Bab 19

972 81 17
                                    

Happy reading!!!

***

Sisa liburan hanya tinggal tiga hari lagi, mami dan keluarganya sudah kembali ke Amsterdam, begitupun aku yang sudah diperbolehkan pulang. Selama sepuluh hari di rumah sakit Gara tidak pernah sekalipun absen untuk menjengukku, bahkan sesekali menginap, menemani papi, mami atau Kak Mawar yang bergantian menjagaku. Aku tidak tahu sesedih apa Gara saat aku tidak kunjung bangun seminggu lamanya, dan sungguh aku begitu penasaran. Apa mungkin cowok itu kembali histeris seperti saat kecil dulu? Atau hanya diam merenung sambil menangis dipojokan seorang diri? Entahlah, hanya Gara dan Tuhan yang tahu karena menyebalkannya dia tidak ingin bercerita. Padahal aku sudah siap baper mendengar kesedihan Gara yang takut ditinggalkan olehku.

Sore ini aku sedang duduk bersandar di ranjang kamarku di rumah papi seorang diri, karena papi masih di kantor dan Kak mawar sedang pergi ke dapur sementara Gara entah ke mana, karena sejak siang tadi cowok menyebalkan itu tidak kembali lagi ke sini. Aku ingin bertanya tapi malas menghubungi, jadilah aku memilih diam saja sambil memainkan ponselku yang belakangan ini tidak aku sentuh karena ponselku memang tertinggal di rumah dan Gara atau siapa pun tidak berniat mengambilkannya. Kak Mawar bilang agar aku fokus pada kesehatan.

Dan selama sepuluh hari di tinggal itu, ponselku penuh dengan pesan masuk dan juga telepon dari sahabatku, siapa lagi kalau bukan Melody. Ada juga dari Kak Ryan, dan lebih banyak pesan di grup yang berisikan aku, Melody, Ervan, Gara dan Raja. Isinya hanya membahas hal-hal biasa yang tidak penting. Ada juga pesan yang menanyakan keberadaanku karena aku tidak juga datang dalam obrolan itu. Untungnya Gara tidak keceplosan di sana. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa Melody heboh dan ruanganku di rumah sakit bisa semakin sesak dengan kehadiran tiga orang itu. Ck, kayak iya saja mereka akan menjengukku seandainya tahu aku sakit.

Selesai mengecek aplikasi chat, aku beralih ke sosial mediaku yang lainnya, dan jariku hanya mengscrol layar untuk melihat postingan orang-orang tanpa berniat memberikan mereka love. Jujur saja, aku ini pelit like, jadi jika ada yang mendapatkan tanda suka dariku maka orang itu beruntung karena itu artinya aku benar-benar menyukai postingan mereka. Bukan karena aku tidak menghargai postingan orang lain, tapi memangnya aku akan mendapatkan apa dari itu? Si penerima enak bisa menghasilkan uang dari hanya postingannya di sukai banyak orang, lalu aku dapat apa? Maka dari itu yang benar-benar aku sukailah yang dapat menerima love dariku. Itu caraku menghargai karya atau postingan orang lain. Ikhlas, tidak terpaksa.

Di tengah aktivitas berselancar di media sosial, sebuah dering telepon membuatku mendengus, apalagi saat melihat foto Gara yang muncul di layar ponselku yang menyala dengan deringan yang aku gunakan khusus untuk kontak Gara, Papi dan Kak Mawar sebagai penanda bahwa telepon dari mereka tidak bisa aku abaikan.

“Apa apa?” tanyaku malas begitu tombol hijau di layar aku geser untuk menerima telepon dari Gara.

“Lo mau apa?” balik si penelpon bertanya, membuatku mengerutkan kening tak paham.

“Apa?” heranku dengan dahi berkerut. Sungguh aku tidak tahu apa maksud dari pertanyaan Gara yang sedikit ambigu itu.

“Ya, lo mau apa, nanti gue beliin mumpung masih di jalan,” jelasnya singkat membuatku mengangguk paham.

“Lo abis dari mana memangnya?” tanyaku tanpa menjawab ucapan Gara yang sebelumnya. Terdengar decakan dari seberang sana, dan aku tahu bahwa Gara sedang sebal.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang