Happy reading !!!
****
Hari berganti dan aku semakin terancam dengan membaiknya hubungan antara Gara dengan Manda. Oke, mereka berdua memang tidak balikan, tapi tidak lagi ada ketidaksukaan yang Gara perlihatkan jika berpapasan atau Manda yang duduk bergabung saat jam istirahat di meja meraka.
Gara sudah bisa menerima kehadiran Manda walau raut wajahnya masih terlihat dingin dan ketus saat membalas perkataan Manda. Tapi tetap saja itu adalah ancaman bagiku, tidak menutup kemungkinan bukan jika suatu saat nanti mereka balikan, apalagi yang aku tahu keduanya masih sama-sama memiliki rasa.
Hufft, haruskah aku mengalah?
"Vi, kenapa lo? Berat banget kayaknya beban pikiran lo, sampai sepanjang itu hela napasnya?" Melody menghampiriku di bangku panjang yang berada di depan kelas kami.
Aku hanya melirik sekilas, tidak berniat menanggapi. Lagi pula apa yang harus aku ceritakan? Mengenai perasaanku? Oh, tidak. Itu biar aku sendiri saja yang tahu.
"Lo gak mau cerita?" kata Melody terdengar sedih. Aku menoleh sekilas, lalu kembali menatap lapangan di bawah sana yang sedang di isi oleh orang-orang yang sedang bermain basket.
Aku masih ingat, dulu saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak, Gara begitu menginginkan menjadi seorang pemain Basket karena seringnya melihat Papi dan Papanya bermain di lapangan kompleks. Tapi sejak SMP, keinginan Gara berubah. Dan itu membuatku sedih, meskipun aku tetap mendukungnya.
"Gue bingung, Mel. Mami nyuruh gue ngabisin libur semester di rumahnya, sama keluarga baru Mami," curhatku tidak sepenuhnya bohong. Karena selain memikirkan Gara, permintaan Mami beberapa hari lalu sukses menambah beban pikiranku.
Aku memang tidak membenci wanita yang sudah melahirkanku ke dunia, hanya saja aku merasa tidak tega jika harus meninggalkan papi disini seorang diri, karena Kak Mawar pastinya juga liburan di rumah Mami.
Diantara kita berdua, memang Kak Mawar yang lebih dekat dengan keluarga baru Mami, tidak seperti aku yang masih merasa sungkan, dan segan jika datang ke sana, padahal mereka semua baik. Tapi dasarnya saja aku yang memang sulit beradaptasi.
"Ya lo turutin aja, Vi, liburan untuk beberapa hari, setelah itu lo habisin sisa liburan lo sama Om Mahen," usul Melody.
Sahabatku satu itu memang sudah tahu bagaimana keluargaku, dan aku tidak menyesal menceritakannya pada Melody, karena dia adalah teman yang baik, dan sering kali memberiku solusi jika aku tengah dilanda kegalauan antara memilih Mami atau Papi.
"Gak tahu, Mel. Rasanya sekarang gue berat banget buat ninggalin Papi. Gue gak tega bikin Papi makin kesepian. Cukup dengan di tinggal Mami, Papi gue hancur, Mel. Gue gak mau buat Papi merasa semakin gak diinginkan dengan perginya gue yang memilih liburan sama Mami. Gue gak bisa bahagia kalau Papi justru menderita sendirian."
Aku menyeka air mata yang dengan lancangnya jatuh. Lalu kembali melirik pada Melody yang kini sudah mengusap punggungku, memberikan ketenangan. "Tapi gue juga kangen Mami, Mel. Gue kangen pelukan Mami," tambahku kemudian. Air mata yang sejak tadi aku tahan jatuh satu per satu membasahi pipiku.
"Meskipun gue gak ada di posisi lo, gue bisa rasain bagaimana sulitnya, lo, Vi. Jadi nangis aja, luapin kesedihan lo sebelum nanti lo kembali tegar pada semua ini. Kalau memang lo gak tega untuk ninggalin Bokap lo, coba lo bicara sama Mami lo baik-baik. Gue yakin Mami lo akan mengerti dengan ketidak hadiran lo. Dan untuk rasa rindu lo, Mami lo juga pasti merasakan hal yang sama dan beliau akan datang untuk menjenguk lo. Gue yakin, Mami lo juga bukan tidak ingin menghampiri lo, tapi tahu sendiri bukan bahwa jarak antara lo dan Mami lo itu begitu jauh, gak bisa hanya mengandalkan angkutan darat aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...