Happy Reading.
****
"Gara, sialan lo, ya!" aku berteriak kesal saat cowok itu dengan lancangnya mengacak rambutku yang baru saja aku rapikan karena sedikit acak-acakan akibat helm yang digunakan.
Mengejar dengan sekuat tenaga sambil terus berteriak meminta Gara berhenti. Aku tidak sama sekali menghiraukan tatapan orang-orang yang menoleh ke arahku karena sudah membuat keributan pagi-pagi seperti ini.
Main kejar-kejaran dengan Gara di lorong sekolah seperti ini sudah aku lakukan semenjak pertama kali masuk ke SMA 86 NUSA BANGSA. Gara yang usil selalu saja membuatku kesal dan berakhir saling berkejaran, maka tidak akan aneh lagi bagi mereka yang mengenal aku dengan sahabat menyebalkanku satu itu.
Aku masih terus berlari, mengejar Gara yang sudah jauh di depan sana dengan tawa puas dan gerakan pinggul mengejek. Benar-benar menyebalkan dan membuat kekesalanku bertambah.
Awas saja cowok itu, tidak akan aku biarkan malam nanti makan di rumahku.
Saat di hadapkan dengan tangga, aku memilih untuk menyerah mengejar. Napasku tersenggal dan dadaku terasa sakit, keringat juga sudah bercucuran dari pelipisku. Aku menyerah. Aku belum ingin mati, apalagi gara-gara mengejar seorang Anggara pradifta putra.
Akhirnya aku memilih untuk duduk di undakan tangga, menetralkan lebih dulu jantungku yang masih berdebar kencang akibat lari barusan sebelum melanjutkan langkah menuju kelas. Gara sepertinya sudah tiba di kelas, dan awas saja nanti, aku pastikan akan membuat dia babak belur.
Ish, dasar Gara menyebalkan!
"Ngapain lo duduk di sini?" aku mendongak saat mendengar tanya itu. Dan Raja lah yang tepat berdiri di depanku. "Lagi ngemis?" lanjutnya kejam, membuatku mendengus dan refleks mencubit lengan cowok dingin itu yang tidak sama sekali berpengaruh. Raja tidak meringis, dan wajahnya masih saja datar. Cubitanku seolah tidak berpengaruh sama sekali, padahal biasanya Gara akan berteriak kesakitan. Ah, itu karena Gara-nya saja yang lemah.
"Gue capek, Ja, abis ngejar Si Gara. Sialan emang dia main acak-acak rambut gue. Gak ngerti sih gimana susahnya gue catokkan," dengusku curhat.
Raja masih menampilkan wajah datarnya, dan aku heran kenapa cowok se-cool Rajata bisa bersahabat baik dengan Ervan dan Gara yang tengilnya minta di gampar. Aku menyayangkan itu, sungguh! Raja terlalu suci untuk orang-orang seperti Gara dan Ervan si pembuat masalah.
Tanpa mengatakan apa pun, tangan Raja terulur merapikan rambutku yang memang masih sedikit berantakan. Apa yang dilakukannya itu tentu saja membuatku terkejut, tapi aku tidak mencoba untuk menghentikannya. Aku sudah cukup sering mendapatkan perhatian kecil seperti ini dari teman-teman Gara, terlebih Raja adalah sahabat kami dari zaman SD.
Diam-diam aku mengagumi laki-laki itu, Raja yang perhatian, dingin tapi lembut, membuatku merasa nyaman. Tapi sayangnya, aku tidak bisa menyukai pria itu, karena Gara sudah lebih dulu mengisi hatiku. Mungkin jika perasaan ini jatuh pada Raja, aku sudah bahagia sejak dulu.
"Makasi, Ja," ucapku tulus saat Raja sudah kembali menarik tangannya dari rambutku. Laki-laki itu hanya mengangguk singkat tanpa sedikitpun membuka mulutnya.
Ck, kosa kata Raja terlalu sedikit. Jadi haruskah aku membelikan pria itu Kamus Besar Bahasa Indonesia?
"Udah cukup 'kan istirahatnya? Yuk, ke kelas, bentar lagi bel," Raja melirik jam di pergelangan tangannya, lalu bergeser dari hadapanku dan berjalan menaiki tangga lebih dulu meninggalkanku yang masih duduk di undakan tangga kedua dari bawah.
"Lo gak ada niatan gendong gue, Ja?" godaku, berhasil menghentikan langkah cowok kaku itu.
"Ogah!" ketusnya kembali melanjutkan langkah tanpa menghiraukanku yang tertawa sebelum kemudian menyusul, dan mensejajarkan langkah masuk ke dalam kelas. Dan disana kudapati Gara sedang merusuh bersama teman-teman sekelas. Kotak susu yang isinya baru saja habis kuteguk, aku lempar ke arah Gara dan berhasil mengenai kepala belakang pria menyebalkan itu. Membuat pria itu melotot protes, tapi tidak sama sekali aku memedulikannya. Aku masih kesal pada Gara sialan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...