Bab 22

1K 87 9
                                    

 Happy reading!!!

***

“Lo dari mana aja sih, Vi? Dari tadi gue nyari lo keliling sekolah tahu gak! Mana ponsel main di matiin segala lagi,” Gara langsung mengomel begitu aku dan Ervan tiba di kelas setelah bel pulang berbunyi tiga puluh menit lalu. Bukan sengaja aku melakukan itu, tapi keasyikan bercerita dengan Ervan membuat aku lupa waktu dan kami memang benar-benar tidak mendengar bel berbunyi. Sadar saat ponsel Ervan berdering dengan Raja si peneleponnya.

Sorry Gar, ponsel gue mati,” ucapku seraya memperlihatkan layar ponselku yang gelap. Mengenai itu aku tidak berbohong, karena memang gawaiku kehabisan daya sebelum jam istirahat tadi dan aku tidak berniat untuk mengecasnya.

“Terus lo dari mana? Kenapa bisa sama si curut?” tanyanya masih dengan raut kesal sekaligus cemas. Aku senang Gara ternyata mengkhawatirkanku. Tapi aku tidak berniat membuat cowok itu khawatir, sejak awal aku hanya ingin menenangkan diri sebentar di atap, tapi siapa yang menyangka bahwa Ervan akan datang dan kami berbagi kisah juga kesedihan yang diiringi dengan lelucon sesekali.

“Gue tadi sama Kak Ryan,” bohongku. ‘Maafin Vio yang cantik ini Kak karena udah numbalin nama Kakak’ batinku. “Terus ketemu Ervan deh, jadi kita main bekel di lantai tiga sama kakak kelas yang lain.”

Ervan melotot protes dengan alasan yang aku berikan, tapi mana aku peduli, yang penting memberi alasan dan Gara tidak bertanya-tanya lagi. Aku tidak mungkin ‘kan menjelaskan apa yang sebenarnya?

Ck, ya udah. Lain kali jangan di ulangi lagi. Kalau mau pergi-pergi kasih kabar sama gue, jangan buat gue khawatir, Vi!” tatapannya memohon, dan itu membuatku lemah. Aku mengangguk singkat, ingin sekali aku berhambur memeluk Gara dan menumpahkan air mata dalam pelukan cowok itu, mengucapkan segala kesakitan, ketidak relaan, dan rasa sesak ini. Aku ingin mengatakan sekali lagi pada Gara bahwa aku mencintainya, tapi aku terlalu takut, aku takut Gara masih menganggap ungkapanku sebagai candaan, aku takut Gara menolakku dan aku lebih takut membuat cowok itu menjauh.

“Pulang yuk, Gar, Mama udah nelponin aku dari tadi,” suara Manda mengalihkan tatapan Gara dariku. Cowok itu mengangguk lalu meraih tasnya dan tas milikku sebelum kemudian cowok itu meraih tanganku dan menarikku pelan untuk pulang. Tidak lupa pamit pada Ervan, Raja dan Melody yang masih ada di kelas.

Aku berusaha melepaskan genggaman tangan Gara di tanganku karena aku merasa tak enak pada Manda yang ada di sisi kanan Gara, tapi cowok itu sepertinya tak paham dan malah semakin erat memegang lenganku solah takut aku akan melarikan diri dan kembali menghilang. Tidakkah Gara sadar bahwa Manda bisa saja salah paham karena hal ini? Aku tidak ingin menjadi alasan pertengkarang mereka nanti.

Andai koridor ramai saat ini sudah pasti berbagai tanggapan akan keluar dari orang-orang yang melihat keberengsekan Gara saat ini terlebih hubungan Gara dan Manda sudah tersebar kesepenjuru sekolah karena penggemar keduanya bukan main banyaknya.

“Lo gak kecapean ‘kan?” tanyanya masih terlihat khawatir.

“Engak, Gar, lagi pula gue cuma bekel, itu kan sambil duduk. Gak cape,” kekehku menyembunyikan kebohongan, karena pada kenyataannya aku kelelahan menangis. Namun beruntung Gara tidak menyadari wajah sembabku.

“Tapi ‘kan tetap aja lo harus naik turun tangga,” geram Gara. “Pokoknya mulai besok lo bawa powerbank ke mana-mana. Jangan biarin ponsel lo mati.” Aku hanya mengangguk patuh untuk mengurangi kekhawatiran Gara.

Setibanya di parkiran Gara membukakan pintu penumpang depan dan menyuruhku masuk. Awalnya aku mengira itu untuk Manda mengingat selama ini Gara mana pernah mau melakukan hal itu sukarela, tapi ternyata ini diluar dugaanku. Aku menoleh hati-hati ke arah gadis yang berdiri samping kanan Gara sebelum kemudian meringis bersalah karena aku tahu bahwa Manda cemburu dengan hal yang dilakukan Gara padaku.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang