdetak di seluruh tubuh. Aku tidak tahu berapa lama adrenalin akan membuat aku tetap terjaga. Namun aku ingin menemukannya dan menggaruk wajahnya sebelum aku pingsan.

Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Aku tidak ingin pergi ke kamar tidurnya, dan aku tidak yakin dia berada di sana; dia sudah bangun, mandi, dan mengenakan jas dan dasinya yang sempurna.

Asih adalah orang berikutnya yang aku lihat, dan aku menghentikannya. “Apakah kau tahu di mana Aqmal berada?”

Aku jarang berinteraksi dengannya di luar dapur, tetapi Asih mengamati wajahku, lalu dia memberi saran, "Mengapa kau tidak pergi ke kamarmu sebentar, istirahatlah."

“Apakah kau tahu di mana Aqmal berada?”

“Kau tampak pucat. Lebih baik pergi ke kamarmu. ”

"Ya, Tuhan," kataku, menyerah dan menjauh darinya.

Setelah menyerbu separuh rumah, aku sampai di ruang utama. Aku berdiri di depan tiga ruangan terpisah, semuanya adalah ruang pribadi Aqmal.

Akal sehat melompat ke arahku, menyuruhku untuk kembali. Dia tidak ada di sini, dan bahkan jika dia … aku tidak ingin masuk!

Namun aku terlalu marah untuk menuruti instingku.

Aku ingin membakarnya.

Aku perlu tahu dia yang masuk ke kamarku atau bukan. Aku yakin itu pasti dia, tetapi aku perlu memastikannya terlebih dahulu.

Namun ini bukan bagian dari tur Adib, jadi aku bahkan tidak tahu harus berjalan ke ruang mana. Salah satunya adalah kamar tidur, satu mungkin ruang duduk … mungkin yang ketiga adalah kamar mandi yang sangat besar? Aku tidak tahu.

Aku memutuskan pergi ke kiri.

Ini adalah ruang duduk, dan tidak ada orang di dalamnya. Jantungku berdebar lebih cepat---aku tidak yakin apakah lega karena tidak menemukannya, atau apakah itu karena satu pintu sudah terbuka dan tinggal dua lagi?

Aku pergi ke pintu tengah di sebelah pintu sebelumnya.

Ini kamar tidur, tetapi jelas tidak digunakan, dan mungkin untuk anak-anak? Ada beberapa kotak berserakan, salah satunya dengan sweter merah muda berkilau di atasnya.

Sambil mengerutkan kening, aku mundur dari itu.

Aku baru akan mencoba pintu ketiga ketika aku merasakannya. Tidak secara fisik, tidak menyentuhku, tetapi dia cukup dekat sehingga aku bisa merasakan kehadirannya.

Lalu dia berbicara, suaranya serak penuh harap. "Mencariku?"

Sekonyong-konyong tubuhku bergetar dan aku merasakan semuanya di punggungku. Asam lambungku naik saat aku perlahan berbalik dan melihatnya berdiri di sana; di tempat aku berada beberapa menit yang lalu.

Kata-kataku yang ingin aku ucapkan sekonyong-konyong hilang dan yang membuatku ngeri, air mata mengalir di mataku.

Aqmal berjalan ke arahku, aku melihat kilatan seorang predator di matanya.

Seharusnya aku yang menghadapinya, tetapi sekonyong-konyong aku tersadar saat dia bergerak mendekat, lebih cepat, bukan meminta maaf, tidak mundur, tidak menyesal, tetapi … justru seperti ingin mengintimidasiku.

Aku mengejar pemerkosa sampai ke kamar tidurnya. Itu mengerikan, kan?

Melangkah menjauh dari dinding, aku pergi untuk melewatinya tetapi dia menangkap lenganku, cengkeramannya kasar, tidak ringan seperti biasanya.

"Lepaskan tanganmu dariku," kataku, suaraku bergetar di setiap suku kata.

"Oh, tapi ... bukankah kau suka saat tanganku menyentuhmu?” tanyanya, senyum licik mengembang di bibirnya.

"Tidak, aku tidak menyukainya," kataku, merasa seolah dia baru saja menamparku.

“Tentu saja,” katanya. “Kau menyukai tanganku saat mereka memainkan punyamu seperti biola, membuatmu berteriak kegirangan. Kau menyukai mulutku, ketika aku melahapmu seperti makanan penutup favoritku. Kau sepertinya menikmati punyaku, saat aku bercinta denganmu di tempat tidur Adib."

Sebuah isakan tanpa suara keluar dariku saat punggungku menyentuh dinding, dan dia menekan tubuhnya ke tubuhku.

“Kau lebih menyukaiku daripada yang kau bicarakan, kan, Irina?”

Aku berjuang untuk melepaskan lenganku darinya, tetapi dia memegangnya terlalu erat. Aku mengangkat tanganku yang lain untuk memukulnya, tetapi refleksnya terlalu cepat dan dia menangkapku, mendorong kedua tangan ke atas kepalaku dan menjepitku ke dinding.

Aku hanya bisa menggeleng, mencoba mengucapkan kata-kata yang tidak akan terucap, terengah-engah saat dadaku terasa seperti akan menyerah.

Dia bahkan tidak memiliki kesopanan untuk merasa malu. Dia menatap langsung ke mataku tanpa masalah---dan mereka menari dengan sesuatu.

“Kau monster,” bisikku.

Dia memiringkan kepalanya seolah memikirkannya, lalu mengangkat bahu.

Kata-kataku akhirnya kembali. "Kau sudah memperkosaku!"

"Tapi kau sangat menikmatinya," katanya padaku.

“Sekarang, kau seperti orang lain. Tidak seperti yang aku kenal sebelumnya.”

"Ya." Membuat wajah yang menunjukkan 'ini canggung' yang dia hirup melalui giginya. “Aku mungkin tidak akan setuju dengan itu. Aku merasa Adib tidak akan terlalu senang karena kau tidak tahu kapan kau berhubungan seks dengannya, dan kapan kau berhubungan seks denganku.”

"Aku tidak berhubungan seks denganmu," kataku, menyentakkan lenganku, marah karena kata-katanya. “Itu bukan seks. Kau memperkosaku. Kau menipu aku. Kau menyelinap ke tempat tidur pacarku di tengah malam ketika aku tertidur. Aku tidak berpikir itu orang lain. Aku pikir itu dia.”

"Ya.” Dia tersenyum. “Dan Adib sudah memperingatkanmu tentang aku," kata Aqmal.

Ini seperti tamparan lain di wajah.

“Dan … Adel. Dan … ya, semuanya. Semuanya memperingati aku kalau kau, jahat. Bukankah itu benar? Kau jahat?”

Dia tidak membatah kata-kata itu, seolah memberi aku cukup waktu untuk sepenuhnya sadar akan kebenaran pernyataan itu. Untuk mengingatkan kembali saat aku berdebat dengan Adib. Semua ini memberitahuku betapa sakit perasaan Adib nanti, kalau dia tahu tentang ini. Karena ... karena dia sudah memperingatkan aku tentang Aqmal.

"Bahkan sudah kubilang aku bukan orang baik," tambahnya. “Maksudku, kau hanya tidak ingin mempercayai semua itu. Aku punya rumah yang bagus ini, aku membelikanmu gaun-gaun cantik dan cerita-cerita sialan tentang betapa baik kemenangan atas kejahatan—sebenarnya tidak, aku bisa saja memberitahumu itu, tapi … kau sudah diperingatkan, Irina. Dan masih di sini kau berdiri, beberapa meter dari kamar tidurku.”

Aku merasa seperti orang bodoh terbesar di seluruh dunia. Penghinaan menelanku utuh saat aku mengingat perasaan simpatik terhadapnya, merasa sedih karena dia tampaknya menjalani kehidupan yang pada akhirnya kesepian.

Namun pada akhirnya aku sadar kalau dia pantas kesepian. Dia pantas tidak punya siapa-siapa.

Dan aku, mungkin aku memang pantas mendapatkannya, karena dia benar, setiap orang yang mengenalnya mencoba memperingatkanku, tetapi aku tidak mau mendengarkan.

Tanpa ada perasaan bangga yang tersisa, aku menangis, tepat di hadapannya. Di antara isak tangis, aku bertanya, "Mengapa? Aku baik padamu. ”

Sambil mendesah berat, dia berkata, "Kau benar, kau benar. Itu bukan salahmu. Kau baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak kau alami. Itu hanya keberuntungan buruk, dan aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu apakah aku mengagumi atau mengasihani kemampuan kau untuk melihat yang baik pada orang-orang yang sebenarnya tidak baik, tetapi aku tidak ingin memadamkan perasaan itu darimu. Aku bahkan tidak ingin mengenalmu---sungguh, ini salah Adib. Aku bisa menyelesaikannya dengan cepat, itu tidak akan menyakitkan, kita semua bisa melanjutkan hidup kita."

"Kau bilang kau tidak akan menyakitiku." Aku mengingatkannya, bahkan ketika menyadari betapa bodohnya mengingatkan dia tentang apa pun yang dia katakan.

"Aku berkata selama Adib menginginkanmu," jawabnya, mengoreksi aku. "Jika dia tidak melakukannya lagi ... yah, nasibmu diserahkan padaku, bukan?"

Sangat memalukan untuk melakukan kesalahan ini pada seseorang, tetapi lebih buruk lagi bahwa Adib memang benar, dan aku terlalu yakin pada diriku sendiri.

“Kau sudah lama berencana untuk membunuhku, bukan? Ini hanya permainan bagimu.”

“Aku tidak akan membunuhmu,” jawabnya. “Belum, meskipun Adib pulang dan ingin membunuhmu dengan tangannya sendiri.”

“Kenapa dia … ?”

"Dia tahu. Burung kecil memberitahunya beberapa hal, jadi … yah, itu tidak akan menjadi waktu yang menyenangkan bagimu. ”

Aku tidak bisa berdiri lagi. Kakiku goyah dan aku mencoba untuk tenggelam ke dinding, tetapi dia masih memegangi lenganku, jadi aku tidak bisa.

"Mengapa kau tidak melakukannya sekarang dan menyelesaikannya," bisikku, air mata mengalir deras di wajahku sekarang.

Dia mengatur ulang cengkeramannya pada tanganku, menjepit lenganku di pergelangan tangan untuk membebaskan tangannya yang lain. Lalu dia mengelus garis rahangku dengan gerakan yang lembut. “Karena aku belum selesai denganmu,” katanya.

Aku hanya bisa menatapnya, kosong, hancur, sendirian.

Kemudian dia menambahkan, "Dan, kau nanti akan melahirkan anakku.”

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang