Bab 15

1.2K 75 12
                                    

Happy Reading!!!

***

Sejak hari itu aku dan Kak Ryan mulai dekat, bahkan kami sudah bertukar nomor dan sesekali berkirim pesan. Sudah aku bilang bukan bahwa aku nyaman mengobrol dengan dia. Jadi saat cowok itu mengirimku pesan tidak ada alasan untuk aku mengabaikannya. Lagi pula dengan begini ponselku tidak terlalu sepi meskipun, ya, tidak sedikit yang mengirim pesan entah itu nyasar atau memang yang berusaha mendekatiku, namun selama ini aku tidak berminat pada mereka. Hanya pesan Kak Ryan yang selalu aku respons setiap harinya. Sesekali Raja, Ervan, atau Melody. Gara jarang mengirim pesan padaku karena cowok itu selalu berada di rumahku atau jika tidak, pasti selalu menelpon, katanya hitung-hitung buang bonus teleponnya. Sialan memang.

Semalam Kak Ryan meminta izin untuk menjemputku, tapi tentu saja aku tolak karena aku harus berangkat dengan Gara seperti biasanya. Cowok itu akan ngomel jika aku memilih berangkat dengan orang lain dibandingkan dengannya. Untung saja Kak Ryan tidak memaksaku dan itu membuatku semakin mengagumi sosok kakak kelasku itu. Tidak salah bukan? Siapa tahu suatu saat nanti cintaku berpindah haluan jika merasa lelah berjuang pada seseorang yang dengan jelas menolakku. Entah itu Raja atau Kak Ryan, keduanya akan aku pertimbangkan jika Gara memang tidak bisa melihatku sebagai gebetan.

“Dek, Garandong udah datang tuh,” Kak Mawar mengetuk pintu kamarku.

“Iya Kak, sebentar,” sahutku seraya bergegas menyisir rambut panjangku dan mengoleskan liptin di bibirku agar tidak terlihat pucat, setelahnya aku menyambar tas gendongku dan kaus kaki sebelum keluar dari kamar untuk sarapan.

Gara sudah duduk anteng dengan sepiring nasing goreng di sisi kiri Papi yang juga tengah menikmati sarapannya, sedangkan Kak Mawar sedang menata sandwich, salad buah dan tentu saja dua kotak susu untuk bekalku, tidak lupa juga air mineral sudah Kak Mawar siapkan juga. Aku mendesah pasrah karena tidak mungkin untuk menolak. Kak Mawar akan marah jika sampai aku protes di buatkan bekal.

“Selamat pagi, Papi,” sapaku mengecup pipi papi yang di balas dengan mengusak sayang kepalaku, lalu menghampiri Kak Mawar dan melakukan hal yang sama, bedanya Kak Mawar membalasku dengan kecupan di pipi juga. Setelah itu barulah aku duduk dan siap untuk menikmati sarapanku.

“Gue gak di cium juga, Vi?” Gara bertanya dengan wajah irinya.

“Cium pake setrikaan panas mau lo,” ini Kak Mawar yang menjawab dengan nada galaknya, membuat papi geleng kepala, sementara aku memberi acungan jempol tanda mendukung Kak Mawar, lalu memeletkan lidah mengejek Gara yang cemberut.

Tidak butuh waktu lama untuk aku menyelesaikan sarapanku, kini tatapanku tertuju pada butir obat yang kakak cantikku itu berikan dan segelas air yang baru saja papi tuangkan. Ketiga orang yang ada di meja makan menatapku dengan intens, membuatku lagi-lagi mendesah pasrah karena tidak bisa mangkir dari menu wajibku setiap hari.

“Yuk, Gar, berangkat,” ajakku begitu selesai meneguk obat.

“Jangan lupa bekalnya di makan, Vi. Ingat jangan teralu kecapean. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Papi atau Kakak.” Pesan papi sebelum aku benar-benar meninggalkan dapur. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu melangkah bersama Gara menuju teras, dan kedua alisku terangkat saat yang kudapati di depan sana bukanlah motor sport yang biasanya Gara gunakan, melainkan mobil hitamnya yang di dapat dari orang tua pria itu satu tahun yang lalu.

“Tumben bawa mobil?” heranku menghentikan langkah tepat di depan mobil Gara.

“Jemput Manda sekalian,” jawabnya dengan diiringi cengiran yang membuatku menaikan alis curiga.

“Lo balikan sama Manda?” tanyaku langsung.

“Belum,” Gara menggelengkan kepala, lalu membukakan pintu mobil untukku. Aku tak lagi bertanya karena mendengar jawaban Gara barusan berhasil membuatku terdiam dengan berbagai pertanyaan di kepala.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang