Happy Reading !!!
***
Sebenarnya Gara ingin segera pulang, kembali ke rumah sakit untuk menjaga Vio. Tapi sayangya itu tidak bisa Gara lakukan karena guru memberi mereka tugas kelompok yang harus di kumpulkan esok harinya. Membuat Gara akhirnya mau tak mau menunda kepulangannya dan berusaha fokus mengerjakan tugas.
Namun sama sekali Gara tak bisa melakukannya. Pikirannya terus tertuju pada Vio dengan perasaan yang benar-benar tak nyaman. Meski biasanya pun Gara selalu merasa demikian, tapi tak pernah merasa berlebihan seperti ini. Gara sampai kehilangan fokus dan berkali-kali mendapat teguran dari teman kelompoknya kerena terus membuat kesalahan.
Gara ingin pulang, tapi merasa tak enak pada teman-temannya yang bekerja demi nilai mereka. Akhirnya Gara memutuskan tetap bertahan, menekan rasa tak nyamannya. Sampai tak lama kemudian ponsel yang setiap menit diliriknya berbunyi, menampilkan nama bundanya yang tak Gara biarkan menunggu lama.
“Hallo, Bun. Vio gimana, Bun? Dia udah sadar?” rong-rong Gara langsung, begitu tombol hijau dirinya geser. Mengalihkan semua mata yang semula fokus pada tugas.
“Assalamualaikum dulu dong, Gar!” tegur paruh baya itu, membuat Gara meringis dan meminta maaf. Tapi setelahnya Gara kembali menanyakan keadaan Vio pada bundanyanya. “Kamu lagi dimana? Masih ngerjain tugas sama teman-teman?” bukannya menjawab, Alma malah justru bertanya. Membuat Gara sebal, tapi tak urung menjawabnya.
“Kabar Vio gimana, Bun?” Gara kembali menanyakan hal itu. Tidak akan berhenti hingga ibunya menjawab.
“Tugasnya belum selesai?” dan Gara benar-benar menggeram sekarang. Kesal karena bundanya tak juga memberinya jawaban.
“Bun—”
“Izin sama teman-temannya, ya. Kamu pulang duluan,”
“Vio bangun, Bun? Vio bangun?” binar cerah itu nampak di mata Gara yang selama dua minggu ini redup, sebuah harap tergambar jelas, dan itu malah membuat Alma, di seberang sana meneteskan air matanya. Ketegarannya hilang sepenuhnya sebelum berhasil mengatakan keadaan yang sebenarnya.
Alma tak ingin memutuskan harapan anaknya, tapi ia juga tak ingin membuat putranya kecewa dan merasa di bohongi. Tapi sungguh, Alma tak kuat. Alma takut … takut anaknya tak sanggup mendengar kabar ini.
“Bun, Vio beneran udah bangun?” keantusiasan itu tak juga hilang, dan Alma dapat mendengar kehebohan dari sambungan teleponnya, menyerukan kalimat hamdalah yang malah semakin membuat Alma tak mampu menahan tangisnya.
“Gara ke rumah sakit sekarang, Bun. Gara pulang sekarang,” katanya semangat, seraya membereskan barang-barangnya ke dalam tas, lalu bangkit dari duduknya, dan berpamitan kepada teman-teman kelompoknya. Namun baru saja langkahnya mengayun hendak menuju pintu, kalimat yang Alma ucapkan mendadak membuat Gara berhenti.
“Gara salah dengan ‘kan, Bun? Bunda cuma salah bicara aja ‘kan, Bun? Vio. Vio baik-baik aja, iya ‘kan, Bun? Vio … Vi—Vio, Vio gak mungkin beneran pergi ‘kan, Bun? Vio gak akan nyerah. Vi—Vio gak akan ninggalin Gara. Bunda. Bu—Bunda. Bunda … Vio!” Gara tiba-tiba saja menjerit, mengejutkan semua orang yang ada di sana, termasuk si nyonya rumah yang semula berada di dapur.
“Vio masih hidup ‘kan Bunda. Vio cuma tidur, iya ‘kan Bun? Jawab Gara, Bun. Bilang kalau Bunda salah bicara. Bilang kalau Vio baik-baik aja. Bilang Bunda. Bilang sama gara kalau Vio baik-baik aja,”
“Gara—”
“Enggak, Bun. Gara gak mau dengar itu. Gara … Gara ke rumah sakit sekarang. Gara temuin Vio sekarang, Bunda. Gara pulang. Bilang Vio … suruh Vio tunggu aku pulang. Aku—aku pulang sekarang,”
Gara kembali meraih tasnya yang semula jatuh, lalu berlari keluar dari kediaman temannya. Namun tak lama kembali, mencari kunci motornya. Dengan wajah terlihat linglung, Gara mencari kunci kendaraannya di setiap sudut ruang tengah yang mereka gunakan untuk kerja kelompok. Dan semua yang melihat Gara seperti ini meringis prihatin.
