BAB 15

5.7K 260 2
                                    

Sekarang, semuanya sudah selesai. Aku harus pulang, berbaring di tempat tidur, mendengarkan lagu-lagu sedih, dan mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar untuk merayakan rasa sakit hati ini.

Ya, mungkin itu yang akan orang lain lakukan. Tapi aku? Tidak. Aku pergi ke toko kue setelah menenangkan diri beberapa saat setelah Adib pergi.

Mutiara tersenyum ketika mendengar suara bel pintu, tetapi senyumnya lenyap ketika dia melihatku. Tentu saja karena wajah murungku dan, ya, aku cukup lama menangis tadi.

“Irina,” panggilnya. “Kau baik-baik saja?”

“Kenapa kau harus melakukan itu?” tanyaku serampangan. Ini seperti menuduh, tetapi aku butuh sesuatu untuk melampiaskan kesengsaraanku. “Jika kau tidak ingin memperkerjakanku sejak awal, lebih baik tidak usah lakukan itu.”

Mutiara menghela napas, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mendengar apa yang dia akan ucapkan. “Aku tidak bermaksud menyakitimu, Irina,” katanya, dan loh! Apa maksudnya? “Aku hanya ... sangat mengenal Aqmal, dan aku tidak ingin dia menganggap kau adalah sebuah masalah.”

Jadi ... apakah Mutiara yang mengirim detektif itu? Atau, Aqmal? Aku ingin bertanya langsung tapi aku pikir itu tidak tepat.

Aku menunduk. “A-aku tidak pedulli akan hal itu. Semua yang terjadi di keluargamu, aku tidak peduli,” kataku, lalu menatapnya. “Aku hanya mencintainya.”

Dia benar-benar terlihat simpatik setelah mendengar ucapanku. Tapi entah kenapa, simpatinya hanya membuatku merasa lebih buruk. Jika benar---atau memang benar---dia yang mengirim detektif itu dan berusaha memisahkanku dengan Adib, dia adalah orang yang harus aku salahkan. Di mataku dia orang yang memiliki niat buruk ... tidak seharusnya terlihat begitu simpatik. Dia memisahkan kami.

"Aku tahu ini sepertinya tidak adil, untukmu," katanya, lalu melangkah semakin dekat dengan etalase agar bisa berdiri lebih dekat denganku. “Aku tahu ini sulit, dan kau masih sangat muda. Kau tidak perlu berurusan dengan semua ini. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyakitimu."

Aku merasa seperti boneka di atas panggung yang gelap, menari untuk penonton yang tidak terlihat. "Mengapa tidak ada yang menganggap bahwa mungkin Aqmal akan melihat betapa baiknya aku, dan dia tidak akan menghalangi hubunganku dan Adib?"

Kepedulian berkedip melalui simpatinya, bukan jenis yang menyedihkan, tetapi jenis yang dipenuhi rasa takut. “Karena Aqmal tidak akan melakukan itu, Irina. Kau tidak salah; kau melakukan segalanya dengan benar. Meskipun Aqmal melihat betapa baiknya kau, meskipun dia tidak akan menyakitimu, tetap, kau terlalu muda untuk terjebak dalam keluarga ini."

“Tapi bukan terjebak jika aku yang memilihnya.”

“Itu akan sia-sia,” katanya, tegas. “Jika aku jadi kau, aku lebih memilih menjual jiwaku kepada iblis daripada harus berhubungan dengan pria dari keluarga Bramantyo dan, yang lebih buruk lagi, aku curiga kau sudah melihat kejahatan yang kami perbuat, kau adalah seorang saksi mata, dan Adib berusaha melindungimu.

Rasa dingin merasukiku, tidak hanya karena kata-katanya, tetapi juga karena betapa tulusnya dia saat mengucapkannya. Dan aku tidak bisa menanggapi Mutiara.

Menepuk pundakku, dia tersenyum penuh simpati. “Kau ingin kue?”

Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih,” jawabku.  Aku yakin tidak bisa makan sekarang.

Mutiara berbalik dan melangkah ke meja kerjanya. Dia mengambil tas kecilnya. Sesaat kemudian, wanita itu memberikan uang dua ratus ribu kepadaku. “Ambil. Ini upahmu hari ini. Kau sudah terlihat sangat kecapean. Pulanglah.”

Jujur, aku ingin sekali menolaknya. Namun aku butuh uang itu, dan itu juga alasanku kenapa tetap datang walau sedang patah hati. “Terima kasih,” kataku setelah mengambilnya.

“Aku berharap yang terbaik untukmu,” katanya padaku. “Dan aku tahu Adib juga mencintaimu.”

Kata-katanya hanya memperburuk suasana hatiku.

Dan Adib, apakah dia juga merasakan apa yang aku rasakan? Jika benar dia mencintaiku, harusnya dia juga merasakan itu, kan?

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang