Bab 12

947 70 9
                                    

Happy Reading!!!

***

Sejak malam itu aku seakan kehilangan semangatku. Kecerian yang sebagian di renggut oleh penyakit yang aku derita kini seakan tak bersisa. Dan ini menjadi pertanyaan orang-orang di sekitarku, tapi aku enggan menjawabnya. Biarlah seperti ini dulu sampai aku bisa menerima setiap kata yang Gara ucapkan, setiap penolakan yang cowok itu lontarkan dan untuk kenyataan yang terasa menyakitkan. Aku hanya sedang berusaha menguatkan hati dan mengikhlaskan perasaan.

Semoga aku mampu.

“Kantin yuk,” ajakku pada Melody yang sejak tadi hanya diam menatapku entah sedang mengamati apa.

“Nanti dulu,” cegahnya menarik tanganku untuk kembali duduk.

“Kenapa?” alisku terangkat naik, menatap heran sahabat satuku itu. “Gue udah lapar tahu, Mel,” rengekku di dukung dengan suara raungan perut yang membuat Melody berhenti mengamati wajahku.

Ck, ya udah ayo,” katanya berdecak sebal, lalu bangkit dari duduknya. Aku menghela napas lega tanpa di sadari sebelum mengikuti langkah Melody yang sudah lebih dulu keluar dari kelas.

Istirahat kedua membuat keadaan kelas kosong karena kebanyakan dari murid menyambangi kantin untuk mengisi perut mereka masing-masing. Termasuk Gara dan kedua temannya yang memiliki sifat bertolak belakang. Ketiga cowok itu sudah ke kantin lebih dulu sekitar sepuluh menit yang lalu, sementara aku dan Melody tadi masih enggan beranjak meskipun Gara sudah memaksa dan berniat menggendongku.

Aku mengedarkan pandangan untuk membunuh kebosanan di tengah antrian di depan penjual soto yang memang berniat aku makan untuk menu hari ini. Kantin masih penuh dan tidak banyak bangku yang kosong. Orang-orang tidak hanya makan saja di sana, tapi banyak pula yang saling bergurau, bergosip bahkan orang yang berpacaran.

Pemandangan seperti itu bukan hal yang aneh memang, tapi rasanya sesak saat tatapan mataku terjatuh pada dua sosok yang tengah asyik tertawa mesra, sesekali si laki-laki mengusak rambut cewek di depannya yang cemberut dan kemudian keduanya akan kembali tertawa dengan kejahilan yang baru dan obrolan yang sepertinya mengasyikan. Aku tidak bisa mendengar apa yang membuat mereka bisa sebahagia itu, karena jarakku dengan meja yang di isi oleh tiga orang pria dan satu orang perempuan itu cukup jauh, namun tentu mataku masih bisa melihatnya.

Belum genap satu minggu Gara mengucapkan bahwa pria itu tidak akan membiarkanku bersedih, belum genap satu minggu Gara berjanji untuk tidak membiarkanku terluka, tapi pemandangan yang aku lihat saat ini lebih dari menyakitkan, lebih dari sekedar menggores luka di hati dan tentu saja tidak sekedar kesedihan yang akan hilang hanya gara-gara semangkuk es krim. Sakit ini lebih dari yang di banyangkan, bahkan lebih dari sakit jantung yang aku rasakan belakangan ini.

Aku ingin mengabaikan Gara dan semua yang pria itu lakukan, tapi rasanya ini terlalu sulit. Aku tidak bisa mengabaikan apa yang ada di depan mataku, dan aku tidak bisa membohongi diriku apa lagi menyemangati bahwa semua akan indah pada waktunya. Sekarang aku tidak percaya bahwa akan ada waktu yang bisa aku lalui bersama Gara. Bahkan aku tidak lagi bisa membayangkan kebahagiaan yang dulunya sempat aku rangkai dan harapkan akan menjalani hidup bersama Gara.

Semua harapan dan mimpiku pupus saat melihat binar bahagia penuh cinta yang Gara tunjukkan pada Manda. Selama belasan tahun bersahabat bersamaku, Gara tidak pernah menampilkan binar selain jahil dan sayang yang sama seperti yang Kak Mawar tunjukkan padaku. Dan sekarang aku tahu ternyata memang benar, aku tidak pernah ada dalam hati Gara. Rasa itu hanya aku yang memiliki. Bertepuk sebelah tangan. Sungguh miris bukan?

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang