Bab 21

1.1K 82 7
                                    

Happy reading!!!!

***

Melody benar-benar tidak malu mengejar Raja terang-terangan sejak hari itu. Dia tidak memedulikan tanggapan orang, tidak peduli cibiran orang, karena menurut Melody, selama Raja belum memiliki pacar maka dia tak akan menyerah untuk mengejar dan mendapatkan manusia kaku itu. Aku bangga dengan semangatnya itu meskipun terkadang geli juga bagaimana agresif-nya Melody mendekati Raja, sementara cowok itu terlihat risi. Tapi lagi-lagi Melody tidak menghiraukannya, dan aku juga tidak akan menyuruh Melody untuk berhenti, karena aku yakin, cepat atau lambat Raja akan luluh.

Manusia kaku seperti itu memang harus di usik, dan aku setuju dengan cara Melody mengusik Raja. Itu hiburan tersendiri untukku dan Gara serta Ervan tentu saja. Karena kami sudah bosan melihat ketenangan Raja selama ini. Raja itu tampan, berkarisma, dan pintar, sesuai dengan namanya. Dia juga cocok menjadi seorang raja. Ya, raja di hati Melody maksudnya, karena tidak mungkin ada kerajaan yang rela menyerahkan tahtanya untuk Raja temanku.

Oke, mari lupakan tentang Raja dan Melody. Kini aku ingin beralih pada diriku sendiri. Ya, aku yang kini lagi-lagi harus menahan cemburu melihat orang yang aku cintai bermesraan dengan kekasihnya. Gara dan Manda saat ini ada di hadapanku, becanda dengan mesranya, menunjukkan pada penghuni kantin bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Di tengah keramaian ini aku merasa kesepian, aku merasa sendiri dan kedinginan. Ini menyesakkan tapi tak urung senyum tersungging dari bibirku. Entah senyum apa yang sedang aku tampilkan.

Tanpa mengucapkan apa pun, aku bangkit dari dudukku dengan gerakan senormal mungkin, lalu melangkah keluar dari kantin. Aku hanya ingin menjauh dari orang-orang saat ini, aku ingin sendiri dan menikmati sesak ini. Aku berharap tidak ada yang menyadari kepergianku dan tidak ada yang mengikutiku karena saat ini aku tidak butuh siapa pun dan apa pun selain keheningan.

Atap menjadi tempat pelarianku untuk menenangkan diri, menikmati sakit hati dan segala kesedihanku lainnya. Di sini aku menangis tanpa perlu khawatir orang lain mendengarku karena memang tempat ini amat jarang di kunjungi orang-orang mengingat seberapa menyeramkannya cerita dibaliknya, yang di gosipkan orang-orang menjadi tempat bunuh diri seorang siswi bertahun-tahun silam. Awalnya aku pun enggan datang ke tempat ini karena merasa horor, tapi sekarang hanya tempat ini yang cocok untuk aku bersembunyi dari semua orang. Dimana tidak akan ada yang melihat sisi menyedihkanku.

Tidak ada suara yang aku keluarkan selain isak tangis yang memilukan. Aku memang datang untuk menangis, bukan untuk memaki dan merutuki takdir hidupku dan kisah cintaku yang tidak pernah terbalas. Aku tidak berhak menyalahkan Gara untuk kesedihan ini. Aku tidak berhak menyalahkan Manda untuk derita ini, dan aku tidak berhak menyalahkan siapapun atas luka ini. Semua adalah kesalahanku dan takdir yang Tuhan berikan untukku. Tapi aku tidak marah, aku tahu ini cara Tuhan menyayangiku, hanya saja aku yang tidak bisa menahan dan mengendalikannya.

Di tengah isak tangisku, aku merasakan seseorang duduk di sebelahku, membuatku merinding karena mengira bahwa mungkin itu adalah penghuni atap yang merasa terganggu dengan tangisku, tapi begitu aku menoleh, malah justru sosok Ervan lah yang aku temukan di sisi kiriku, ikut duduk di lantai tanpa alas dengan menselonjorkan kaki panjangnya. Cowok itu menoleh sekilas kearahku lalu tersenyum tipis, senyum yang tidak menyebalkan seperti biasanya.

“Lo ngapaian di sini?” tanyaku seraya menyeka air mata yang sudah membasahi pipiku.

“Duduk,” jawabnya singkat tanpa menatap ke arahku. Aku mendengus kesal, niat ingin menenangkan diri dan menangis sepuasnya malah kedatangan makhluk menyebalkan yang seenaknya menggagalkan rencanaku. Ervan sialan emang!

Dirasa Ervan tidak berniat pergi, aku memutuskan untuk bangkit dan mencari tempat sepi lainnya yang tidak terkontraminasi oleh manusia sejenisnya, namun niat itu tidak terealisasikan karena Ervan dengan lancangnya menarikku kembali duduk. Aku hendak protes, tapi cowok itu malah justru menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Aku berusaha menyingkir, tapi Ervan tetap menahan kepalaku agar tetap di sana.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang