Happy Reading !!!
***
Author Pov
___________
Mahendra memang tengah kebingungan mencari donor jantung untuk putri bungsunya, tapi ia belum seputus asa itu untuk menerima tawaran dari remaja yang selama ini ikut serta membantu menjaga anaknya. Tidak. Mahendra masih memiliki hati. Ia tidak ingin mengorbankan siapa pun untuk kesembuhan anaknya. Karena ia sadar itu bukan hal yang anaknya inginkan. Vio akan hidup dalam rasa bersalah jika sampai hal itu terjadi.
Jika pun ada yang harus berkorban, maka dirinyalah orang pertama yang akan melakukannya. Mahendra sama sekali tidak keberatan jika harus memberikan detak kehidupannya untuk sang putri. Tapi ia memikirkan kehidupan Vio selanjutnya. Sebagai ayah, ia tidak ingin membuat putrinya semakin hidup menderita.
“Papi tahu kamu lelah, Papi tahu kamu kesakitan, tapi Papi mohon … jangan menyerah. Papi tidak siap kehilangan kamu. Bertahan, Nak. Papi mohon.” Pelas Mahendra menatap sendu putri bungsunya yang terlelap damai dengan beberapa alat penunjang kehidupan menempel di tubuhnya.
Rasanya sakit ketika mendapati sang buah hati tak berdaya, namun dirinya tak kuasa melakukan apa-apa. Mahendra merasa gagal menjadi orang tua. Ia merasa tidak berguna sebagai ayah yang bertugas melindungi putrinya. Andai bisa bertukar posisi, Mahendra tidak keberatan untuk menggantikannya. Namun dirinya bisa apa ketika Tuhan justru memilih putrinya? Hanya doa yang bisa ia lantunkan, berharap keajaiban datang.
Menghela napas panjang, Mahendra bangkit dari duduknya, dan melangkah keluar dari ruang rawat Vio, membiarkan putrinya itu beristirahat. Sementara dirinya akan menunggu di luar dan membiarkan Mawar berada di dalam agar bisa menunggu dengan lebih nyaman. Bagaimanapun ia tidak ingin menelantarkan satu putrinya yang lain.
“Kak Ros mending pulang aja, istirahat di rumah. Vio biar aku yang jagain, Om,” usul Gara cepat, begitu Mahendra meminta Mawar menunggu di ruang rawat Vio.
“Thanks, selama ini lo mau bantu gue jaga Vio, bantu perhatiin Vio, dan memastikan keadaan dia. Tapi mulai sekarang biar gue aja. Lo lebih baik pulang. Gue tahu selama ini lo kerepotan, Gar. Sorry udah ngebebani lo.”
Mengulas senyum tipis, Mawar kemudian menepuk pundak sahabat adiknya itu pelan, lalu masuk ke dalam ruang perawatan Vio. Mengabaikan kerutan tak paham Gara dan keheranan ayahnya. Sekarang ia hanya ingin berada di samping adiknya. Menemani adiknya yang pastilah belakangan ini merasa lelah, tertekan, dan juga kesakitan. Bukan fisik, melainkan hatinya. Mawar tidak akan tahu apa yang dialami Vio jika saja tidak nekad membuka ponsel adiknya yang begitu ramai.
“Kenapa kamu gak pernah bilang sama Kakak, Dek? Kenapa kamu menyimpannya seorang diri?” Mawar tak kuasa untuk menyimpan air matanya lebih lama lagi. Hatinya sakit melihat adik yang dicintainya terbaring lemah seperti ini. “Andai Kakak tahu kalau kamu suka Gara, Kakak gak akan buat kamu memendam sakit itu seorang diri. Maaf. Maaf belum bisa menjadi kakak yang baik untuk kamu, Dek. Maaf udah buat kamu tersiksa dan berakhir seperti sekarang.”
Mawar tidak bisa tidak menyalahkan dirinya sendiri setelah membaca kehebohan di grup kelas adiknya yang sibuk membicarakan Gara, Vio dan satu perempuan yang namanya memang tak asing di pendengaran Mawar.
Semua orang terkesan menyalahkan Vio atas kandasnya hubungan Gara dan Manda. Dan Mawar sadar bahwa semua ini berawal darinya yang selalu melimpahkan urusan adiknya kepada Gara. Melimpahkan tanggung jawab menjaga adiknya kepada Gara, tanpa Mawar berpikir panjang mengenai dampaknya.
Vio yang mencintai Gara memang tak membuatnya heran mengingat bagaimana dekatnya mereka. Tapi Mawar lupa bahwa tidak semua perasaan akan terbalas. Tidak semua hati akan bersambut, dan tidak semua sahabat akan memiliki rasa yang sama. Vio mencintai Gara, itu kenyataannya. Dan perasaan Gara yang justru milik orang lain tak pernah Mawar prediksikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...