“Gue yang anter lo ke rumah sakit yuk, Gar,” salah satu teman kelompok Gara menawarkan, namun dengan segera di tolak oleh Gara yang masih mencari kunci kendaraannya, sampai Gara menegeluarkan semua isi tasnya dan tersenyum saat benda itu di temukannya.
Tak menunggu lama, Gara langsung berlari, mengabaikan barang-barangnya. Mengabaikan teriakan teman-temanya. Sekarang Gara hanya ingin segera pergi, memastikan sendiri kondisi Vio. Gara yakin bahwa bundanya berbohong. Bundanya hanya sedang mengerjainya, dan Gara tahu bahwa ini pasti ulah Vio. Gadis itu jahil. Gara tak lupa.
Namun meskipun mulutnya terus menyangkal, Hati Gara tetap merasa tak karuan. Gara tak tenang. Dan kalimat Alma terus berputar layaknya sebuah film yang terus di ulang.
“Vio menyerah, Gar. Vio pergi.”
Sayangnya Gara tak mau percaya. Gara tetap yakin bahwa Vio masih ada, Vio tidak pergi. Vio tidak meninggalkannya.
Tapi semakin penyangkalan itu memenuhi kepalanya, semakin Gara kalut. Perasaannya semakin tak karuan dengan takut yang merengkuh tubuhnya.
Kalimat Alma terus terngiang-ngiang, menambah kepanikan Gara, yang semakin tak sabar ingin segera tiba. Menemui Vio dan memastikan keadaannya. Gara sampai tak sadar dia berhasil menerobos lampu merah dan berakhir dengan menerima hantaman dari kendaraan lain yang tengah melaju kencang. Membuat Tubuh Gara terlempar jauh dari tempatnya, berpisah dengan kendaraannya yang justru menghantam kendaraan lain. Mengacaukan jalanan yang cukup ramai di tengah hujan sore ini.
Gara sadar akan benturan itu, Gara sadar akan tubuhnya yang terhantam, namun bukan sakit yang Gara hiraukan, melainkan harap yang terus dilantunkan bahwa ia akan cepat tiba di rumah sakit, menemui Vio. Bau darah yang menyengat tidak sama sekali Gara pedulikan. Rasa kaku di sekujur tubunya tak sama sekali Gara keluhkan. Gara hanya terus mendorong tubuhnya agar bangkit berdiri, Gara ingin berlari, segera menemui Vio yang menunggunya di sana.
Sampai kemudian sebuah suara menghentikan Gara, mengalihkan Gara dari aksinya terpejam. Dan tak jauh di depan sana, sosok Vio datang dengan senyum manisnya yang Gara rindukan.
“Vio?” panggil Gara memastikan, dan lagi sosok itu hanya melemparkan senyumya. Sampai akhirnya Gara merasa ringan dengan tubuhnya. Hantaman yang tadi sempat membuatnya menjerit kesakitan kini tak lagi dapat di rasakan. Sekarang, Gara malah justru berdiri, berhadapan dengan sosok sang bidadari yang nyaris semakin dirinya sia-siakan. Namun kini, Gara berjanji tidak akan melakukannya lagi.
“Maafin gue, Vi. Maafin gue,” ucap Gara sungguh-sungguh seraya meraih kedua tangan Vio dan diletakkannya di depan dada. “Maafin gue,” ulangnya dengan suara lirih.
“Udah gue maafin, Gar. Jauh sebelum lo minta. Gue maafin lo,” diakhiri dengan senyum, Vio menatap lembut Gara yang sudah kembali berbinar. Dan membalas pelukan laki-laki itu yang terlihat begitu bahagia. Menambah lebar senyum di bibir Vio.
“Lo mau ke mana?” tanya Gara saat sadar bahwa penampilan Vio begitu cantik dengan gaun putih bersihnya.
“Ke sana,” tunjuk Vio ke arah sebuah danau cantik yang dikelilingi bunga-bunga yang tumbuh subur dan indah.
“Gue boleh ikut?”
Dan kali ini Vio hanya memberikan anggukan singkatnya, lalu berbalik dan melangkah lebih dulu. Meninggalkan Gara yang masih berada di luar pintu yang terhubung ke tempat yang Vio tuju. Gata tidak mengerti dari mana datangnya pintu itu karena sejak tadi ia bahkan tak menyadarinya.
Lorong yang dipijakinya pun terlihat begitu gelap, berbanding terbaik dengan tempat Vio. Namun Gara tak terlalu memikirkan itu, memilih untuk melangkah, mengikuti langkah Vio yang terlihat riang. Mengabaikan teriakan juga tangis di sekelilingnya. Tatapan Gara tetap lurus ke arah Vio, hingga suara-suara itu tidak lagi dapat Gara dengar, di gantikan dengan kesunyian yang terasa damai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...