Bab 7

1K 85 7
                                    

Happy Reading !!!

****

"Gar, lo beneran gak pernah cinta sama gue?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya selama tiga tahun belakangan ini.

Gara yang tengah sibuk memilih kuas lukis di rak toko buku langsung menoleh kepadaku, lalu melayangkan cubitan gemasnya.

Kita memang sudah baikan sejak di perjalanan tadi. Gara tidak akan bisa marah lama-lama padaku, begitupun sebaliknya. Jadilah saat kita pergi sudah kembali seperti biasanya. Tapi sepanjang perjalanan aku terus kepikiran mengenai perasaan Gara terhadapku. Aku tidak ingin hanya menebak-nebak dan berakhir jadi terlalu percaya diri. Aku takut kecewa, dan aku tidak siap terluka dengan harapan-harapan yang aku buat sendiri.

"Kenapa sih lo nanya itu mulu, lo cinta sama gue?" aku hanya mengangguk singkat, berharap Gara akan menanggapi perasaanku kali ini.

Menangkup wajahku, Gara kemudian menarikku ke dalam pelukannya lalu menjatuhkan kecupan singkat di puncak kepalaku, membuatku memejamkan mata untuk sesaat, berharap bahwa ini adalah awal yang baik untuk aku dan dia. Ya, meskipun Gara sudah sering kali melakukannya.

"Lo harus tahu, Vi, bahwa yang sedang lo rasain terhadap gue itu bukan cinta, melainkan rasa terbiasa. Lo hanya takut kehilangan gue. Dan harus lo tahu, bahwa sampai kapanpun gue gak akan pernah meninggalkan lo. Jadi jangan takut," kata Gara tegas, namun tidak menghilangkan kelembutannya.

"Cinta itu gak ada, Vio," Gara menggeleng, kedua tangannya masih merangkum wajahku dan tatapannya seakan meyakinkanku bahwa cinta itu memang benar-benar tak ada. Tapi perasaanku benar adanya. Jika ini bukanlah cinta, lalu apa?

Aku mengulas senyum tipis, lalu meraih tangan Gara yang masih berada di wajahku. "Ya, lo benar, cinta itu gak ada," kataku dengan menahan sakit sekuat tenaga. "Gue cuma takut kehilangan lo. Gue takut lo pergi, seperti Mami yang meninggalkan gue, Kak Mawar dan Papi. Gue juga takut kesepian seperti Papi nantinya. Sorry, Gar. Gue janji gak akan melayangkan pertanyaan ini lagi. Gue percaya lo gak akan pernah ninggalin gue. Karena gue tahu lo sesayang itu sama gue."

Di akhir kalimat aku melayangkan kedipan jahil untuk kembali mencairkan suasana yang semula melow. Bukan berarti aku lega saat ini, hanya saja aku tahu jika aku marah pada Gara yang tidak juga menganggap nyata perasaanku, maka hubungan persahabatan ini tidak akan sama lagi seperti yang sudah terjalin selama belasan tahun ini.

"Ya, dan gue juga tahu bahwa lo sesayang itu sama gue," balas Gara dengan wajah percaya dirinya.

"Sorry ya gue gak sama sekali sayang sama lo. Jangan terlalu percaya diri!" ujarku memutar bola mata malas.

"Masa? Kok gue gak percaya?" godanya menyebalkan.

"Iya lah, gue lebih sayang Raja dari pada lo," kataku yang tentu saja berbohong. Namun, percayalah bahwa aku memang benar-benar menyayangi Raja, tapi tidak lebih dari rasa sayangku terhadap Gara,

"Kenapa? Apa karena lo beneran suka sama Raja? Lo naksir Raja, Vi?" tuduhnya menuntut penjelasan.

Boleh gak sih aku memukul kepala sahabatku ini? Gara benar-benar menyebalkan. Dia bisa beranggapan aku suka Raja di saat perasaan ini aku ungkapkan pada laki-laki itu sendiri. Aku jadi bertanya-tanya sebodoh apa sih seorang Anggara? Kenapa untuk mengartikan perasaanku saja dia tidak bisa?

Benar-benar menyebalkan.

Gue sukanya sama lo, Anggara Pradifta Putra! Ingin sekali aku berteriak seperti itu di depan Gara. Tapi ya sudahlah, biar mulai sekarang perasaan ini aku simpan seorang diri.

"Udahlah, yuk, ke kasir, keburu malam kita pulangnya," ujarku tanpa menjawab pertanyaan Gara. Biarlah cowok itu mengartikannya sendiri. Toh Gara tidak akan pernah bisa menjawab benar mengenai perasaanku ini.

"Eh- bentar, Vi," Gara dengan segera mengambil kuas yang sejak tadi sedang di pilihnya sebelum benar-benar melangkah karena tarikanku.

"Ini kita beli yang ginian buat apa sih sebenarnya, Vi? Perasaan sejak orok gue gak bisa ngelukis, apalagi lo yang gambar lingkaran aja ancur." Heran Gara saat kami sudah berada di antrian untuk ke kasir.

Pletak.

Itu pukulan aku berikan untuk kalimat terakhir Gara yang begitu menghinaku. Oke, aku memang tidak bisa melukis, tapi mengenai lingkaran, percayalah bahwa gambarku tidak sehancur itu. Tidak seperti yang squidward buat di serial kartun spongebob.

"Yang jelas buat ngelukis, bukan buat masak. Dan pastinya bukan buat gue apalagi lo. Tugas kita cuma beli, digunainnya sama orang lain yang ahli," terangku singkat, setelahnya aku menyerahkan keranjang belanjaanku pada si mbak kasir untuk di hitung.

Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan itu semua, sekarang aku dan Gara sudah keluar dari toko buku, dan tujuan kami selanjutnya adalah pulang.

Meskipun perut sudah berontak minta asupan, aku memilih untuk menahannya karena makan di rumah akan lebih nikmat dari pada makan di café hanya berdua dengan Gara.

Ya, bukan tidak ingin sebenarnya, tapi aku lebih peduli pada papi-ku, aku tidak ingin membuat pria tercintaku itu kesepian makan malam sendirian. Lagi pula aku rindu pada lelaki tercintaku itu setelah satu minggu lamanya sang papi pergi untuk pekerjaannya.

****

"Dek, kamu yakin gak akan ke Mami?" tanya Kak Mawar seraya duduk di sisi ranjangku.

Gelengan menjadi jawaban atas pertanyaannya itu, dan aku yakin dengan keputusanku. Meskipun libur semester masih satu bulan lagi, tapi Mami di sana sengaja meminta dari jauh-jauh hari untuk aku dan Kak Mawar meluangkan waktu agar bisa berlibur di tempatnya. Alasannya karena agar tidak ada rencana lain yang kami jadwalkan.

"Aku udah bilang kok sama Mami, dan Mami paham dengan keputusanku." Aku dapat mendengar helaan napas yang Kak Mawar keluarkan, lalu perempuan yang lebih dewasa usianya dariku itu menarikku ke dalam pelukannya.

"Maafin Mami yang udah meninggalkan Papi dan kita, Dek. Kakak juga gak menginginkan situasi ini, tapi Kakak bisa apa?"

Aku membalas pelukan Kak Mawar dan mengulas senyum. "Aku sudah memaafkan Mami sejak dulu, Kak. Dan alasanku tidak pergi berlibur ke rumah Mami bukan karena aku masih belum menerima kondisi keluarga kita yang seperti ini. Vio cuma mau liburan sama Papi aja untuk semester ini," terangku jujur.

Ya, aku memang sudah memaafkan Mami sejak lama, aku sudah memaafkan kondisi keluarga yang tak utuh. Toh tidak ada yang harus terus-terusan di salahkan karena hati tidak pernah bisa di kendalikan. Termasuk hati mami yang tidak bisa mencintai Papi. Tak apa, selama orang tuaku tidak saling bermusuhan layaknya mantan pada umumnya.

"Kakak janji akan cepat pulang, dan kita liburan sama-sama bareng Papi," janji Kak Ros yang aku tanggapi dengan senyum.


****

See you next chap guys !!!

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang