ADELIA

6 2 0
                                    

Malam itu semuanya tampak sendu, entah karena hari yang makin gelap, serangga yang mulai aktif atau Adel yang menghilang. Fakta Adel menghilang benar-benar menghantam dinding yang dibangun Delvin untuk mengikhlaskan Adel agar bahagia 'harusnya gue nekat ikut Adel' , 'harusnya tadi gue jauhin Farhan dari Adel', 'harusnya tadi---' . Hanya kata harusnya yang menutupi kegelisahan Delvin, langkah kakinya yang panjang berhenti seketika menyadari bahwa dia memasuki tengah hutan, ada rasa takut yang menyelimuti tapi rasa khawatirlah yang memenangkan hatinya.

"FARHAN ANJING!" Sebuah teriakan yang mampu membuat Delvin menolehkan penglihatannya sesuai jarak yang didengarkan oleh indera pendengarannya.

"ADEL!" Teriaknya sambl berlari kearah dimana pendengarannya tertuju.

'Waktu, tolong hentikan waktu sejenak agar Adel baik-baik saja. Tuhan, Tuhan dengerin hati Delvin kan? Tuhan Delvin mohon lindungi Adel jangan buat dia terluka. Delvin sayang sama Adel' Ucapnya dalam hati sambil berlari. Langkah kaki itu berhenti tepat dengan tatapan mata yang memandang sebuah genggaman tangan yang menahan batang-batang pohon, terdengar suara isakan yang kuat seperti memohon 'Jangan Bunuh Aku' kaku, semuanya terasa kaku seperti oksigen-pun menghilang sejenak, pandangan dan pikiran tidak sejalan itu yang Delvin rasakan sekarang, dia tidak mau membuang waktu, dengan sisa tenaganya ia menendang Farhan dari tulang belakangnya membuat Farhan tersungkur ke tanah.

"DELVIN! VIN TOLONGIN ADEL!" Ucap Adel saat menyadari disitu ada Delvin.

Langkah kaki yang panjang membuat Delvin berlari dan menghantam wajah Farhan sampai mengeluarkan darah dari hidung dan sudut bibirnya.

"Laki-laki bajingan! Lu ada hubungan apa sama Isma sampai dia juga ada disini!" Ucap Delvin yang tak henti memukul Farhan dan tidak diberikan perlawanan dari sisi Farhan. Delvin yang merasa Farhan sudah tidak mampu berdiri itupun langsung berlari menuju Isma dan mendorongnya kebelakang lalu menarik tangan Adel.

"Lu cewek dan gue gak pernah mukul cewek, tapi karena yang lu sakitin ini Adel gue bisa ajah langsung muk---" Ucapan Delvin terhenti saat menyadari ada tangan yang menarik Isma dan bunyi sebuah tamparan.

"Gue gak mau ngeliat cowok nyakitin cewek, tapi tidak dengan cewek nyakitin cewek lainnya" Ucap Fany yang muncul sehabis menampar Isma.

"Adel! Lu enggak papa kan?" Ucap Fany yang langsung lari memeluk Adel.

"Fan!" Ucap Adel dengan tangisan yang mengelilinginya.

"Delvin awas!"

Sebuah teriakan yang reflek membuat Delvin berbalik dan ternyata itu adalah Isma yang mengangkat batu untuk menghajar kepala Delvin, dan kejadian itu tepat pada sasarannya. Delvin yang terkejut dan terjatuh langsung tidak sadarkan diri, anggota OSIS yang mendekat langsung menahan Isma dan membawa Delvin dan Farhan yang sama-sama tidak sadarkan diri.

~

"Adel, lu tenangin diri dulu, gue cuman bisa ngasih susu coklat panas" Ucap Fany sembari memberikan segelas susu coklat panas kepada Adel, dan duduk disebelahnya.

"Gue tau lu masih belum bisa cerita, pelan-pelan ajah gue disini kok sama lu" Ucap Fany.

"Adel" Suara ini tak asing bagi telinga Adel.

"Ini gue ada bawa kota P3K, ini gue bawa sendiri dan keliatannya lu emang butuh banget, kaki dan tangan lu semua pada luka-luka" Ucap Talia.

"Makasih Tal" Ucap Adel dengan senyum semampunya.

"Sini biar gue yang obatin" Ucap Dita yang juga datang bersama Talia. Mereka selalu bersama, bahkan tidak ada yang bisa masuk ke dalam persahabatan mereka berdua.

"Gue boleh cerita enggak?" Ucap Talia yang duduk di samping Adel.

"Boleh kok" Ucap Adel.

"Sebelumnya, gue minta maaf dulu pernah nyakitin lu, nge-bully lu, kita sebenarnya punya alasan. Itu karena—"

"Karena lu mirip dengan sahabat kecil kita" Ucap Dita memotong perkataan Talia.

"Gue dulu gak berdua terus sama Dita, kita punya satu sahabat terbaik lagi bahkan saking terbaiknya dia kita gak pernah lupain dia. Dia itu gadis pintar, cantik, ramah, bahkan saat kelas 3 SD pun semuanya suka sama dia. Kita iri sama dia, tapi dia hanya gadis biasa yang menerima siapapun dalam hidupnya, dan bahkan dia menerima gue dan Dita yang emang buruk banget pada saat itu, tapi waktu kelas 4 SD, dia di-bully—sama kakak kelas kita cuman karena dia yang terlihat terlalu sempurna nyatanya dia sendiri yang bilang kalau dia enggak se-sempurna itu" Ucap Talia.

"Lalu kemiripan dia dengan Adel apa? Dan kenapa tiba-tiba kalian jadi nge-bully—Adel?" Ucap Fany yang penasaran.

"Dia dengan Adel sama-sama cewek tangguh, cuek tapi hangat, dan kebiasaan yang terlihat paling sama adalah dia akan memainkan jarinya saat sedang terdiam, kebingungan, ataupun ketakutan. Dan alasan kita nge-bully—Adel adalah karena dia bersikap seperti sahabat kita yang ninggalin kita pada saat itu, karena alasan yang kita terima adalah dia nemuin sahabat baru yang lebih baik dan pergi pindah sekolah, tapi ternyata kita salah kita baru dapet kabar dari kakak kelas yang nge-bully­­—dia ternyata dia keluar negeri untuk pengobatan dan juga melakukan pengembangan perusahaan ayahnya. Alasan kami memang terdengar aneh karena kita nge-bully—orang yang bahkan dia pun bukan orang yang pantas kita gangguin, tapi jujur gue emang enggak suka Adel deket dengan Delvin. Tapi se-brengsek apapun gue, gue juga manusia yang diciptain dengan hati, perasaan, dan akal sehat gue bukan manusia dengan hati batu. Dan kejadian yang tadi Adel rasain benar-benar mirip dengan kejadian yang dialami sahabat kita waktu itu" Ucap Talia yang mencoba menceritakan kisah lama dia dan Dita dengan tenang.

"Emang siapa nama cewek yang jadi sahabat kalian itu?" Tanya Fany lagi.

"Namanya Ica, itu ajah gue lupa nama lengkapnya karena kita selalu pake nama itu, Dita jadi Ita, gue jadi Lia, dan dia namanya Ica" Ucap Talia.

Malam menemani mereka untuk membuka pikiran menjadi lebih baik, serasa angin malam kali ini seperti selimut yang memeluk mereka rasa dingin dari malam haripun tak terasa, entah karena api unggun di depan mereka atau karena ingatan mereka yang tenggelam di masa lalu.

The Knife Smelled Like A FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang