Bab 27

2.2K 125 22
                                    

Gara pov.

_________

Mengejutkan. Ya, pengakuan Vio benar-benar membuatku terkejut. Aku tidak menyangka bahwa gadis yang selama belasan tahun ini menjadi sahabatku memiliki rasa lebih dari itu. Aku masih sulit untuk mempercayai ini semua dan aku masih bingung harus menanggapinya seperti apa. Semua tidak terduga dan tidak pernah ada dalam bayanganku.

Selama ini rasa sayangku murni sebagai sahabat dan saudara. Aku menganggap Vio seperti adikku sendiri. Aku selalu ingin melindunginya mengingat betapa lemahnya dia. Sejak kecil kami selalu bersama, tumbuh bersama seperti layaknya saudara pada umumnya.

Tiga tahun, waktu yang katanya Vio habiskan untuk mencintaiku, itu artinya, tiga tahun pula aku mengabaikan rasa itu, menganggap konyol setiap pertanyaannya yang menjurus pada perasaan, menganggap bahwa semua hanyalah omong kosong, hanya ketakutan akan kehilangan. Tapi ternyata rasa itu nyata. Vio mencintaiku dan aku malah menyakitinya, mengancurkan harapannya dan membuatnya sedih. Memendam sakit itu sendiri. Sedangkan aku malah justru berbahagia dengan perempuan yang aku cintai. Tidakkah aku egois? Tidakkah aku berengsek?

Sepanjang sisa pelajaran, yang aku lakukan hanyalah melamun, bahkan pertanyaan Raja, Melody dan Ervan mengenai keberadaan Vio tidak aku hiraukan. Aku masih memikirkan ucapan Vio, mencernanya dan berusaha mencari kebohongan dari setiap kata yang di ungkapkannya, tapi jelas aku tidak bisa menemukan itu. Mata Vio saat mengucapkan pengakuannya begitu serius, dan tidak bisa kubohongi bahwa aku terpaku melihatnya. Aku sedih dan menyesal.

Rasanya sesak saat luka itu nyata Vio tunjukkan lewat tatapannya, tapi dengan bodohnya aku malah mengucapkan kata yang pastinya semakin melukai hati Vio. ‘tapi aku mencintai Manda.’ Bukankah aku jahat? Aku tidak bisa membayangkan seberapa besar rasa sakit yang Vio rasakan karena ulahku, tidak bisa aku bayangkan sedalam apa luka yang telah aku goreskan untuknya, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Vio saat aku tidak menganggap perasaannya.

Aku bodoh, benar-benar bodoh.

Sejak Vio melangkah keluar setelah semua pengakuannya, dia tak lagi kembali ke kelas. Aku tahu sesedih apa dia sekarang, aku tahu sebenci apa dia sekarang kepadaku yang bodoh ini, dan aku tahu dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Sama sepertiku yang butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri, menjernihkan pikiran, dan menenangkan hati yang saat ini tengah kacau.

Aku memutuskan pulang lebih dulu tanpa menunggu Vio seperti biasanya, bukan karena tak ingin, tapi aku yakin dia juga tidak ingin melihatku untuk saat ini. Aku akan memberinya waktu untuk menenangkan dirinya, sebelum nanti aku bicara dan meminta maaf atas kesalahan yang sudah aku perbuat. Aku pun ingin menyakinkan hatiku terlebih dulu saat ini.

Dengan lesu, aku masuk ke dalam rumah yang hari ini begitu sepi karena Bunda dan ayah pergi pagi tadi untuk menjenguk nenek yang sakit. Itu tak masalah, karena aku memang butuh waktu sendiri saat ini.

Kamar menjadi tujuanku satu-satunya. Di sana, tepatnya di dinding kamar sebelah kiri terdapat banyak fotoku dan Vio, mulai dari kecil hingga sekarang. Bukan aku yang menginginkan semua itu tertempel di sana, melainkan Vio lah yang melakukannya.

Satu per satu aku amati foto itu dan senyum dengan sendirinya tercetak di kedua sudut bibirku. Aku masih mengingat semua hal yang ada di foto tersebut. Dan sampai kapanpun aku tidak akan bisa melupakannya. Hariku dengan Vio terlalu menyenangkan hingga rasanya terlalu berharga untuk dilupakan.

Sejenak aku mengamati, sampai kemudian aku teringat akan foto baru yang belum sempat aku dan Vio tempelkan. Foto beberapa waktu lalu yang mengabadikan momenku dengannya saat di pantai, danau dan saat kami melakukan wisata kuliner. Aku ingat bahwa semua sudah aku cetak, tapi lupa menyimpannya.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang