Bab 2

1.8K 106 15
                                    

Selamat membaca 😘

***

Hari senin adalah hari yang banyak orang benci, karena di hari itu semua aktivitas kembali harus di jalani. Aku termasuk salah seorang yang membenci hari senin karena aku lebih suka hari minggu, kalian tahu alasannya apa? Tentu saja karena aku sudah nyaman berada di rumah, rebahan sambil menonton drama di temani camilan. Itu sangat mengasyikan menurutku. Dan sepertinya beberapa persen dari penghuni bumi pun setuju denganku.

"Gar, kenapa hari minggu ke senin itu singkat sementara dari senin ke minggu begitu lama?" tanyaku asal pada Gara yang sedang mengemudikan sepeda motornya, sementara aku seperti biasa duduk di boncengan.

"Ya mana gue tahu, gue bukan pakar hari, Vi. Lo nanyanya bisa yang logis aja gak?" gemas Gara. Aku terkekeh pelan di belakang punggung cowok itu.

"Ya udah gue ganti pertanyaannya," kataku diangguki cowok itu yang sepertinya sudah siap mendengar pertanyaanku selanjutnya. "Gar, apa sekarang lo udah cinta sama gue?"

"Konyol banget pertanyaan lo, Vi," ujarnya sambil tertawa, menganggap bahwa pertanyaanku hanya sebuah lelucon. Selalu seperti itu.

"Sampai kapanpun gue gak akan cinta sama lo, Vi. Kita sahabatan udah dari jamannya ngedot, gak akan gue biarin hal bernama cinta itu merusak hubungan kita yang terjalin belasan tahun ini."

Gara mengucapkan itu dengan ringan, sementara aku yang mendengar hanya bisa menghela napas kecewa. Sejak tiga tahun lalu, aku memiliki perasaan ini dan tidak pernah cowok itu anggap serius. Sakit. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa selain terus bersabar dan berusaha membuat Gara membalas perasaanku. Meskipun aku tidak yakin bisa, karena Gara sudah lebih dulu menatapku sebagai keluarga dan teman, bukan gadis yang menarik perhatiannya.

Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa suka pada cowok itu, padahal banyak cowok yang mengejarku dan memintaku menjadi pacarnya. Namun tidak ada satu pun yang menarik. Hati dan mataku sudah tertutupi oleh Gara seorang. Namun sayangnya cowok yang aku taksir malah menganggap pengakuanku itu hanyalah lelucon. Tapi tak apa, masih banyak waktu yang aku miliki untuk mengubah pandangan Gara terhadapku, dan aku berharap suatu saat nanti perasaanku akan terbalas.

"Yuk turun," Gara mengulurkan tangannya seperti biasa untuk membantuku menuruni ataupun menaiki motor sport pria itu.

Tanpa mengatakan apa pun aku menurut, lalu menyerahkan helm yang kugunakan pada Gara, setelahnya kami berjalan bersama menuju kelas.

Setelah pertanyaanku tadi, tidak pernah ada yang namanya canggung untuk Gara, karena pria itu tidak pernah menganggapnya serius. Berbeda denganku yang menahan nyeri di hati karena penolakan tidak langsungnya. Tapi itu hanya sesaat, karena setelahnya aku akan kembali becanda dan tertawa akibat lelucon Gara, di tambah dengan sahabat-sahabat cowok itu yang aku yakin bahwa saat ini mereka sudah berada di depan kelas, mengganggu setiap orang yang melintas.

Dan benar saja, tiga meter dari jarakku sekarang tawa heboh sudah terdegar. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sementara Gara sudah berlari menuju suara tawa itu berasal, tidak sabar untuk segera bergabung dengan teman-temannya yang tukang rusuh.

"Hallo cantik," aku memutar bola mata malas saat si cowok kurus bernama Ervandi menyapaku dengan kedipan mata genitnya.

"Jangan godain, Vio!" ujar Gara menendang tulang kering Ervan, membuat si empunya meringis sementara aku tidak menanggapi dan memilih untuk masuk ke dalam kelas, menghampiri Melody yang duduk fokus di mejanya, entah sedang mengerjakan apa.

Brak.

Aku menggebrak meja begitu keras, membuat Melody terlonjak kaget dan sumpah serapah langsung terlontar dari mulutnya, membuatku tertawa, tidak sama sekali merasa bersalah. Sementara beberapa orang di dalam kelas yang ikut terkejut juga menatapku dengan kesal.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang