BAB 46

8K 222 30
                                    

Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.

“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari.

"Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut."

"Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.

Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”

Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi---sudah lama sekali.

Aqmal berdiri tepat di sebelah Adib, tangannya dimasukkan ke saku mantel hitam panjangnya. Aku terkejut dengan betapa miripnya mereka dari sini, keduanya dengan rambut gelap, tinggi yang mirip, dan ciri-ciri yang mirip.

Setidaknya jika aku hamil, akan sulit untuk mengatakan yang mana ayahnya tanpa tes. Syukurlah, itu tidak akan menjadi masalah.

“Itu karpet baru, kualitas terbaik,” komentar Aqmal. “Dan betul katamu, itu lembut.”

"Aku suka karpet yang lembut," kataku, tersenyum dan kembali menuruni tangga untuk berdiri di halaman agar bisa menatap rumah baruku dari sudut pandang yang lebih luas.

Adib menghampiriku dan berdiri di sampingku, begitu juga Aqmal. Berdiri di tengah mereka mengingatkanku dengan makan malam di Minggu malam. Rumah ini adalah rumah lama yang telah direnovasi dengan gaya Eropa. Aqmal yang mengurusnya. Dan bagian hebatnya, kami tidak perlu membayar uang sewa untuk tinggal di sini.

“Dua rumah itu milikku juga,” kata Aqmal sambil menunjuk dua rumah di sebelah rumah kami. “Aku sewakan kepada orang yang ... tentu, menyukai tinggal di rumah mewah. Uang sewanya lumayan. Kau boleh mengambilnya untuk uang belanja. Jadi kau, Irina, tidak perlu lagi bekerja di tempat Mutiara.”

Melirik sepupunya, Adib berkata, "Kau tidak meminta komisi?”

Aqmal tertawa sambil menggeleng. “Aku tidak membutuhkannya. Kau yang butuh. Bisnis ini bersih dan dalam kondisi baik, kau tidak akan ditangkap polisi karena semua ini, legal."

“Tapi rumah ini tidak ada kolam renang,” kata Adib dengan nada bercanda.

Sambil tersenyum, Aqmal berkata, "Ya, tidak ada kolam renang".

“Aku sangat berterima kasih untuk itu,” kataku kepada Aqmal. “Kami bisa bertahan dengan uang itu, selama kami bisa mengaturnya.”

“Kau harus mengajariku untuk mengatur uang,” kata Adib.

Sambil mengangkat alis, aku berkata, "Kau harus terbiasa makan Indomie."

Sambil memegangi dadanya, dia bertanya, "Mengapa kau melukaiku seperti itu?"

Aku tersenyum, membungkuk dan menyapukan ciuman lembut dan impulsif di bibirnya. “Aku akan memasak makanan enak untukmu setiap hari.”

“Oke,” katanya, dengan jelas menyetujui.

“Oke, aku akan pergi dari sini,” kata Aqmal, menyela romantisme kami.

Adib tersenyum padaku, mengedipkan mata sebelum memelukku dan berbalik jadi kami berdua menghadap Aqmal. “Baiklah … terima kasih untuk ini,” kata Adib.

Aqmal mengangguk, tetapi ada percikan di matanya yang tidak kusuka, dan matanya tertuju padaku. “Jangan berterima kasih padaku, berterima kasih lah kepada Irina.”

Tanpa persiapan, aku kehilangan senyumku, tetapi Adib masih memelukku sedemikian rupa sehingga dia tidak akan melihatnya. Aku yang sedikit kehilangan semangat, mencoba membunuh Aqmal dengan mataku.

"Karena tidak berbicara," tambah Aqmal, setelah jeda terlalu lama.

"Benar," kata Adib datar.

Aqmal tidak terus menggoda. Sebagai gantinya, dia memberikan kunci pada Adib. “Tidak banyak furnitur, tapi sebuah truk akan datang nanti untuk mengantar tempat tidur, sofa, TV---cukup untuk membantu kau memulai kehidupan di rumah baru.”

Rasanya nyata, mungkin untuk pertama kalinya, saat Aqmal berjalan ke mobil, dan menoleh ke belakang untuk berkata, "Sampai jumpa hari Minggu."

Untuk pertama kalinya dalam apa yang terasa seperti seumur hidup, aku tidak akan melihat Aqmal saat sarapan pagi berikutnya. Aku tidak akan bertemu dengannya, atau berjalan di lorong rumahnya bertanya-tanya apakah aku akan melihatnya di tikungan berikutnya.

Adib mengangkat kuncinya, menggantungnya di depanku. “Rumah kita sendiri.”

Aku tersenyum dan menyadari mobil Aqmal sudah menjauh. "Ya."

“Siap untuk masuk?” dia bertanya.

"Sangat siap."

Adib tersenyum padaku dan meraih tanganku saat kami menaiki tangga. “Ini akan menjadi sangat kosong. Kau dengar kata Aqmal tadi? Sedikit furnitur.”

"Tapi penuh cinta," candaku.

Sambil mengernyit dia berkata, "Ew, menjijikkan."



---The End---

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang